Jangan tanya tentang kesabaran pada wanita bernama Hanum. Seorang istri dengan satu anak dan sedang mengandung anak kedua. Hanum harus menerima pil pahit jika suaminya bermain di belakangnya dengan sahabatnya sendiri. Sahabat Hanum dari kecil hingga sampai saat ini. Hanum harus terima saat Anita memohon untuk menikah dengan suaminya karena telah mengandung anak dari suaminya. Hanum tidak punya pilihan, ia mengikhlaskan hidupnya di madu karena kondisi sang mertua yang sakit-sakitan. Rendi memohon pada Hanum agar menerima Anita sebagai madunya. Ia tidak ingin ibunya terkejut mendengar kabar mengejutkan ini. Hanum akhirnya terpaksa berbagi suami secara diam-diam di depan keluarganya demi sang mertua. Bagaimana kisah hidup Hanum? Apakah ia mampu bertahan dengan rasa sakit di tengah kondisinya yang sedang mengandung. "Kenapa harus Anita, Mas?" tanya Hanum dengan air mata mengalir di wajahnya. Sesak, perih, pedih ia rasakan mengetahui sang suami memadu kasih dengan teman dekatnya. "Aku tidak bisa katakan mengapa, tapi yang aku tahu aku mencintai Anita, Hanum! Tolong, restui kami, demi anak yang ada di dalam kandungan Anita!" mohon Rendi tanpa rasa bersalah menyakiti istrinya sendiri. Hanum terus beristigfar menunduk mengusap wajahnya yang terus berlinang air mata. Mengapa Rendi setega ini padanya, apa salah dan kurangnya selama ini. Hanum menggenggam erat bajunya mengangguk ikhlas menyetujui pernikahan Rendi. Jangan lupa follow dan tap lovenya ya, Author Up tipis-tipis❤️
Hanum menatap dengan mata berkaca-kaca ke arah suami dan sahabatnya. Ia berusaha menunduk menyembunyikan kesedihannya di depan banyak orang. Hari ini adalah ijab kabul antara Rendi dan Anita. Hanum juga hadir di sana sendiri tanpa membawa putrinya. Putri sulung Hanum ia titipkan pada Reni sahabat Hanum juga. Ia tidak mungkin membawa putrinya ke tempat ini melihat ayahnya menikahi wanita lain. Hanum terus menatap ke arah Anita dan Rendi yang terlihat bahagia menerima beberapa tamu yang datang. Acara ijab ini memang tidak mengundang banyak tamu.
Hanya beberapa keluarga Anita yang terlihat, dan keluarga Rendi hanya Hanum saja sebagai istrinya. Mereka menikah sah di hadapan Hanum dan penghulu, Hanum tidak mengerti mengapa Anita tidak pernah sedikitpun menunjukkan rasa bersalahnya pada dirinya. Bahkan rasa malu sedikitpun, Anita tidak pernah menunjukkannya. Wanita itu bahkan selalu tersenyum dan seperti tidak merasa bersalah. Hanum menghela nafasnya mengusap perut yang mulai terlihat, Hanum sedang mengandung empat bulan. Perutnya belum begitu terlihat, hanya sedikit terlihat menonjol di bagian perutnya saja. Ia menatap ke arah Anita dan bisa melihat jika perut Anita juga sama seperti dirinya. Anita mengatakan jika ia sudah mengandung selama tiga bulan. Sementara Anita baru saja kembali lima bulan yang lalu dari kota Makasar karena bertugas di sana. Anita seorang PNS yang di tempatkan di kantor pemerintah daerah Makasar. Tapi entah mengapa Anita kembali ke Bandung dan bertugas di sini lagi. Hanum bertanya ia sudah selesai tugas di sana dan di pindahkan di kotanya sendiri. Hanum tidak tahu kebenarannya yang pasti Anita bukan wanita yang sembrono pada pekerjaan. Entah kapan mereka menjalin hubungan, karena Anita baru saja berada di sini, yang pasti Anita sudah mengandung anak dari suaminya. Hanum menghela nafasnya panjang lalu berdiri mendekat pada Anita dan Rendi. Keduanya terlihat sangat bahagia, tertawa tanpa rasa bersalah meskipun ia ada di sana. Sesakit ini melihat suami sendiri berada di pelaminan bersama wanita lain. Hanum menarik nafasnya panjang memberi selamat pada suami dan madunya.
"Selamat ya, Mas, Anita, semoga pernikahan kalian selalu di ridhai Allah SWT!" ucap Hanum tulus, Anita langsung menggenggam tangan Rendi dan tersenyum pada Hanum.
"Hanum, terima kasih atas kedewasaan kamu menerima aku sebagai madu kamu, aku berhutang padamu Hanum, semoga kita selalu akur dan berhubungan baik, ya!" ucap Anita membuat Hanum hanya tersenyum tipis. Hanum menatap suaminya yang juga menatapnya.
"Mas aku pulang ya, kasian Namira kalau lama-lama menunggu, Ibu juga sendiri di rumah!" ucap Hanum berpamitan pada suaminya, Rendi mengangguk lalu mengusap pundak Hanum.
"Hanum kamu hati-hati ya, kamu pulang sendiri bisa kan?" ucap Rendi membuat Hanum meremas bajunya merasa emosinya memuncak. Rendi tidak berniat mengantarkannya, ia tersenyum menunjukkan tidak masalah.
"Iya, aku bisa kok!" Rendi tersenyum kembali lalu mengusap kepala Hanum.
"Hati-hati ya, di sini masih banyak keluarga Anita, aku tidak mungkin pergi meninggalkan mereka, kamu ngerti kan?" ucap Rendi menjelaskan membuat Hanum tersenyum tipis. Ia berjalan meninggalkan rumah keluarga Anita dengan mata berkaca-kaca. Ia harus terbiasa dengan hal ini, karena Hanum berani menerima Anita sebagai madunya. Hanum mengusap air matanya yang terus mengalir hingga mendapatkan taksi yang lewat dan menghentikannya. Hanum menangis terisak menumpahkan segala kesedihannya, meraung merasakan hatinya seperti tersayat pisau tajam. Hanum mencoba menenangkan dirinya sendiri karena tidak ingin putrinya melihat keadaannya yang kacau. Hanum memberikan alamat rumah Reni kepada supir taksi tersebut.
Hanum keluar dari taksi lalu menekan bel rumah Reni. Rumah berpagar setinggi orang dewasa itu terlihat terbuka dan tampak Namira bermain di dalam rumah. Hanum tersenyum saat melihat putrinya menatap ke arahnya. Reni langsung mendekati Hanum dan membuka pintu pagar untuk Hanum.
"Sudah pulang, Num?" Hanum mengangguk lalu mendekati anaknya memeluk Namira dengan erat merasa sedih melihat putrinya sendiri. Reni menghela nafasnya ikut sedih melihat keadaan Hanum. Reni mengajak Hanum dan putrinya masuk ke dalam rumah terlebih dahulu sebelum pulang. Reni memberikan segelas air pada Hanum dan langsung di tenggak Hanum hingga tandas.
"Kamu baik-baik saja kan?" tanya Reni sambil memegang tangan Hanum.
"Alhamdulillah, Ren, aku baik!" ucap Hanum sambil mengusap kepala putrinya.
"Bagaimana di sana?" tanya Reni membuat Hanum melirik temannya lalu memberi kode pada putrinya. Reni mengangguk mengerti lalu menunggu Namira menjauhi mereka.
"Suasana pernikahan, lumayan ramai!" jawab Hanum dengan berbesar hati. Reni mengusap tangan Hanum agar tidak menangis sendiri. Hanum menunduk tidak bisa bicara karena rasa sesak masih terasa di hatinya.
"Sudahlah, jangan nangis terus, pikirkan janin tang ada di dalam kandungan kamu!" ucap Reni lalu memeluk Hanum yang semakin terisak. Hati siapa yang bisa ikhlas melihat dengan sadar suaminya menikah di hadapannya. Tanpa rasa bersalah bahkan berbahagia menyakiti hati Hanum.
"Aku tidak kuat, Ren!" rintih Hanum di dalam pelukan Reni. Untung saja Amira sudah bermain kebelakang bersama anak Reni. Reni memeluk erat tubuh Hanum yang bergetar terisak.
"Aku gak habis pikir Anita bisa melakukan ini, dimana hati nuraninya!" ucap Reni ikut geram.
"Aku harus bagaimana, aku tidak bisa seperti ini terus di hadapan Ibu!" Reni menghela nafasnya panjang. Ibu yang Hanum maksud adalah ibu kandung dari Rendi. Hanum dan Rendi tinggal bersama orang tua Rendi. Orang tua Rendi hanya tinggal sang ibu, wanita paruh baya itu juga mengidap penyakit jantung. Hal ini yang membuat Hanum menerima pernikahan Anita dan Rendi, Anita mengancam akan bicara pada ibu Rendi membuat Rendi dan Hanum takut dengan kondisi sang ibu. Hanum terpaksa menerima permintaan suaminya demi keselamatan ibunya. Hanum tidak punya pilihan, sang mertua juga begitu menyayangi Hanum membuat Hanum tidak sanggup jika melihat wanita paruh baya itu harus sakit karena ulah putranya sendiri.
"Kamu tenangkan diri dulu di sini, Mas Amir juga masih lama pulangnya, kalau kamu sudah merasa lebih baik, baru kamu pulang." Hanum hanya menunduk mengangguk mendengar ucapan Reni. Ia merasa bersyukur masih memiliki Reni yang bisa membantunya di sini, keluarga Hanum sudah tidak ada, Hanum hanya memiliki satu kakak laki-laki yang tinggal di luar kota.
"Terima kasih, Ren!" ucap Hanum dengan wajah sembabnya. Reni mengusap lengan Hanum tersenyum.
"Jangan merasa kamu sendiri, aku dan Mas Amir akan selalu membantu kamu." Hanum mengangguk sambil mengusap wajahnya yang berlinang air mata.
"Aku enggak tahu lagi kalau enggak ada kamu!" Ucap Hanum membuat Reni tersenyum.
"Kamu harus kuat, ada nyawa yang bergantung padamu, jangan terlalu di pikirkan!" Reni mengusap perut Hanum menguatkan sahabatnya.
"Terima kasih, Ren!" ucap Hanum lagi membuat Reni menghela nafasnya.
"Sudahlah, jangan terima kasih terus, aku enggak ada lakuin apapun sejak tadi." Hanum tersenyum tipis mendengar ucapan Reni.
"Kamu sudah ada di sampingku saat aku sedih itu sudah cukup, Ren, itu lah seorang teman!" Reni mengangguk-anggukan kepalanya.
"Aku geram sekali ingin bertemu Anita, ingin beri pelajaran sama perempuan gak tahu diri itu, Num!" ucap Reni sambil memperagakan tangannya meremas sesuatu.
"Sudahlah, tidak ada gunanya, nyatanya dia sudah menjadi maduku!" ucap Hanum lirih. Reni memijit pelipisnya membayangkan hal yang masih tidak ia sangka.
"Aku pikir dia belum menikah di usia sekarang ini karena bakalan dapet jodoh pengusaha, atau orang kaya, enggak tahunya suami temannya sendiri, apa dia enggak merasa malu sudah merebut Rendi dari kamu!" Hanum hanya terdiam mendengar kegeraman Reni pada madunya itu.
"Sudahlah, aku enggak mau bahas mereka, aku pusing!" ucap Hanum sambil memijit kepalanya. Reni menatap sahabatnya lalu memegang pundak Hanum.
"Ya sudah, kamu tiduran saja di kamar tamu, jangan pikirkan Amira, biar aku yang urus!" ucap Reni menatap Hanum khawatir. Hanum mengangguk setuju lalu berjalan menuju kamar tamu yang Reni katakan.