Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Tetangga Manisku

Tetangga Manisku

Aspasya

5.0
Komentar
1.5K
Penayangan
67
Bab

Bagaimana jika ternyata tetangga di tempat barumu adalah kekasih virtualmu? Erick terkejut setengah mati saat suatu hari bertemu dengan tetangga sebelah rumahnya yang ternyata bukanlah orang asing baginya. Dia adalah kekasihnya di dunia maya. Kehidupan masa kini, kecanggihan teknologi komunikasi dan kesibukan yang cukup menyita waktu kesehariannya dan pernikahan yang mulai terasa hambar itu semua turut andil dalam sepak terjang Erick di dunia maya. Di dunia penuh halusinasi, ilusi dan semu semata itu Erick bak menemukan sebuah oase yang cukup menyejukkan jiwanya. Meski sadar sepenuhnya itu tidak sepenuhnya nyata, setidaknya ada satu bagian dalam hidupnya yang terpuaskan. Ketika sesuatu yang disangkanya hanya bisa terjadi di dunia maya kini hadir dalam kehidupan nyatanya, tepat di depan matanya, Erickpun mulai goyah. Kehidupannya pun perlahan mulai berubah. Sedangkan Nana adalah wanita yang enggan menikah untuk ketiga kalinya karena julukan wanita pembawa sial dilekatkan padanya setelah kedua suaminya terdahulu meninggal dunia. Memutuskan untuk hidup menyendiri bersama kucing-kucing peliharaannya dan menikmati hidupnya dalam kesepiannya. Hingga tanpa sengaja bertemu dengan Erick di dunia maya dan menjalin kedekatan yang tidak biasa. Pada awalnya hubungan mereka sebatas hubungan saling menguntungkan dan memuaskan. Namun seiring berlalunya waktu, kedua insan yang terluka dalam kehidupan nyata mereka, itupun saling mengobati dan menyelamatkan satu sama lain.

Bab 1 Kejutan Di Pagi Hari

"Alvin!" Erick memanggil putranya yang baru berusia sepuluh tahun.

Dia sudah bersiap hendak berangkat ke kantor sekalian mengantarkan sang putra pergi ke sekolahnya. Erick memindai carport dan sekitarnya mencari keberadaan putra tunggalnya itu. Namun cukup lama bocah laki-laki itu tak menampakkan batang hidungnya.

"Hadew Alvin! Itu kucing siapa? Turunin, nanti baju seragam kamu kotor lho!" Teriakan Tania, istrinya, dari halaman samping rumahnya mengejutkan Erick.

Setengah berlari Erick mendatangi keduanya. Tampak Alvin tengah menggendong seekor kucing berbulu putih dan bermata biru dengan senang. Sementara Tania membujuknya untuk melepaskan kucing itu.

"Nggak kotor kok Mi. Kucing Tante Nana bersih semua kok." Protes Alvin dengan polosnya.

Mendengar jawaban putranya, Tania hampir saja meledak dalam kemarahan. Ditariknya kucing itu dari gendongan Alvin. Seketika kucing itu mengeong keras.

"Meow meow!" Kucing itu meronta hendak melepaskan diri dari dekapan Alvin, namun Alvin memegangnya erat-erat.

"Tania! Biarkan saja dulu!" Erick menegur istrinya, saat melihat Tania hendak menarik kucing itu lagi.

"Ih Papi! Lihat tuh, bulu-bulunya bikin kotor seragam Alvin." Sungut Tania kesal, namun tidak berani membantah ucapan Erick barusan.

Erick melirik Tania, dan seketika wanita itu terdiam. Lirikan tajam Erick mengisyaratkannya untuk tidak lagi berbicara.

"Alvin sudah siang lho! Nanti terlambat ke sekolah. Lepasin kucingnya ya." Erick berjongkok di depan putranya dan membujuknya dengan lembut.

"Kasihan Omil Pi." Alvin membelai kucing putih berjenis himalayan itu dengan hati-hati.

Erick dapat melihat keakraban putranya dengan kucing lucu itu. Selama beberapa hari ini dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga kurang memperhatikan perkembangan putra tunggalnya. Bahkan tidak tahu sejak kapan putranya menyukai hewan berbulu itu.

"Omil namanya? Alvin tahu siapa dan di mana rumah yang punya Omil?" Erick kembali menanyai putranya dengan lembut.

"Tahu Pi!" Sahutnya dengan mantap.

"Oke, karena sudah siang, kita antar Omil ke rumah yang punya sekalian berangkat sekolah." Erick menyentuh puncak kepala Alvin dengan lembut.

"Oke Papi!" Serunya dengan riang.

"Salam Mami dulu." Bisik Erick pelan.

"Mami, Alvin berangkat sekolah dulu ya." Dengan ragu Alvin mengulurkan tangannya.

Tania hanya mengangguk dan mengulurkan tangannya yang segera di sambut tangan gemuk Alvin dan kemudian diciumnya dengan takzim. Namun Tania bersikap acuh tak acuh seakan tidak peduli.

"Berangkat dulu ya!" Erick mengecup kening Tania sebelum menggandeng Alvin ke carport.

Tania hanya mengangguk kaku dan melambaikan tangan dengan enggan. Kemudian dia segera masuk ke dalam rumah tanpa mengantarkan suami dan putranya setidaknya hingga pintu gerbang.

Erick menghela napas kasar dan menyugar rambutnya yang sudah tersisir rapi hingga berantakan lagi. Situasi seperti ini sudah menjadi santapan kesehariannya semenjak Erick memutuskan untuk menyekolahkan Alvin di sekolah umum tiga tahun lalu. Tania selalu bersikap acuh tak acuh kepadanya juga pada putra mereka, Alvin.

"Di mana rumah pemilik Omil Vin?" Erick membuka pintu mobil dan membiarkan Alvin duduk di kursi depan.

"Itu di sebelah rumah kita. Tante Nana yang punya Omil." Alvin menunjuk rumah di sebelah rumah mereka.

"Oke nanti kita mampir." Erick duduk di belakang kemudi siap untuk segera meluncur.

"Nana?" Gumamnya dalam hati.

Nama yang baru saja disebutkan putranya, menghadirkan debaran di hatinya. Sebuah nama yang sederhana dan pasaran namun pernah membuatnya begitu memuja. Bahkan hingga kini nama itu kerap membuat hatinya berbunga-bunga.

"Ah mungkin hanya kebetulan saja. Nggak mungkin dia." Masih gumamnya dalam hati.

Dengan hati-hati Erick mengemudikan mobilnya, keluar dari halaman rumah mereka. Perlahan-lahan mobil melaju dan berhenti di depan rumah di sebelah mereka.

"Ini rumahnya?" Erick menatap putranya memastikan mereka tidak salah alamat mengantarkan kucing Himalaya itu.

Alvin mengangguk mantap. Erick tersenyum membelai kepala putranya dengan sayang.

"Alvin berani kan mengantarkan Omil sendiri? Papi tunggu di sini."

"Oke Pi!" Alvin mengangguk dan segera turun dari mobil dan berlari menuju rumah mungil yang nampak asri.

Erick mengawasi putranya tanpa lengah sedikit pun. Nampak Alvin membuka pintu gerbang dan berbicara dengan seseorang. Kemudian putranya itu segera berlari kembali ke mobil.

"Sudah?" Erick tersenyum melihat putranya nampak bergembira.

"Iya Pi. Tapi bukan Tante Nana tadi, pembantunya." Sahut Alvin.

"Oh, nggak apa-apa. Yang penting Omil sudah pulang ke rumahnya." Erick bersiap kembali mengemudikan mobilnya.

Saat bersiap hendak berputar arah, nampak seorang wanita dari rumah pemilik Omil melambaikan tangan ke arah mereka. Erick menghentikan mobilnya, membiarkan wanita itu mendekat.

Wanita itu mengetuk kaca jendela mobil dan Alvin segera membukakan jendela untuknya. Erick seketika membeku saat melihat dengan jelas wanita berambut panjang itu. Sesosok yang sangat familiar baginya namun rasanya mustahil jika dia ada di hadapannya sekarang.

Begitu pun dengan wanita itu yang menatap Erick tak berkedip. Namun hanya sejenak, wanita cantik itu tersenyum dan beralih menatap Alvin. Namun Erick dapat menangkap kilatan keterkejutan dalam tatapannya barusan.

"Alvin terimakasih ya sudah anterin Omil. Ini ada kue untuk Alvin." Wanita itu mengulurkan sebuah kotak padanya.

Alvin menatap Erick seakan-akan bertanya apakah boleh menerima kue dari wanita itu. Erick menganggukkan kepalanya pertanda mengijinkannya.

"Terimakasih Tante!" Alvin menerima kotak kue itu dengan riang.

Bocah itu tersenyum dengan polos memamerkan gigi putihnya tanpa menyadari kedua orang dewasa di dekatnya tengah saling menatap dengan canggung.

"Kami berangkat dulu. Terimakasih!" Erick berpamitan dengan canggung setelah cukup lama bersitatap dengan wanita itu.

"Hati-hati!" Wanita itu bergumam lirih dan melambaikan tangannya saat Alvin menutup jendela mobil.

Erick melirik spion dan melihat wanita itu masih berdiri di tepi jalan menatap mobilnya yang semakin menjauh.

"Ya Lord, caramu bercanda sungguh di luar dugaan!" Kembali Erick bergumam dalam hati.

Dipertemukan dengan seseorang yang tak pernah diduganya. Bahkan bermimpi pun tidak pernah. Namun Erick yakin, yang barusan bukanlah halusinasinya saja. Itu benar-benar nyata.

Sementara Alvin memandangi kotak kue di pangkuannya dengan takjub. Perhatian Erick kembali teralihkan pada putranya itu. Alvin hampir tidak pernah membawa bekal dari rumah.

Tania hanya beberapa kali membuatkan bekal dan tidak lagi membuatkan bekal untuknya saat dokter keluarga memberikan daftar menu dan bahan-bahan makanan yang aman dikonsumsi Alvin.

"Ribet banget sih Pi!" Keluh Tania waktu itu.

Sebelumnya Alvin sekolah di sekolah khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Tania tidak pernah repot dengan urusan bekal karena semua sudah difasilitasi pihak sekolah.

Erick memutuskan untuk memindahkan pendidikan putranya ke sekolah umum setelah Alvin memasuki usia pendidikan dasar. Tania sangat menentang keputusan Erick dengan alasan yang tidak jelas.

"Alvin mau bawa bekal ke sekolah?" Erick bertanya pada putranya yang masih terpaku menatap kotak kue di pangkuannya.

"Mau Pi. Semua teman Alvin membawa bekal." Alvin mendongak menatap Erick penuh harap.

Erick menghela napas pelan. Sungguh dia tidak mengerti dengan Tania, bagaimana dia bisa tidak menyiapkan bekal untuk putra mereka.

"Oke, mulai besok papi siapkan bekal untuk Alvin." Erick membelai kepala putranya dengan lembut.

"Are you serious Pi?" Alvin membulatkan mata menatap Erick tak percaya.

"Sure!" Erick tergelak melihat reaksi putranya.

Alvin tersenyum dan mengangkat tangannya mengajak sang ayah untuk ber-high five. Erick tertawa dan mengacungkan tinjunya di sambut kepalan tangan Alvin.

Erick kembali fokus mengemudikan mobilnya hingga sampai di sekolah Alvin. Bocah itu segera membuka pintu mobil dan setelah berpamitan padanya, berlari membaur dengan teman-teman sebayanya.

Erick memperhatikannya hingga putranya masuk ke halaman sekolah bersama teman-temannya. Setelah itu, Erick memutar mobilnya dan melanjutkan perjalanannya menuju tempatnya bekerja.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku