/0/16821/coverorgin.jpg?v=12a7363d56d48ac65197b270d1e45d7e&imageMogr2/format/webp)
Banyak orang yang mengira kalau aku menjalani hidup yang sempurna.
Aku menikah dengan pria mapan yang baik hati dan bertanggung jawab. Kedua anakku, Evan dan Rico, tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Orang-orang bilang, di umurku yang ke-35 tahun aku masih nampak seperti gadis dengan tubuh molek yang mempesona.
Pokoknya, tidak ada yang kurang dalam hidupku. Semuanya sempurna.
Tapi kesempurnaan yang dilihat orang-orang itu semu.
Sebuah kebohongan besar kusimpan dalam-dalam selama sepuluh tahun pernikahanku dengan suamiku. Kebohongan bahwa aku mencintainya.
*
Kebohongan lainnya adalah aku menikmati semua sesi bercinta dengan Prasetyo, panggilannya Pras–suamiku. Nyatanya, aku tidak pernah terpuaskan oleh suamiku sendiri. Tidak pernah. Sekali pun dalam sepuluh tahun pernikahan kami.
Ha! Menyedihkan memang. Dan aku selalu berpura-pura mencapai kenikmatan itu, memujinya sebagai pria hebat sepanjang masa, yang bisa membawaku melayang ke atas sana. Semua kulakukan hanya untuk menjaga harga dirinya.
Jangan salah, kami sudah membahas masalah ini di awal pernikahan–bahkan sampai ke seksolog segala–yah, tapi hal itu tidak membantu. Pras sepertinya sudah sekuat tenaga menahan agar tidak selesai duluan, tapi tetap saja sulit bagiku untuk mencapai kenikmatan itu.
Jujur, aku tidak pernah merasakan gairah saat kami berhubungan. Mungkin, karena aku memang belum bisa mencintainya.
Kurasa aku layak dapat Piala Oscar sebagai aktris terbaik karena berkat akting menawanku ini aku berhasil mempertahankan rumah tangga kami selama sepuluh tahun.
Kamu sungguh hebat, Andini! Aku selalu memuji diriku seperti itu–sebenarnya ini hanya kamuflase untuk menyemangati diriku sendiri sih.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan dari luar kamar mandi membuatku tersentak.
Lamunanku–lebih tepatnya keluhanku–langsung buyar seketika.
"Sayang, udahan belum? Kok lama banget? Aku boleh masuk ya?" Suara Pras terdengar dari luar sana.
Aku berdecak kesal. "Sebentar!" balasku kemudian.
Cepat-cepat aku membasuh seluruh tubuhku hingga bersih. Aku tidak mau suamiku masuk dan memaksaku memulai ronde kedua.
Soalnya, stok kepura-puraanku sudah habis untuk malam ini.
*
Setelah selesai kelas pilates, aku sengaja mampir ke toko buah langganan. Setelah itu aku bergegas pulang untuk istirahat sebentar sebelum nanti aku lanjut les baking pukul dua siang.
Selesai kelas baking, aku harus menjemput kedua putraku, Evan, delapan tahun dan Rico, enam tahun, di sekolah.
Seperti itulah kegiatanku sehari-hari; belanja, les sana-sini, ngopi cantik dengan teman-temanku, ke salon, antar jemput anak. Pokoknya aku harus menyibukkan diri.
Pras tidak mengizinkanku bekerja. Dia ingin aku mengabdi sepenuhnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak kami. Kata salah satu temanku, itu adalah salah satu cara Pras agar aku tidak mandiri dan bergantung padanya.
Awalnya, aku keberatan. Karena sebelum menikah dengan Pras, aku memiliki pekerjaan yang cukup stabil. Tapi Pras berjanji untuk memenuhi segala kebutuhanku–dan dia melakukannya–jadi, ya sudah, aku menjalani peran sebagai ibu rumah tangga saja selama ini.
Kadang, aku merasa kesepian apalagi kalau teman-temanku sibuk dengan bisnis mereka–Pras juga melarangku berbisnis, katanya aku tidak berbakat–rumah terasa hampa. Kedua anakku sudah beranjak besar dan sibuk dengan kegiatan sekolah.
Makanya, aku mendaftar berbagai macam kursus.
Sepertinya hampir semua kursus pernah aku ikuti, mulai dari memasak, merajut, yoga dan pilates, bahasa asing, sampai yang terakhir aku iseng ikut kursus coding sampai dapat sertifikat segala–tapi entah untuk apa sertifikat itu, toh aku dilarang kerja oleh suamiku?
Aku menyeka keringat yang membasahi pelipis lalu menaruh keranjang belanjaan.
Tiba-tiba telepon rumah berdering. Keningku mengernyit karena tumben-tumbenan ada yang menelepon ke rumah.
"Halo?"
"Selamat siang!" Suara seorang pria terdengar ceria dari seberang sana. "Ini benar dengan rumah Bapak Prasetyo Hendrawanto?"
Aku menghela napas pendek. Bisa kutebak, dia pasti sales yang hendak menawarkan kartu kredit, atau mungkin penipu yang bilang suamiku menang undian.
"Iya, benar," jawabku acuh. Huh, seharusnya aku tidak usah mengangkat telepon ini. Buang-buang waktu saja, pikirku.
"Kami dari Showroom Mobil Permata Indah. Saya dengan Wawan sebagai sales executive yang menangani pembelian mobil dari Bapak Prasetyo Hendrawanto."
/0/23987/coverorgin.jpg?v=65539e85f791a9c83ad480a55e39389c&imageMogr2/format/webp)
/0/19016/coverorgin.jpg?v=fa0a7ea0d31a1a092582abff71ac8703&imageMogr2/format/webp)
/0/6480/coverorgin.jpg?v=20250120180002&imageMogr2/format/webp)
/0/21167/coverorgin.jpg?v=0eaf36107d3953be702842be2e46ecb6&imageMogr2/format/webp)
/0/21237/coverorgin.jpg?v=7e90218b32918639b2b212e0858d597e&imageMogr2/format/webp)
/0/27349/coverorgin.jpg?v=20251106165028&imageMogr2/format/webp)
/0/18593/coverorgin.jpg?v=20240816184341&imageMogr2/format/webp)
/0/8523/coverorgin.jpg?v=20250122182438&imageMogr2/format/webp)
/0/18467/coverorgin.jpg?v=b902f1f6a225efeed3093541e2ca7f28&imageMogr2/format/webp)
/0/8553/coverorgin.jpg?v=6d785eaa780a19d00967451b2fad3061&imageMogr2/format/webp)
/0/12466/coverorgin.jpg?v=9708eb3a96ea70a88003a6546546066e&imageMogr2/format/webp)
/0/15244/coverorgin.jpg?v=20250123120615&imageMogr2/format/webp)
/0/13462/coverorgin.jpg?v=0c616a1344722e20590590b6ebde98df&imageMogr2/format/webp)
/0/22079/coverorgin.jpg?v=20251124200610&imageMogr2/format/webp)
/0/10955/coverorgin.jpg?v=69772ca41bef2e53ed297222af23b379&imageMogr2/format/webp)
/0/3831/coverorgin.jpg?v=49265f3447294b21d294b6efa6828dc1&imageMogr2/format/webp)
/0/27350/coverorgin.jpg?v=f6b1abdcd82d7908c16234a24023609b&imageMogr2/format/webp)
/0/16313/coverorgin.jpg?v=826938fa2d6147a359ff89b8580da6c0&imageMogr2/format/webp)
/0/27379/coverorgin.jpg?v=f1a0d00f47a49b00bad0ae3ae91765b2&imageMogr2/format/webp)
/0/15680/coverorgin.jpg?v=3a19f1e4a85db4fa94e2f407d1d793b4&imageMogr2/format/webp)