WARNING : AREA 21+ WARNING : AREA 21+ Carolin Azetta, perempuan cantik yang bertubuh gemuk berniat ingin bunuh diri ketika dirinya dikhianati oleh keluarganya hingga bertemu dengan Darren Agler. Rasa cintanya tumbuh hingga bertekad merebut Darren dari Quina. Fitnah ia lontarkan bahkan rela menguruskan badannya. Namun, saat ia sudah memiliki Darren, seseorang bernama Jerremy masuk ke dalam hubungan mereka.
Kota Jakarta terlalu dingin untuk ukuran jam 8 malam. Angin terlalu sepoi ditambah rintik hujan yang mengguyur. Aspal kini lembap dan digenangi air. Meskipun demikian, langkah kaki
Carolin atau yang sering disapa Olin terus melaju tidak peduli akan tubuhnya yang basah. Rasa sakit hatinya lebih penting dari pada rasa menggigil yang diterima oleh tubuhnya.
"Aku harus apa, Tuhan?" Bibir pucat itu berucap dibarengi air mata. Ia tidak tahan lagi.
Keluarganya benar-benar telah menancapkan luka di hatinya tanpa peduli sama sekali.
Mengusirnya hanya karena memberontak demi sebuah keadilan antara dirinya dan sang kakak.
Ayahnya menganggap dirinya sebagai anak durhaka dan tidak pantas tinggal di rumah mereka, sedangkan ibunya menuduhnya merebut kebahagiaan sang kakak. Padahal, jika
dipikir-pikir, Elana yang telah merusak segala kebahagiaannya.
Ah, Olin harus apa?
Elana berhasil menggoda Stevan dan mengajak tidur bersama hingga kakak satu-satunya itu hamil. Ketika menuntut keduanya dan menjatuhkan kesalahan pada Elana, kedua orang
tuanya malah menganggap dirinya yang tidak layak untuk Stevan sehingga lelaki itu melarikan diri pada Elana yang merupakan primadona.
Di depan semua orang Olin dipermalukan dengan Stevan melamar Elana dan siap menjadi ayah untuk calon bayi dalam perut Elana.
Semua orang mencemooh Olin. Mencapnya sebagai perempuan buruk yang tidak akan berhasil pada satu hubungan serius.
Dan itu semakin menyakitkan hati Olin. Kenapa? Apa salahnya? Hanya karena tubuhnya yang tidak layak mendapatkan yang sempurna?
"Akh!" Suara rintihan
keluar dari bibir pucat ketika beling menancap pada telapak kakinya. Meskipun memakai alas kaki, tapi berhasil tembus menusuk dan mengalirkan darah. Mungkin karena alas kaki yang digunakan hanya sendal jepit tipis. Olin terlalu susah payah melepas beling itu hingga ia terpaksa duduk di aspal yang tergenang air.
Terlalu perih, meskipun rasa di hatinya jauh lebih sakit dan perih.
"Kenapa rasanya sangat sakit, Tuhan!" Olin menggigit bibirnya. Percampuran antara ras sakit kaki dan rasa sakit hati benar-benar telah membuat luka teramat dalam di hidupnya.
Tangis jatuh. Rintik hujan meleburkan segalanya.
Tidak ada pilihan untuk Olin selain melepaskan segalanya. Mungkin dengan mengakhiri nyawanya maka luka dan penderitaan berakhir.
Tidak akan ada lagi yang mengejek penampilannya dan juga tubuhnya yang terlalu berisi.
Olin sudah siap untuk mati. Ia akan mencari jembatan untuk terjun bebas. Atau mencari kendaraan yang melaju cepat dan melemparkan dirinya agar dilindas.
Pemikirannya kacau. Namun, belum sempat
melakukan segala niatnya itu, seseorang berdiri di depannya, memayungkan dan kemudian bertanya dengan nada khawatir.
"Anda baik-baik saja, Nona?" Suara itu terdengar rendah dan juga dalam.
Olin bahkan terpaku hanya pada suara. Menengadah dan menatap fokus pada lelaki yang terlihat tampan meskipun menutup wajahnya dengan masker hitam.
"Kakimu terluka. Astaga!" Lelaki itu menyerahkan payung pada Olin, lalu berjongkok dan meneliti
luka kaki yang tertancap beling itu. "Ini cukup dalam. Darah yang keluar cukup banyak. Kau harus ke rumah sakit."
Belum lima menit kalimat itu keluar dari mulut si lelaki, Olin terkulai lemah. Bersyukur saja, gerakan cepat si penolong sungguh luar biasa sehingga mampu meraih tubuh Olin dan membawanya ke dalam pelukannya. Bahkan payung yang terjatuh dari tangan Olin berhasil ditangkap olehnya. Lelaki asing yang terlalu baik.
***
"Kau sudah bangun?" Olin yang baru saja
membuka matanya dikagetkan oleh suara lelaki asing yang terdengar begitu dekat di rungunya.
Olin memalingkan wajahnya ke samping lantaran lelaki asing itu menunduk ke arahnya hingga jarak mereka terlalu dekat.
"Syukurlah. Aku benar-benar khawatir," kata lelaki itu. Ia meletakkan tangannya di kening Olin.
"Demammu juga sudah stabil," lanjutnya lagi.
Mendengar itu, Olin kembali meluruskan pandangannya, menatap wajah lelaki asing yang sangat tampan dan juga menawan. Bola mata berwarna biru itu berbinar memancarkan kelegaan yang tiada tara.
"Ah, iya. Aku lupa memperkenalkan diri." Mengulurkan tangan pada Olin. "Darren Agler."
Olin tidak langsung menyambut. Ia malah berusaha mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk.
Darren dengan sigap membantunya, memberi bantal di punggung Olin agar lebih nyaman.
"Nyaman?" tanya Darren.
Olin mengangguk.
"Boleh aku tahu siapa namamu?" Kembali Darren bertanya.
Lagi, Olin mengangguk.
"Kalau begitu beritahu padaku," kata Darren.
"Carolin Azetta," ucap Olin pelan.
"Nama yang cantik," puji Darren jujur. "Kau tunggu di sini, ya. Aku akan membawakan makanan untuk mengisi perutmu." Darren hendak berdiri, tapi Olin menahan tangannya.
"Ini di mana? Dan ... kenapa aku bisa di sini?" Darren tersenyum.
"Kau di rumahku," sahutnya. "Apa kau tidak ingat apa yang terjadi tadi malam?" lanjut Darren.
Olin membulatkan matanya. Spontan tangannya menyilang di dada.
Darren lagi-lagi tersenyum. "Bukan itu maksudku."
"Lalu?" cicit Olin.
"Tadi malam, kau pingsan di pelukanku," jelas Darren. "Waktu hujan turun, aku melihatmu menangis dengan kaki terluka. Jadi, aku mendekatimu saat itu dan setelahnya kau malah
terkulai lemah," sambung Darren menjelaskan apa yang terjadi tadi malam.
Olin menunduk. Ia ingat sekarang. Tadi malam, ia di usir dari rumah di saat kakak kandungnya
Elana bertunangan dengan Stevan si pengkhianat.
"Terima kasih, Darren. Terima kasih karena sudah menolongku dan membawaku ke sini. Tapi ...." Olin menggantungkan pembicaraannya.
"Tapi apa?" Darren bingung.
"Tapi seharunya kau tidak perlu menolongku. Aku memiliki niat untuk mengakhiri segalanya tadi malam," terang Olin. Tanpa terasa air matanya jatuh.
"Kenapa?" Darren ingin tahu.
Olin menggelengkan kepala. "Ini urusan pribadiku, kau tidak perlu tahu." Olin tidak ingin orang lain yang baru ia kenal mengetahui aib keluarganya. Ia takut akan di ejek oleh Darren seperti kebanyakan orang yang mengetahui
kisah cinta mirisnya.
"Aku tidak akan memaksamu, Olin. Tapi satu hal yang harus kau tahu, bunuh diri itu tidak akan
menyelesaikan masalah. Justru akan menambah masalah dan mungkin akan semakin
sulit untuk dipecahkan." Darren mencoba memberi pengertian.
Olin terdiam. Ada benarnya apa yang dikatakan Darren, tapi ia tidak ingin hidup dengan penderitaan seperti ini. Tidak diterima oleh keluarganya sendiri dengan alasan yang sungguh tidak logis menurut Olin sendiri.
Dia dianggap durhaka hanya karena memberontak saat kekasihnya terlena pada rayuan kakak kandungnya sendiri.
Miris memang!
"Aku akan membuat makan siang untukmu." Darren yang hendak berdiri lagi-lagi tertahan lantaran Olin menahan tangannya.
"Boleh aku meminta sesuatu?" ujar Olin pelan.
"Katakan saja." Darren menyahut santai.
Olin menghela napas.
"Em ... tidak jadi," cicit Olin lagi. Ia takut jika Darren merasa keberatan pada permintaannya nanti.
"Kau yakin tidak ingin mengatakannya?" tanya Darren.
Olin menggelengkan kepalanya. Masih ragu untuk meminta hal yang mungkin tabu sebenarnya.
"Ya, sudah. Aku ke dapur dulu. Kau bisa membersihkan diri sekarang. Di lemari yang ada di kamar mandi, ada handuk bersih dan juga perlengkapan lainnya. Kau bisa menggunakannya." Darren menyarankan agar Olin segera membersihkan diri agar terlihat lebih segar.
"Terima kasih," cicit Olin.
"Kau bisa jalan sendiri?" Darren khawatir pada kaki Olin yang terluka. Meskipun Darren sudah
mengobatinya dan membalut dengan perban, tetap saja ada rasa khawatir karena bukan dokter yang melakukannya.
Sebenarnya Darren ingin membawa Olin ke rumah sakit terdekat atau klinik, tapi karena sudah sangat larut dan hujan deras, Darren akhirnya membawa pulang ke rumahnya.
Dengan bekal pengetahuan yang pernah ia pelajari dari temannya yang merupakan seorang dokter, Darren memberanikan diri melepas pecahan kaca dari tapak kaki Olin dan mengobatinya dengan sesempurna, mungkin.
Olin melirik kakinya yang diperban. Kemudian mengangguk walau dia tidak yakin apakah sanggup berjalan atau tidak.
"Aku bisa menggendongmu ke kamar mandi jika kau mau," tawar Darren.
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri, Darren," tolak Olin. Ia tidak ingin merepotkan Darren yang terlalu baik padanya. Padahal dirinya hanya orang asing yang baru dikenal.
Lagian, ukuran badannya tidak akan sanggup diangkat oleh Darren, meskipun ia tahu, di balik
kaos oblong warna putih berkerah V itu ada otot kekar.
Olin menelan salivanya susah payah. Astaga, Olin. Pikiran mesum apa itu?
"Baiklah, kalau kau yakin. Aku tinggal," ucap Darren dan kali ini benar-benar keluar dari kamar
yang di tempati oleh Olin.
Olin menghela napas kasar. Ia mencoba menggerakkan kakinya, menapak pada lantai keramik cokelat tua.
Berhasil, walau ada sedikit rasa perih. Tinggal berdiri lalu berjalan ke kamar mandi. Namun, saat Olin tegak di atas kakinya sendiri, ia tidak kuat dan akhirnya terduduk lagi di atas tempat tidur. Rasa perih semakin menjadi-jadi.
"Akh!" jeritnya tidak tertahankan.
Sedetik setelah jeritan itu keluar, Darren masuk ke dalam kamar dengan berlari. Ya, sedari tadi
ia berdiri di balik pintu yang tertutup karena yakin, tamunya itu tidak akan sanggup ke kamar mandi sendiri.
"Kau terlalu keras kepala, Nona Carolin," tukas Darren lalu mengangkat tubuh Olin yang berisi.
Olin terkejut atas tindakan Darren. "Turunkan aku, Darren!" perintahnya, tapi Darren terlalu keras kepala sehingga dengan santai membawa Olin ke kamar mandi, meletakkannya di
dalam bathtub.
"Sekarang kau bisa mandi," ujar Darren. Lalu mengambil handuk serta perlengkapan lainnya dari lemari dan meletakkan di dekat Olin.
Olin hanya menatap Darren dengan pandangan sulit diartikan. Lelaki yang menolongnya itu benar-benar sangat baik dan perhatian.
"Apa aku tidak berat?" tanya Olin mengingat tubuhnya yang berisi.
Darren tersenyum.
"Jangan khawatir. Kau tidak berat sama sekali."
"Kau tidak berbohong?" Olin mencoba mencari kebohongan di mata indah milik Darren.
Darren menggeleng.
"Tidak. Aku berkata jujur. Lagian, jarak kamar dan kamar mandiku hanya beberapa langkah," terang Darren. "Mungkin saja jika jaraknya sekitar sepuluh meter, aku sudah tewas mengenaskan," sambungnya lagi.
Mendengar itu, Olin menunduk. Matanya berkaca-kaca karena pada akhirnya, berat badannya adalah masalah yang bisa membuat semua orang menjauhinya.
"Astaga! Aku hanya bercanda." Darren mengangkat dagu Olin menggunakan jari tengahnya. "Aku bercanda. Kau tidak berat sama sekali. Ayolah." Mengelus pipi Olin lembut.
Seketika air mata Olin jatuh. Ia tidak menyangka jika Darren benar-benar berbeda dari lelaki
kebanyakan.
"Jangan menangis."
Darren menghapus air mata itu lalu memeluk Olin sembari mengelus punggung. "Kau jangan terlalu peduli pada hal yang sebenarnya sepele. Ukuran berat badan itu tidak menjamin kau jelek, kan?" Darren benar-benar menenangkan Olin.
Olin melepaskan diri dari pelukan Darren. "Terima kasih sekali lagi," ucapnya tulus.
Ini pertama kalinya ia bertemu dengan orang yang tidak peduli pada ukuran berat badannya.
"Kau sudah tenang?"
Olin mengangguk.
"Kalau begitu, aku benar-benar akan ke dapur
untuk memasak makan siang. Atau mungkin makanan siap saji saja." Darren menutup pintu kamar mandi dan benar-benar keluar dari kamar menuju dapur.
***
Binar bahagia di mata Olin terpancar lantaran melihat ayam bakar di atas meja. Ia menelan
ludahnya, tapi ia tidak ingin mendahului sang pemilik rumah yang masih sibuk mengambil piring dan gelas dari lemari.
"Kau suka?" Darren meletakkan piring di depan Olin serta gelas kosong dan susu kotak.
Olin menengadah menatap Darren. "Ini enak. Pasti," ucap Olin pelan.
Darren mengulum senyum. "Aku tidak jadi memasak. Lemari pendingin tidak menyimpan bahan makanan sama sekali. Aku lupa belanja bulan," terang Darren. "Kau tidak keberatan
dengan makanan siap saji, kan?"
Olin menggeleng.
"Ini lebih dari cukup," balas Olin. "Terima kasih," katanya lagi.
"Makanlah. Aku yakin kau sangat lapar." Darren menyodorkan ayam panggang yang sedari tadi ditatap Olin tajam. "Makan yang banyak," perintah Darren.
"Kau semakin membuatku gemuk," cicit Olin dan disambut tawa oleh Darren.
Tawa itu menular kepada Olin, sehingga ia juga melakukan hal yang sama. Untuk pertama kalinya ia melepas semua kegundahan hatinya dengan tawa di depan orang asing.
Setelah tawa itu berakhir, tidak ada percakapan lagi yang terjadi. Darren maupun Olin terhanyut
dalam suasana makan siang yang sederhana, tapi terlihat nikmat.
"Aku selesai," ucap Darren setelah berhasil mengisi perutnya dengan sepiring nasi dan dua potong ayam bakar. Perutnya terlalu kenyang dan mungkin akan meledak setelahnya. Ini
pertama kalinya ia makan diluar batas kemampuan lambungnya.
Mungkin karena pengaruh makan berdua. Ya, biasanya Darren hanya makan sendiri, Walau
kadang-kadang Shawn atau Zea datang menemaninya. Garis bawahi, sesekali!
"Aku juga," sahut Olin. Menyudahi makannya dengan meneguk susu sampai tandas tanpa siksa.
"Kenyang?" Darren menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Hanya anggukan yang menjadi sahutan dari pertanyaan itu.
"Biar aku aja yang beresin, Olin," tegur Darren saat Olin mulai bergerak membereskan piring-piring kotor.
"Tapi–"
"Kakimu itu masih sakit. Jangan bandel!" dengkus Darren lalu mengambil piring-piring yang sudah Olin kumpulkan dan kemudian membawa ke tempat mencuci piring.
"Olin," panggil Darren dari pantri.
"Ya?" Olin menoleh ke arah Darren yang sedang mencuci piring.
Ah, terlalu mandiri.
Olin salut dan semakin terpana pada lelaki tampan itu.
"Di mana alamat rumahmu? Biar aku antar," ujar Darren tanpa melihat.
Olin menghela napas saat mendengar kalimat itu. Hal inilah yang tidak ingin ia dengar sama sekali,
karena Olin sendiri bingung harus jawab apa. Dia diusir dari rumah, lantas alamat mana yang akan ia berikan pada Darren.
Atau ... haruskah ia meminta Darren untuk mengizinkan dirinya tinggal di rumah mewah yang sekarang ini? Ya, saat tadi di kamar, inilah yang sebenarnya Olin ingin katakan pada
Darren.
Namun, ia ....
"Kenapa tidak kau jawab?" Darren sudah berada di depannya. Lelaki itu sudah selesai mencuci
piring. Ah, sejak kapan Darren berdiri di depannya? Berapa lama ia melamun?
"I-itu ...." Olin tergagap.
"Kau kabur dari rumah? Atau kau diusir?" tebak Darren asal.
Olin menggigit bibirnya bagian dalamnya. Ia tidak punya alasan lagi untuk menolak bercerita
apa yang terjadi padanya tadi malam.
"Sebenarnya ... aku diusir oleh orang tuaku dari rumah."
Darren hanya mendengar tanpa membantah.
"Mereka mengusirku tepat di malam pertunangan kakak kandungku dengan lelaki yang sebenarnya adalah kekasihku." Air mata Olin jatuh berderai. "Mereka selingkuh di belakangku.
Alasannya karena dia malu dengan kekasih yang berat badannya sungguh memilukan," jelas Olin.
"Lalu, kenapa kau diusir? Bukannya kakakmu yang bersalah?" Darren bingung pada orang tua Olin.
Yang salah siapa, yang diusir siapa.
"Mereka juga malu memiliki putri jelek rupa sepertiku. Saat aku memberontak meminta keadilan, ayahku menganggapku anak durhaka. Lalu ibuku mengatakan kalau aku yang merebut
kebahagiaan kakakku. Aneh, bukan?" Olin tersenyum di sela tangisnya.
Hidupnya yang terlalu miris.
Darren menghapus air mata Olin dengan jarinya. "Jangan menangis lagi. Kau bisa tinggal di sini jika kau mau. Ada kamar kosong yang bisa kau tempati."
Olin menengadah.
Astaga, lelaki ini benar-benar sangat baik. Bisakah ia berharap pada lelaki di depannya itu? Berharap lebih tanpa harus terluka. Oh, misalnya ... tetap membuatnya di rumah itu dan memberinya sedikit pekerjaan.
"Terima kasih, Darren."
Darren mengangguk.
"Ah, iya, aku lupa. Sejam lagi aku ada meeting. Tak apa jika kau ku tinggal? Darren khawatir.
"Pergilah. Aku akan menunggumu di ruang tamu."
"Oke. Aku tidak akan lama meeting-nya. Sekitar dua jam, itu pun sudah terlalu lama. Setelah aku
pulang, akan aku tunjukkan kamar yang bisa kau tempati nantinya," ujar Darren.
Lagi-lagi hanya anggukan kepala yang menyahuti Darren.
Darren pergi ke kamar yang tadi di tempati oleh Olin setelah mengacak rambut Olin lembut.
Senyum Olin mengembang. Di rumah orang asing ini sepertinya ia menemukan kehidupan yang ia impikan. Diperlukan dan diperhatikan! Olin tidak tahu harus membalas kebaikan Darren seperti apa. Namun, ia berjanji akan membalas dengan cara apa pun.
Ya, dengan cara apa pun yang bisa melunasi hutang budinya.
Bab 1 Lelaki Penyelamat
01/02/2024
Bab 2 Ada Apa
01/02/2024
Bab 3 Penjelasan
01/02/2024
Bab 4 Hadiah Pertama
01/02/2024
Bab 5 Fake Love
01/02/2024
Bab 6 Kau Cantik, Olin
01/02/2024
Bab 7 Shawn Dia Gila!
01/02/2024
Bab 8 Tidak Perlu Khawatir, Darren
02/02/2024
Bab 9 Taman Hiburan
02/02/2024
Bab 10 Quina Kekasih Darren
02/02/2024
Bab 11 Kau dimana
07/02/2024
Bab 12 Restu
07/02/2024
Bab 13 Jangan Lagi
08/02/2024
Bab 14 Rencana dan Usaha
08/02/2024
Bab 15 Demi Keegoisan
10/02/2024
Bab 16 Perubahan Sikap Darren
10/02/2024
Bab 17 Pertengkaran
13/02/2024
Bab 18 Mencemaskan Olin
13/02/2024
Bab 19 Kepergian Olin
28/02/2024
Bab 20 Maafkan Aku
28/02/2024
Bab 21 21. Peringatan
29/02/2024
Bab 22 Fake Love
29/02/2024