Memiliki tetangga rese memang meresahkan. Apalagi kalau mulutnya sampai ke mana-mana.
"Eh, liat tu, Bu Ibu, tetangga sombong lewat," celetuk Bu Tut. Bu Tuti atau biasa dipanggil Bu Tut, memulai kebiasaannya menyindir Rani.
Rani yang mendengar hanya melengos begitu saja. Ia malas kalau berhadapan dengan Bu Tuti. Tak akan ada habisnya kalau melayani sindirannya.
Melihat Rani yang tidak terpancing, membuat Bu Tuti kesal. Ia kembali menyindir, "Kok, bisa ya, si Irwan betah punya istri sombong kaya gini? Kadang saya juga liat loh, Bu Ibu, suaminya mau aja disuruh melakukan pekerjaan rumah. Padahal 'kan itu tugasnya perempuan. Laki-laki itu tugasnya hanya mencari nafkah. Kasihan banget 'kan yang jadi suaminya? Sudahlah bekerja, di rumah pun harus melakukan pekerjaan rumah tangga lagi! Punya istri, kok ya, ga guna." Mulut Bu Tuti memang nggak pernah pake rem kalo ngomong.
Rani terdiam mendengar ucapan Bu Tut. Tangan kanannya yang memegang sayur gemetar saking geramnya dia. Dia mulai terpancing emosi.
"Bu Tut, ini memang nggak bisa didiemin, ya!" ucapnya terlihat geram. Matanya menampakan kemarahan.
Seketika nyali Bu Tut menciut."Memang apa salahnya kalau suami membantu istri? Yang bantuin juga suami saya, bukan suaminya Bu Tut. Mas Irwan-nya aja nggak keberatan, kenapa jadi Bu Tut yang repot?" ketus Rani.
Suasana di tukang sayur pagi itu memanas, Rani yang biasanya diam saja ketika mulut pedas Bu Tut berbicara, kali ini tak tinggal diam.
"Bu, minta tolong sama suami sendiri itu ga dosa dan nggak ada yang larang, yang nggak boleh itu minta tolong sama suami orang, secara paksa pula. Habis itu, dengan tidak tau malunya menggoda suami orang," Rani menyindir Bu Tut. Ia mengingatkan Bu Tut ketika anak perempuannya yang sudah menjadi janda meminta tolong kepada suaminya membetulkan lampu di rumahnya.
Bukan hanya meminta tolong, Ratih-- anaknya Bu Tut bahkan tidak segan-segan menggoda suami Rani. Untungnya, Irwan tidak tergoda. Dia lelaki yang kuat iman.
Bu Tut kena mental. Ia merasa sangat malu. Meski tidak ada satu pun warga yang tau, tapi perkataan Rani sukses membuat Bu Tut terdiam.
Rani menarik sudut bibirnya melihat Bu Tut berhenti mengoceh. "Berapa, Bang, total belanjaan saya?"
"Dua puluh lima ribu, Mbak Rani!" Rani menyodorkan uang pas dan segera berlalu dari perkumpulan ibu-ibu rese itu tanpa mencoba berbasa-basi dengan mereka.
"Liat tuh! Anak muda zaman sekarang ga ada sopan santunnya sama orang tua," celetuk Bu Susi, salah seorang gengnya Bu Tut. "Kurang ajar banget ngomong seperti itu."
"Sudah, Bu!" tegur Bu Midah salah satu tetangga yang rumahnya dekat dengan rumah Rani. "Nanti, orangnya dengar! Ibu mau disamperin si Rani lagi?" Bu Midah mencoba menakuti.
Bu Midah salah satu tetangga yang ga suka berkumpul dengan ibu-ibu penggosip seperti gengnya Bu Tut. Beliau sama seperti Rani. Lebih suka di rumah berkumpul bersama suami dan anaknya.
Beliau juga tau, kalau gengnya Bu Tut selalu membicarakan dia di belakang. "Itu lah resiko kalau sudah kenal dengan orang yang suka menggosip. Kalau kalian tidak ada, kalian lah yang akan dijadikan bahan gosipan," batinnya.
"Emang bener 'kan. Si Rani itu memang kurang ajar. Masa sama Bu Tut bicara seperti itu. Bu Tut ini seumuran loh sama ibunya."
"Bukannya saya membela Rani, tapi 'kan Bu Tut duluan yang memulai. Coba kalau Bu Tut diam aja, mungkin Rani nggak akan bicara seperti itu," bela Bu Midah.
"Bu Midah, ini apa-apaan, sih? Segitunya membela Rani! Dibayar Rani berapa memangnya?" ketus Bu Tut.
Bu Midah yang tau sifat Rani tak seperti yang digosipkan tetangga hanya geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Bu Tut.
"Bukan begitu, Bu Tut. Ya, sudah kalau begitu saya permisi duluan, ya! Mau segera masak untuk suami saya." Daripada semakin panjang Bu Midah segera berlalu meninggalkan mereka.
Yang tersisa tinggal gengnya Bu Tut. Mereka bergosip ke sana ke mari, membicarakan orang yang tak sefrekuensi dengan mereka.
"Bu, ini masih lama lagi milih belanjaannya? Saya mau keliling lagi ke gang sebelah!" tanya Kang Parto, tukang sayur langganan mereka.
"Sabar atuh, Kang! Ini masih milih-milih, bingung soalnya mau masak apa?" jawab Bu Irma.
"Yang cepat, Bu! Nanti pelanggan saya malah belanja di tempat lain lagi," Kang Parto semakin mendesak.
"Yee.. Akang! nggak sabaran banget. Rejeki itu udah ada yang ngatur, Kang! Kalau rejeki Akang mereka bakalan beli, kok!" ucap Bu Tut sewot.
"Ayo, Bu, cepetan! Ibu-ibu ini, milihnya lama palingan nanti juga ngutang sama saya." Kang Parto tak tahan lagi, secara tak sadar dia berkata seperti itu.
Bu Tut merasa tersinggung dengan ucapan Kang Parto. Dia membalas dengan ketus, "Apa maksud Akang bicara begitu? Mau nagih, iya?"
Mendengar suara Bu Tut yang sedikit menggas dan nyaring, Kang Parto sempat kicep. Dia menelan salivanya.
"Bukannya nagih, Bu! Saya juga untungnya dikit, janganlah dihutang terus!"
"Kami memang sering ngutang, tapi kami selalu belanja di tempat Akang, nggak pernah ke tempat lain. Kalau kami nggak belanja di sini, nggak bakalan ada orang kampung sini yang belanja sama Akang!" Bu Irma membela bestinya, Bu Tut.
"Mendingan nggak punya pelanggan kaya situ daripada ngutang terus," batin Kang Parto.
Merasa dibela, Bu Tut pura-pura merajuk. "Nih, saya bayar semua belanjaan saya," ucapnya ketus sembari menyodorkan uang lima belas ribu.
"Loh, nggak sekalian sama hutang-hutang yang kemarin, Bu?"
"Nggak lah.., sebenarnya saya pengen bayar tapi karena Akang bicara begitu, saya jadi males bayar! Ayo, gays kita cabut." Bu Tut bicara seenaknya. Beserta gengnya, mereka berlalu meninggalkan gerobak kang sayur.
Kang Parto hanya bisa melongo melihat kelakuan para gadis berumur itu.
"Heleh.., dikira bayar sekalian sama hutang, taunya cuma bayar belanjaan tadi aja. Sudah lah lama milihnya yang dibeli juga sedikit," gerutu Kang Parto.
"Ngomongin orang jagonya. Nggak ngaca sama kelakuan sendiri." Lelaki berumur 30 tahun itu masih menggerutu sambil mendorong gerobaknya menuju gang sebelah.
****
Rania sampai ke rumah dengan muka cemberut. Pertemuan dengan Bu Tut di kang sayur tadi sukses membuat moodnya berantakan.
Melihat raut wajah istrinya, Irwan-- suaminya bertanya, "Ada apa, Yank? Kok, datang dari belanja mukanya cemberut gitu? Habis digodain si Parto, ya?" Dengan nada sedikit cemburu.
"Huh..." Rani menghela nafas. "Apaan sih, Mas! Aku lagi bete juga, habis ketemu sama Mak Lampir!"
Suaminya terlihat bingung. Dia tidak mengerti, siapa yang dimaksud istrinya Mak Lampir.
"Eh, maksud kamu siapa, Yank?"
"Siapa lagi? Itu ibunya janda gatel, yang rumahnya di pojokan sana," gerutu Rani.
Bab 1 Tetangga Sombong
08/03/2024
Bab 2 Tetangga gatel
08/03/2024
Bab 3 Diancam Rani
08/03/2024
Bab 4 Tuduhan
08/03/2024
Bab 5 Kepo
08/03/2024
Bab 6 Tuduhan yang Tidak terbukti
08/03/2024
Bab 7 Bu Tut Malu
08/03/2024
Bab 8 Dikira Memakai Pelet
08/03/2024
Bab 9 Pertemuan tak terduga
08/03/2024
Bab 10 Mertua Menelpon
08/03/2024
Bab 11 Julidan Mertua
08/03/2024
Bab 12 Kedatangan Bu
08/03/2024
Bab 13 Lelah
08/03/2024
Bab 14 Gosip
08/03/2024
Bab 15 Rencana Yanti
08/03/2024
Bab 16 Fitnah Yanti
08/03/2024
Bab 17 Bu Irma Baik
08/03/2024
Bab 18 Tujuan Bu Irma
08/03/2024
Bab 19 Bu Irma Amnesia
08/03/2024
Bab 20 Yang Ngutang Lebih
08/03/2024
Bab 21 Family time
12/04/2024
Bab 22 Keraguan Irwan
13/04/2024
Bab 23 Perasaan Rani
14/04/2024
Bab 24 Kedatangan Seseorang
15/04/2024
Bab 25 Disangka Santai
16/04/2024
Bab 26 Usul Bu Husna
17/04/2024
Bab 27 Penolakan Irwan
18/04/2024
Bab 28 Julidan Yanti
19/04/2024
Bab 29 Paket Nyasar
20/04/2024
Bab 30 Naufal Minta Hadiah
21/04/2024
Bab 31 Ocehan Yanti
22/04/2024
Bab 32 Ulah Yanti
23/04/2024
Bab 33 Terkejut
24/04/2024
Bab 34 Mereka menyusun rencana
25/04/2024
Bab 35 Rencananya berhasil
26/04/2024
Bab 36 Perkembangan
27/04/2024
Bab 37 Rani sakit
28/04/2024
Bab 38 Tes
29/04/2024
Bab 39 Hamil
30/04/2024
Bab 40 Siasat
01/05/2024