Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Nasib Dikelilingi Tetangga Julid

Nasib Dikelilingi Tetangga Julid

Pena_baru

5.0
Komentar
456
Penayangan
43
Bab

Memiliki tetangga rese memang meresahkan. Apalagi kalau mulutnya sampai ke mana-mana.

Bab 1 Tetangga Sombong

"Eh, liat tu, Bu Ibu, tetangga sombong lewat," celetuk Bu Tut. Bu Tuti atau biasa dipanggil Bu Tut, memulai kebiasaannya menyindir Rani.

Rani yang mendengar hanya melengos begitu saja. Ia malas kalau berhadapan dengan Bu Tuti. Tak akan ada habisnya kalau melayani sindirannya.

Melihat Rani yang tidak terpancing, membuat Bu Tuti kesal. Ia kembali menyindir, "Kok, bisa ya, si Irwan betah punya istri sombong kaya gini? Kadang saya juga liat loh, Bu Ibu, suaminya mau aja disuruh melakukan pekerjaan rumah. Padahal 'kan itu tugasnya perempuan. Laki-laki itu tugasnya hanya mencari nafkah. Kasihan banget 'kan yang jadi suaminya? Sudahlah bekerja, di rumah pun harus melakukan pekerjaan rumah tangga lagi! Punya istri, kok ya, ga guna." Mulut Bu Tuti memang nggak pernah pake rem kalo ngomong.

Rani terdiam mendengar ucapan Bu Tut. Tangan kanannya yang memegang sayur gemetar saking geramnya dia. Dia mulai terpancing emosi.

"Bu Tut, ini memang nggak bisa didiemin, ya!" ucapnya terlihat geram. Matanya menampakan kemarahan.

Seketika nyali Bu Tut menciut."Memang apa salahnya kalau suami membantu istri? Yang bantuin juga suami saya, bukan suaminya Bu Tut. Mas Irwan-nya aja nggak keberatan, kenapa jadi Bu Tut yang repot?" ketus Rani.

Suasana di tukang sayur pagi itu memanas, Rani yang biasanya diam saja ketika mulut pedas Bu Tut berbicara, kali ini tak tinggal diam.

"Bu, minta tolong sama suami sendiri itu ga dosa dan nggak ada yang larang, yang nggak boleh itu minta tolong sama suami orang, secara paksa pula. Habis itu, dengan tidak tau malunya menggoda suami orang," Rani menyindir Bu Tut. Ia mengingatkan Bu Tut ketika anak perempuannya yang sudah menjadi janda meminta tolong kepada suaminya membetulkan lampu di rumahnya.

Bukan hanya meminta tolong, Ratih-- anaknya Bu Tut bahkan tidak segan-segan menggoda suami Rani. Untungnya, Irwan tidak tergoda. Dia lelaki yang kuat iman.

Bu Tut kena mental. Ia merasa sangat malu. Meski tidak ada satu pun warga yang tau, tapi perkataan Rani sukses membuat Bu Tut terdiam.

Rani menarik sudut bibirnya melihat Bu Tut berhenti mengoceh. "Berapa, Bang, total belanjaan saya?"

"Dua puluh lima ribu, Mbak Rani!" Rani menyodorkan uang pas dan segera berlalu dari perkumpulan ibu-ibu rese itu tanpa mencoba berbasa-basi dengan mereka.

"Liat tuh! Anak muda zaman sekarang ga ada sopan santunnya sama orang tua," celetuk Bu Susi, salah seorang gengnya Bu Tut. "Kurang ajar banget ngomong seperti itu."

"Sudah, Bu!" tegur Bu Midah salah satu tetangga yang rumahnya dekat dengan rumah Rani. "Nanti, orangnya dengar! Ibu mau disamperin si Rani lagi?" Bu Midah mencoba menakuti.

Bu Midah salah satu tetangga yang ga suka berkumpul dengan ibu-ibu penggosip seperti gengnya Bu Tut. Beliau sama seperti Rani. Lebih suka di rumah berkumpul bersama suami dan anaknya.

Beliau juga tau, kalau gengnya Bu Tut selalu membicarakan dia di belakang. "Itu lah resiko kalau sudah kenal dengan orang yang suka menggosip. Kalau kalian tidak ada, kalian lah yang akan dijadikan bahan gosipan," batinnya.

"Emang bener 'kan. Si Rani itu memang kurang ajar. Masa sama Bu Tut bicara seperti itu. Bu Tut ini seumuran loh sama ibunya."

"Bukannya saya membela Rani, tapi 'kan Bu Tut duluan yang memulai. Coba kalau Bu Tut diam aja, mungkin Rani nggak akan bicara seperti itu," bela Bu Midah.

"Bu Midah, ini apa-apaan, sih? Segitunya membela Rani! Dibayar Rani berapa memangnya?" ketus Bu Tut.

Bu Midah yang tau sifat Rani tak seperti yang digosipkan tetangga hanya geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Bu Tut.

"Bukan begitu, Bu Tut. Ya, sudah kalau begitu saya permisi duluan, ya! Mau segera masak untuk suami saya." Daripada semakin panjang Bu Midah segera berlalu meninggalkan mereka.

Yang tersisa tinggal gengnya Bu Tut. Mereka bergosip ke sana ke mari, membicarakan orang yang tak sefrekuensi dengan mereka.

"Bu, ini masih lama lagi milih belanjaannya? Saya mau keliling lagi ke gang sebelah!" tanya Kang Parto, tukang sayur langganan mereka.

"Sabar atuh, Kang! Ini masih milih-milih, bingung soalnya mau masak apa?" jawab Bu Irma.

"Yang cepat, Bu! Nanti pelanggan saya malah belanja di tempat lain lagi," Kang Parto semakin mendesak.

"Yee.. Akang! nggak sabaran banget. Rejeki itu udah ada yang ngatur, Kang! Kalau rejeki Akang mereka bakalan beli, kok!" ucap Bu Tut sewot.

"Ayo, Bu, cepetan! Ibu-ibu ini, milihnya lama palingan nanti juga ngutang sama saya." Kang Parto tak tahan lagi, secara tak sadar dia berkata seperti itu.

Bu Tut merasa tersinggung dengan ucapan Kang Parto. Dia membalas dengan ketus, "Apa maksud Akang bicara begitu? Mau nagih, iya?"

Mendengar suara Bu Tut yang sedikit menggas dan nyaring, Kang Parto sempat kicep. Dia menelan salivanya.

"Bukannya nagih, Bu! Saya juga untungnya dikit, janganlah dihutang terus!"

"Kami memang sering ngutang, tapi kami selalu belanja di tempat Akang, nggak pernah ke tempat lain. Kalau kami nggak belanja di sini, nggak bakalan ada orang kampung sini yang belanja sama Akang!" Bu Irma membela bestinya, Bu Tut.

"Mendingan nggak punya pelanggan kaya situ daripada ngutang terus," batin Kang Parto.

Merasa dibela, Bu Tut pura-pura merajuk. "Nih, saya bayar semua belanjaan saya," ucapnya ketus sembari menyodorkan uang lima belas ribu.

"Loh, nggak sekalian sama hutang-hutang yang kemarin, Bu?"

"Nggak lah.., sebenarnya saya pengen bayar tapi karena Akang bicara begitu, saya jadi males bayar! Ayo, gays kita cabut." Bu Tut bicara seenaknya. Beserta gengnya, mereka berlalu meninggalkan gerobak kang sayur.

Kang Parto hanya bisa melongo melihat kelakuan para gadis berumur itu.

"Heleh.., dikira bayar sekalian sama hutang, taunya cuma bayar belanjaan tadi aja. Sudah lah lama milihnya yang dibeli juga sedikit," gerutu Kang Parto.

"Ngomongin orang jagonya. Nggak ngaca sama kelakuan sendiri." Lelaki berumur 30 tahun itu masih menggerutu sambil mendorong gerobaknya menuju gang sebelah.

****

Rania sampai ke rumah dengan muka cemberut. Pertemuan dengan Bu Tut di kang sayur tadi sukses membuat moodnya berantakan.

Melihat raut wajah istrinya, Irwan-- suaminya bertanya, "Ada apa, Yank? Kok, datang dari belanja mukanya cemberut gitu? Habis digodain si Parto, ya?" Dengan nada sedikit cemburu.

"Huh..." Rani menghela nafas. "Apaan sih, Mas! Aku lagi bete juga, habis ketemu sama Mak Lampir!"

Suaminya terlihat bingung. Dia tidak mengerti, siapa yang dimaksud istrinya Mak Lampir.

"Eh, maksud kamu siapa, Yank?"

"Siapa lagi? Itu ibunya janda gatel, yang rumahnya di pojokan sana," gerutu Rani.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku