Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
TERJERAT OBSESI PEWARIS TUNGGAL

TERJERAT OBSESI PEWARIS TUNGGAL

ShineBright

5.0
Komentar
3.8K
Penayangan
44
Bab

Dikejar cinta seorang Nolan Eriko Zermain, pewaris tunggal Zermain Group mungkin terdengar mengagumkan. Namun, bagi Anaya Trixie, obsesi Nolan tidak ubahnya seperti bencana yang tidak kunjung surut. Nolan punya seribu akal licik untuk menjerat dan menarik Anaya ke dalam pelukannya, termasuk memanfaatkan ibu Anaya yang sedang sakit atau membuat gadis itu mau tidak mau harus mengandung, padahal di saat yang sama Nolan juga telah bertunangan dengan putri seorang konglomerat. Di saat semua wanita mendambakan posisi Anaya sebagai gadis yang diinginkan Nolan, Anaya justru sibuk menyusun rencana untuk melarikan diri lantaran tidak bisa paham dan yakin apa yang sebenarnya Nolan coba berikan padanya, ketulusan cinta atau sekadar nafsu berbalut obsesi?

Bab 1 BOOKING

Suara pecahan benda-benda keras terdengar dari dalam sebuah rumah mewah, hardikan penuh kemarahan juga mengiringi pertengkaran sepasang ayah dan anak. Seorang lelaki muda berusia 25 tahun keluar dari rumah itu, membanting pintu dengan kasar kemudian berjalan masuk ke dalam mobil.

Namanya Nolan Eriko Zermain, sehari-hari ia bekerja sebagai direktur sebuah perusahaan milik ayahnya sendiri. Nolan berjiwa bebas dan tidak suka dikekang, setiap hari ia selalu bertengkar dengan ayahnya hanya karena masalah perjodohan.

"SIAL!" makinya kesal sembari memukul-mukul setir mobil yang sedang ia kemudikan.

Ponselnya berdering berkali-kali, Nolan mendadak mual ketika membaca nama seorang perempuan yang muncul di layar ponselnya.

Waktu sudah menunjukan pukul 10 malam, jalanan kota sudah mulai lengang. Nolan mematikan ponsel kemudian melemparnya ke kursi belakang.

"Capek," keluh Nolan, ia melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, menembus angin malam dengan perasaan kalut luar biasa.

Nolan benci ayah dan ibunya, Nolan benci dengan hidupnya sendiri. Ia terluka di dalam jiwa meski hidup bergelimang harta. Nolan tidak pernah bahagia, Nolan tidak pernah merasakan kasih sayang.

CIIITTT!

Nolan masih mempertahankan kesadarannya saat ia hampir menabrak seorang perempuan yang akan menyebrang ke tempat lain. Nolan memukul stir dengan kesal, kemudian membuka pintu dan berjalan keluar menemui perempuan itu.

"KALAU MAU NYEBRANG LIHAT-LIHAT!" hardik Nolan.

Perempuan itu diam saja, tubuhnya bergetar hebat, ia mendongak takut-takut melihat ke arah Nolan. "Ka-kamu gak mau minta maaf?" tanyanya berani.

"Minta maaf?" beo Nolan. "Anda yang salah, bukan saya!"

"Di depan sana lampu merah, seharusnya kamu berhenti, Pak."

Mata Nolan melebar hanya karena panggilan 'Pak'. Perempuan itu membetulkan kacamata warna coklat yang bertengger di atas kepala dan tas selempangnya di pundaknya, kemudian pergi meninggalkan Nolan begitu saja.

Nolan pun tak berbicara lagi, ia bergidik jijik melihat rupa gadis itu. Cantik, tapi sangat kusam seperti tidak terawat, apalagi kemeja yang dikenakan perempuan itu terlihat berantakan dan kebesaran di tubuhnya.

Nolan kembali masuk ke mobil, melajukan mobilnya masih dengan perasaan luar biasa kesal. Menit kemudian, mobil tersebut berhenti di sebuah kafe 24 jam yang terletak di sudut jalan, tempatnya tidak terlalu ramai lalu lalang orang, tetapi kafe tersebut lumayan ramai dikunjungi pemuda pemudi dewasa.

"Hai, Nolan. Long time no see. Gimana kabar lo?" sapa seorang lelaki yang berjaga di meja bartender sembari menepuk bahu Nolan.

"Kayak yang lo lihat sekarang. Masih kacau seperti dulu kala," jawab Nolan.

Lelaki bernama Edgar itu manggut-manggut. "Mau wine atau cocktail?" tawarnya.

"Wine aja, dua botol," pinta Nolan.

"Wah, gila lo! Sebotol aja, kalau mabuk bisa repot!" balas Edgar sembari mengelap sebuah gelas dan meletakkannya tepat di hadapan Nolan bersama dengan sebotol wine.

Nolan tersenyum miring, ia membuka botol tersebut kemudian mulai menuang isinya. Selanjutnya hanya hening mengisi ruang pikirannya, hanyut dalam kenikmatan minuman memabukan itu. Kafe tersebut memang berubah menjadi ajang berkumpul orang dewasa setiap jam 10 malam ke atas, fungsinya akan berubah ketika siang dan sore hari di mana pelajar biasa berkumpul di tempat itu juga.

Mata Nolan memicing memandang seorang perempuan dengan kemeja putih yang digulung sampai ke atas perut, sementara bagian pusatnya ditutup dengan kain tipis dengan belahan dada dibiarkan tetap terlihat, serta rok hitam di atas lutut, sepatu kets, dan rambut dikuncir kuda.

"Itu anak baru?" tanya Nolan mengedik dagu ke arah perempuan itu.

"Yang mana?" tanya Edgar balik.

"Itu di meja nomor lima." Nolan bergidik ketika melihat seorang pria tampak menggoda gadis itu.

"Ooh, iya, baru dua hari," jawab Edgar.

"Pantas aja kelihatan kaku."

"Masih polos."

"Emang ada pegawai cewek yang polos di sini?" tanya Nolan.

"Serius, Lan. Dia aslinya polos banget, kayaknya juga terpaksa kerja di sini. Kadang gue simpati lihatnya, tapi dia kelihatan semangat banget buat kerja," tutur Edgar.

Nolan mengangkat satu alisnya, mengamati sebuah luka lebam kecil di dekat lutut gadis itu, kemudian kembali fokus dengan gelas wine di tangan.

"Bang Edgar, meja nomor lima pesan Singapore Sling," ucap perempuan itu mendekati meja bartender, sembari meletakan gelas-gelas kotor yang ia angkut dari meja lain.

"Ok, Anaya cantik," sahut Edgar ceria.

Mata Nolan melirik ke arah perempuan itu, ia sedikit terkejut ketika menyadari bahwa pelayan di hadapannya ini adalah perempuan yang hampir ia tabrak tadi.

"Kamu kerja di sini?" Nolan membuat perempuan itu tersentak.

"H-hah?"

Nolan berdecih, rupanya perempuan ini lupa siapa dirinya. Maklum saja, jalanan tadi cukup gelap apalagi kacamata yang Anaya gunakan sempat terlepas dan pecah saat berpapasan dengan mobil Nolan.

"Ma-maaf, Anda siapa?" tanya Anaya.

Nolan menghela napas. "Lupain aja."

Anaya mengangguk, kemudian kembali fokus menunggu Edgar selesai membuat minuman. Sementara Nolan tampak tertarik dengan sosok Anaya yang berbeda jauh dengan yang ia lihat tadi. Tubuh mungil dengan tinggi 158 cm, kulitnya putih bersih, wajahnya terlihat lebih cantik. Pakaian yang ia kenakan jauh lebih pantas daripada kemeja kebesaran yang dipakainya tadi, wajah kusam itu menjadi terlihat jauh lebih menarik setelah diberi make up tipis.

"Silakan, Anaya. Hati-hati kerjanya," ucap Edgar sembari meletakan gelas cocktail di atas nampan.

Anaya tersenyum manis. "Makasih, Bang Edgar." Perempuan itu kembali ke meja nomor lima untuk melakukan tugasnya.

Anaya diminta duduk di tengah-tengah bersama dua pria bertubuh tambun yang wajahnya hampir terlihat setengah mabuk. Meski Anaya enggan, dia harus melakukannya karena ini merupakan bagian dari service kafe.

Nolan memperhatikan Anaya dari jauh, ia tersenyum licik seraya mengumpat dalam hati saat melihat tangan dua pria itu mengusap-usap paha Anaya. Sementara Anaya sendiri tidak bisa melawan dan hanya menampilkan senyuman manis agar dua pria itu tidak kecewa.

"Lo bilang polos, tuh, buktinya digrepe-grepe diam aja," kata Nolan.

"Itu keinginan pelanggan, kalau dia nolak bisa tutup, nih, kafe," sahut Edgar.

"Berarti gue juga boleh dong?"

"Ngapain? Grepe-grepe?"

Nolan mengangguk.

"Tumben, dari dulu mana mau lo dekat-dekat sama waitress di sini. Gue pikir lo homo," canda Edgar.

Nolan berdecih kemudian menyuruh Edgar untuk memanggil Anaya. Detik kemudian, Anaya bangkit dari duduknya, berpamitan dengan dua pria itu.

"Ada apa, Bang Edgar?" tanya Anaya sopan.

"Nih, teman gue minta ditemani," kata Edgar mengedik dagu ke arah Nolan.

"Kamu mau aku temani?"

Nolan mengangguk. "Duduk di sini aja, jangan sama bapak-bapak."

Anaya mengangguk, kemudian duduk di kursi di sebelah Nolan. Selama duduk di sampingnya, Nolan tidak banyak bicara kepada Anaya, perempuan itu sendiri tidak tahu mau berbuat apa karena Nolan tidak terlihat berminat padanya.

"Pak, kalau gitu saya permisi dulu, ya. Pekerjaan saya masih-"

"Siapa yang suruh kamu pergi? Temani saya sampai pagi," sela Nolan.

"Ta-tapi-"

"Udah gak pa-pa, Nay. Kamu temani aja sampai jam pulang," sambung Edgar.

Anaya mengangguk, kembali duduk tenang sembari menunggu waktu pulang.

"Dek, duduk sama saya lagi, yuk," ajak seorang pria yang tadi duduk di kursi nomor lima yang tiba-tiba menghampiri meja bartender untuk menggoda Anaya.

"Saya masih harus layani tamu, Om," jawab Anaya.

"Saya juga tamu ...." Tangan pria itu bergerak nakal membelai pinggang Anaya.

Nolan berdecih kasar, ia menarik kursi Anaya agar lebih dekat dengannya kemudian ia memeluk perut perempuan itu dari belakang.

"Dia udah saya booking malam ini, bentar lagi saya bawa ke hotel," sergah Nolan galak.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku