/0/8366/coverorgin.jpg?v=7f911a9bc8a5fc1b2c82524542a66ba8&imageMogr2/format/webp)
Suara pecahan benda-benda keras terdengar dari dalam sebuah rumah mewah, hardikan penuh kemarahan juga mengiringi pertengkaran sepasang ayah dan anak. Seorang lelaki muda berusia 25 tahun keluar dari rumah itu, membanting pintu dengan kasar kemudian berjalan masuk ke dalam mobil.
Namanya Nolan Eriko Zermain, sehari-hari ia bekerja sebagai direktur sebuah perusahaan milik ayahnya sendiri. Nolan berjiwa bebas dan tidak suka dikekang, setiap hari ia selalu bertengkar dengan ayahnya hanya karena masalah perjodohan.
“SIAL!” makinya kesal sembari memukul-mukul setir mobil yang sedang ia kemudikan.
Ponselnya berdering berkali-kali, Nolan mendadak mual ketika membaca nama seorang perempuan yang muncul di layar ponselnya.
Waktu sudah menunjukan pukul 10 malam, jalanan kota sudah mulai lengang. Nolan mematikan ponsel kemudian melemparnya ke kursi belakang.
“Capek,” keluh Nolan, ia melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, menembus angin malam dengan perasaan kalut luar biasa.
Nolan benci ayah dan ibunya, Nolan benci dengan hidupnya sendiri. Ia terluka di dalam jiwa meski hidup bergelimang harta. Nolan tidak pernah bahagia, Nolan tidak pernah merasakan kasih sayang.
CIIITTT!
Nolan masih mempertahankan kesadarannya saat ia hampir menabrak seorang perempuan yang akan menyebrang ke tempat lain. Nolan memukul stir dengan kesal, kemudian membuka pintu dan berjalan keluar menemui perempuan itu.
“KALAU MAU NYEBRANG LIHAT-LIHAT!” hardik Nolan.
Perempuan itu diam saja, tubuhnya bergetar hebat, ia mendongak takut-takut melihat ke arah Nolan. “Ka-kamu gak mau minta maaf?” tanyanya berani.
“Minta maaf?” beo Nolan. “Anda yang salah, bukan saya!”
“Di depan sana lampu merah, seharusnya kamu berhenti, Pak.”
Mata Nolan melebar hanya karena panggilan ‘Pak’. Perempuan itu membetulkan kacamata warna coklat yang bertengger di atas kepala dan tas selempangnya di pundaknya, kemudian pergi meninggalkan Nolan begitu saja.
Nolan pun tak berbicara lagi, ia bergidik jijik melihat rupa gadis itu. Cantik, tapi sangat kusam seperti tidak terawat, apalagi kemeja yang dikenakan perempuan itu terlihat berantakan dan kebesaran di tubuhnya.
Nolan kembali masuk ke mobil, melajukan mobilnya masih dengan perasaan luar biasa kesal. Menit kemudian, mobil tersebut berhenti di sebuah kafe 24 jam yang terletak di sudut jalan, tempatnya tidak terlalu ramai lalu lalang orang, tetapi kafe tersebut lumayan ramai dikunjungi pemuda pemudi dewasa.
“Hai, Nolan. Long time no see. Gimana kabar lo?” sapa seorang lelaki yang berjaga di meja bartender sembari menepuk bahu Nolan.
“Kayak yang lo lihat sekarang. Masih kacau seperti dulu kala,” jawab Nolan.
Lelaki bernama Edgar itu manggut-manggut. “Mau wine atau cocktail?” tawarnya.
“Wine aja, dua botol,” pinta Nolan.
“Wah, gila lo! Sebotol aja, kalau mabuk bisa repot!” balas Edgar sembari mengelap sebuah gelas dan meletakkannya tepat di hadapan Nolan bersama dengan sebotol wine.
Nolan tersenyum miring, ia membuka botol tersebut kemudian mulai menuang isinya. Selanjutnya hanya hening mengisi ruang pikirannya, hanyut dalam kenikmatan minuman memabukan itu. Kafe tersebut memang berubah menjadi ajang berkumpul orang dewasa setiap jam 10 malam ke atas, fungsinya akan berubah ketika siang dan sore hari di mana pelajar biasa berkumpul di tempat itu juga.
Mata Nolan memicing memandang seorang perempuan dengan kemeja putih yang digulung sampai ke atas perut, sementara bagian pusatnya ditutup dengan kain tipis dengan belahan dada dibiarkan tetap terlihat, serta rok hitam di atas lutut, sepatu kets, dan rambut dikuncir kuda.
“Itu anak baru?” tanya Nolan mengedik dagu ke arah perempuan itu.
“Yang mana?” tanya Edgar balik.
“Itu di meja nomor lima.” Nolan bergidik ketika melihat seorang pria tampak menggoda gadis itu.
“Ooh, iya, baru dua hari,” jawab Edgar.
“Pantas aja kelihatan kaku.”
“Masih polos.”
“Emang ada pegawai cewek yang polos di sini?” tanya Nolan.
“Serius, Lan. Dia aslinya polos banget, kayaknya juga terpaksa kerja di sini. Kadang gue simpati lihatnya, tapi dia kelihatan semangat banget buat kerja,” tutur Edgar.
Nolan mengangkat satu alisnya, mengamati sebuah luka lebam kecil di dekat lutut gadis itu, kemudian kembali fokus dengan gelas wine di tangan.
“Bang Edgar, meja nomor lima pesan Singapore Sling,” ucap perempuan itu mendekati meja bartender, sembari meletakan gelas-gelas kotor yang ia angkut dari meja lain.
“Ok, Anaya cantik,” sahut Edgar ceria.
/0/12472/coverorgin.jpg?v=c7988bac3f3d14b659a233bcc5a771bf&imageMogr2/format/webp)
/0/11003/coverorgin.jpg?v=4c9c871159c713d743e3a5910adc5aa8&imageMogr2/format/webp)
/0/16452/coverorgin.jpg?v=160ff56ff55019775ce87beb40539ccf&imageMogr2/format/webp)
/0/5178/coverorgin.jpg?v=6fd273e8e40b17837ea192b6b46808f1&imageMogr2/format/webp)
/0/14085/coverorgin.jpg?v=10b7a9553a6f4ea4959f71b915fe161f&imageMogr2/format/webp)
/0/2934/coverorgin.jpg?v=6ae5be64a8b7a07eaa9ca94bc5d3e3d2&imageMogr2/format/webp)
/0/13306/coverorgin.jpg?v=6a542bafea1f5fc9c7cbc4596869716b&imageMogr2/format/webp)
/0/20182/coverorgin.jpg?v=a53e41a2e46325c41c71a0efec4d98b5&imageMogr2/format/webp)
/0/21479/coverorgin.jpg?v=24b300694113edf57998d64514dd93bf&imageMogr2/format/webp)
/0/5755/coverorgin.jpg?v=2e0ad51327ca26d59fb0423f2295d7ef&imageMogr2/format/webp)
/0/18075/coverorgin.jpg?v=22197f456e123d64a5ab781d0f0a5bb5&imageMogr2/format/webp)
/0/3979/coverorgin.jpg?v=e4c4b5b5d21bd614cdac431d715f47c1&imageMogr2/format/webp)
/0/3416/coverorgin.jpg?v=eea6e42d6fcf22cb8abaf774bf65528d&imageMogr2/format/webp)
/0/26863/coverorgin.jpg?v=cb60b45f6cd492562d39cd42ee79021b&imageMogr2/format/webp)
/0/28645/coverorgin.jpg?v=bf78c190b73187cab22753a659402b56&imageMogr2/format/webp)
/0/17021/coverorgin.jpg?v=8bfba2fb2d2820bbe566cfe46ce6b456&imageMogr2/format/webp)
/0/29837/coverorgin.jpg?v=3819f1aae67cdbfda1d6afb7ec9da63c&imageMogr2/format/webp)
/0/16151/coverorgin.jpg?v=a220e864e5dbf64d96768e682ffbbf09&imageMogr2/format/webp)
/0/16774/coverorgin.jpg?v=f1527cc3c9d1b0c248a28f4452316e5b&imageMogr2/format/webp)