Benih Sang Pewaris

Benih Sang Pewaris

Vey Vii

5.0
Komentar
23.5K
Penayangan
40
Bab

Seorang pelayan hotel bernasib sial tiba-tiba diperkosa oleh lelaki yang tidak ia kenal. Gadis itu mendapatkan penawaran berbagai imbalan besar sebagai ganti rugi, namun ia menolaknya. Naas, pelayan tersebut telah mengandung benih dari lelaki yang tak dikenalnya. Bagaimana kisah gadis pelayan itu melewati penderitaannya agar bisa bahagia? Ikuti cerita Isabella, gadis yang mengandung benih sang pewaris.

Bab 1 Insiden Mengerikan

"Mirah! Mirah! Buka pintunya!" Suara gedoran dari arah pintu rumahku itu terdengar begitu keras hingga membuat aku dan Mas Danu terkejut dan bangun tiba-tiba.

Aku melirik jam dinding yang bertengger di atas meja rias, menunjukkan pukul sebelas malam.

"Siapa malam-malam bertamu, Mas?" tanyaku.

"Nggak tahu, aku cek dulu, ya, Sayang." Mas Danu langsung turun dari tempat tidur dan berjalan cepat keluar kamar.

Perasaanku tidak tenang, aku pun berjalan mengikuti Mas Danu sambil menutupi tubuhku dengan selimut tebal.

Semakin lama, suara dari arah luar rumah itu terdengar semakin familiar.

"Sepertinya itu suara Mbak Lina, Mas," ucapku.

"Benarkah?" Mas Danu buru-buru membuka pintu.

Benar saja, Mbak Lina tengah berdiri di depan rumah kami dengan penampilan yang tak biasa. Ia membawa tas besar di tangannya, sementara rambutnya tampak sangat berantakan.

"Mirah!" Mbak Lina berjalan cepat menghampiriku lalu memelukku dengan erat. Ia menangis tersedu-sedu hingga kedua bahunya berguncang hebat.

"Ada apa, Mbak? Kenapa malam-malam kesini?" tanyaku heran.

"Aku di usir, Mir. Aku nggak tahu harus pergi ke mana. Tolongin Mbak Lina, Mir," jawabnya.

"Kenapa di usir, Mbak? Mbak Lina salah apa?"

Mbak Lina menggeleng cepat. "Tolong izinkan Mbak tinggal di sini sementara, Mir. Tolong, ya," pintanya memohon.

"Sayang, biarkan Mbak Lina tenang dulu. Jangan diintrogasi gitu, kasihan," sela Mas Danu.

Suamiku itu lantas memegang kedua pundak Mbak Lina dan membantunya duduk di kursi ruang tamu kami.

"Mbak Lina boleh tinggal di sini, kok. Kami nggak keberatan. Iya, kan, Sayang?" Mas Danu menoleh ke arahku.

Aku tak kuasa menolak, namun aku juga tidak mungkin tega membiarkan Mbak Lina terombang ambing di jalanan di tengah malam begini.

"Baiklah, tapi tolong jelaskan pada kami kenapa Mbak tiba-tiba di usir gini. Siapa tahu kami bisa bantu, Mbak," ujarku.

"Kita bahas besok aja, Sayang. Biarin Mbak Lina istirahat dulu," pinta Mas Danu.

Suamiku itu memang laki-laki yang baik hati. Ia tak pernah tega membiarkan siapapun dalam kesulitan. Tak peduli pada dirinya sendiri, Mas Danu selalu membantu orang lain dengan tulus dan ikhlas.

"Ya sudah! Sini, aku antar ke kamar," ajakku.

"Kamu istirahat aja, Sayang. Biar aku yang antar Mbak Lina," sela Mas Danu.

Laki-laki itu lantas membawakan tas besar milik Mbak Lina dan berjalan lebih dulu menaiki anak tangga.

Di lantai kedua rumah kami, hanya ada satu kamar kosong dan ruang santai. Sementara aku dan Mas Danu lebih suka memilih kamar di lantai dasar karena tak perlu repot naik turun tangga.

Hanya berselang lima menit, Mas Danu langsung kembali ke kamar kami untuk menyusulku.

"Mbak Lina gimana, Mas?" tanyaku.

"Kelihatannya masalah Mbak Lina serius, Sayang. Kasihan dia," gumamnya.

"Iya, kasihan." Aku menganggukkan kepala pelan.

Baru satu tahun yang lalu Mbak Lina menjada. Mas Yanto, suaminya meninggal secara tiba-tiba. Orang bilang karena serangan jantung. Tapi anehnya, Mas Yanto adalah orang yang sangat sehat. Selama menjadi suami Mbak Lina, aku tak pernah mendengar Mas Yanto sakit.

Kabar kematiannya mengejutkan semua orang, bahkan orang tuanya sendiri. Kami tak menyangka, Mas Yanto yang usianya masih tiga puluhan itu meninggal secara tiba-tiba.

Mbak Lina tampak tegar dan sabar saat ditinggalkan oleh suaminya. Kami memang yatim piatu. Meskipun aku dan dia adalah saudara dari ibu yang berbeda, kami tak tetap saling menyayangi.

...

Pagi-pagi sekali aku menyiapkan sarapan sebelum berangkat bekerja. Mas Danu adalah laki-laki pengertian, ia selalu membantuku melakukan semua pekerjaan rumah tanpa rasa canggung.

"Mas, tolong panggilin Mbak Lina dong. Udah siap, nih, sarapannya!" pintaku.

"Ah, iya. Sebentar, ya, Sayang."

Laki-laki itu mencuci tangan setelah membantuku memasak, lalu segera pergi menyusul Mbak Lina ke kamarnya.

Sambil menunggu, aku kembali ke kamar untuk mengganti pakaianku.

Setelah berganti pakaian, aku lantas kembali ke ruang makan. Aku pikir Mas Danu dan Mbak Lina sudah menunggu, nyatanya mereka tak terlihat batang hidungnya.

"Mas!" Aku memanggil Mas Danu dari ujung tangga paling bawah karena enggan naik ke lantai atas.

Katanya cuma panggil Mbak Lina, tapi kok lama?

"Maaf, Sayang. Tadi bantu Mbak Lina beresin lemari," ucap Mas Danu sambil berjalan menuruni anak tangga.

"Oh, Mbak Lina mana?"

"Mandi."

"Ya sudah, kita sarapan dulu, udah siang. Nanti biar Mbak Lina sarapan sendiri, " ajakku.

Mas Danu mengangguk setuju, kami akhirnya sarapan bersama lebih dulu karena khawatir telat ke kantor.

Saat kami berdua hendak berangkat, Mbak Lina turun dari kamarnya. Jika diperhatikan lebih dekat, kakakku itu kini semakin gemuk, tubuhnya lebih berisi dari terakhir kali kami bertemu.

Ia menuruni anak tangga sambil tersenyum, bersenandung pelan menyanyikan sebuah lagu, rambutnya basah digerai panjang sepinggang.

Wajah sedih dan pilu semalam telah hilang, pagi ini Mbak Lina tampak sangat segar dan ceria.

"Kalian mau berangkat?" tanyanya.

"Ah, iya, Mbak. Aku udah masak buat sarapan pagi sama makan siang. Kalau butuh apa-apa, telepon aja," jawabku.

"Terima kasih, ya, Mirah. Hati-hati di jalan." Mbak Lina tersenyum sambil melambaikan tangan.

Aku hanya mengangguk dan berbalik, menyusul Mas Danu yang sudah masuk ke dalam mobil lebih dulu.

"Mas, Mbak Lina cerita sesuatu nggak sama kamu?"

"Cerita apa, Dek? Nggak tuh!"

"Aneh deh, masa semalam nangis-nangis sedih, pagi ini udah biasa aja."

"Apanya yang aneh sih, memangnya kamu lebih suka kalau Mbak Lina sedih kayak semalem?"

Sepanjang perjalanan menuju kantor, pikiranku begitu tidak tenang.

Apa yang membuat Mbak Lina diusir oleh kedua mertuanya, padahal rumah yang ia tempati itu seharusnya telah menjadi haknya?

....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku