Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jerat Cinta Tetangga Baru

Jerat Cinta Tetangga Baru

KN_Auhtor

5.0
Komentar
555
Penayangan
10
Bab

Azizah cuma tukang jahit di sebuah butik. Usia yang sudah menginjak 22 tahun membuat ibunya tampak ingin anaknya segera menikah. Apalagi saat pindahnya seorang laki-laki tampan ke sebelah rumah. Lelaki bernama Akmal yang ternyata seorang duda. Ia Terikat permasalahan dengan mantan istrinya. Namun ia juga di desak agar segera memiliki istri yang baru agar bisa lepas dari ingatan akan mantan istrinya. Keduanya sempat dekat dan bahkan mendapat dukungan dari kedua keluarga. Tapi tiba-tiba Dion, lelaki yang sangat di impikan Azizah dulu mengungkapkan perasaan padanya. Bahkan berani langsung ingin mengkhitbahnya. Tapi terhalang restu keluarga pria itu. Sementara hubungan dengan Akmal juga tak jelas akibat bayang-bayang mantan isteri pria itu. Kekalutan menyelimuti Azizah. Siapa kira-kira yang di takdirkan menjadi pendamping hidupnya. Apa lelaki yang sudah lama ia cintai? Namun dengan itu ia harus mengarungi masalah dengan keluarga besar Dion. Atau lelaki yang kini sedang dekat dengannya, tapi dihantui bayang-bayang mantan isteri Akmal yang penuh drama? Ikuti Kisah Azizah dalam memecahkan masalah pendamping hidupnya.

Bab 1 Mas Tetangga Baru

Aziza memarkir motor di depan rumahnya. Tepat di samping rumah Azizah orang-orang tampak sibuk memindah barang dari mobil ke dalam rumah.

Ternyata rumah disebelahnya yang sudah tiga bulan kosong itu benar-benar sudah di beli orang. Aziza jadi penasaran siapa yang membeli rumah itu. Walau tampak sederhana, setau Aziza rumah disampingnya itu sangat luas kebelakang.

"Ngelamun aja, Neng."

"Ih emak! Kaget Azizah."

"Yee! Elu aja yang kebanyakan ngelamun. Orang emak nyapanya baik-baik kok. Anak perawan jangan kebanyakan ngelamun, kaga baek!"

Azizah menggerutu sambil mengusap dadanya. Sementara emak tersayang masuk ke dalam rumah. Netranya kembali memperhatikan kegiatan di depannya.

"Anak ibu Ratih ya? Salam kenal, saya tetangga baru."

Azizah terdiam sambil memperhatikan orang yang tiba-tiba menyapanya. Kemudian melirik tangan yang terulur kehadapannya.

"Eh, iya. Salam kenal juga," balas Aziza terbata.

"Akmal."

"Eh, iya Azizah."

Ia menyambut uluran tangan itu. Senyuman lelaki bernama Akmal itu seketika menghipnotis Azizah.

"Semoga bisa bertetangga dengan rukun ya," ujarnya lagi-lagi setelah itu tersenyum.

"Eh, emh. . ., Iya."

Astaga, kenapa ia malah jadi gelapan begini. Seperti tidak pernah melihat laki-laki saja. Aziza menelan saliva sembari merasakan detak jantungnya yang jedag-jedug tak beralasan.

"Oneng tumben dah kenalan sama cowok cakep."

Ibu berdaster ungu tiba-tiba menyapa dirinya. Siapa lagi kalau bukan tetangga rese disamping rumah yang satunya. Si ibu yang terkenal dengan mulut julidnya kalau lagi gosipin orang.

"Eh, ini Bu Santi, tetangga baru," ujar Aziza tersenyum sambil meringis.

"Oh ini mas yang tinggal di sana ya?"

Entah setan apa yang merasuki Bu Santi. Ia langsung menghampiri keduanya lebih dekat sambil cengengesan.

"Aduh. Masnya ganteng banget. Sendiri aja pindahnya?" tanya Bu Santi sambil memperbaiki rambutnya.

Azizah memutar bola mata melihat kelakuanku wanita tengah baya di depannya. 'Gak inget umur ini janda,' gerutu Aziza dalam hati.

"Iya, Bu. Saya pindah ke sini sendiri. Maklumlah, saya baru pisah sama istri."

'Duda ternyata!' mata Azizah membelak.

"Wah masnya duda. Berarti cocok sama saya yang janda!"

"Aduh, Bu Santi." Aziza tak tahan tidak tertawa.

Ya walaupun statusnya cocok, tapi umurkan beda banget. Ini kalau Faira anak Bu Santi denger, bisa ngubur diri hidup-hidup saking malunya. Untung emaknya gak kayak Bu Santi.

"Kenapa sih?! Orang saya masih cantik gini. Pasti masnya pangling deh," ujar Bu Santi sangat percaya diri.

Aziza hanya bisa menggeleng lalu pamit masuk. Ada-ada aja tetangganya yang satu ini. Ia pikir tadi mau ngenalin Faira gitu sama itu mas tetangga baru.

Atau karena tau status si mas tetangga baru itu duda, ya makanya Bu Santi langsung pangling.

Ah! Mikir apa sih!

Azizah menggeleng mengusir pikiran absurd yang sangat tidak penting itu.

****

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Baru membuka pintu, lagi-lagi Azizah seperti orang yang baru di hipnotis. Diam sambil melihat siapa yang datang.

"Dek Aziza, ini saya mau kasih nasi kotak. Hitung-hitung tanda salam kenalan."

"Oh, Iya mas Akmal. Makasih nasi kotaknya." Lagi-lagi Azizah gelagapan.

"Ya sudah. Saya pamit mau kasih nasi kotaknya ketetangga lain," ujar Akmal pamit.

Aziza mengangguk kecil menatap kepergian Akmal.

Duh! Kenapa sih dia jadi kayak orang cengo tiap kali ketemu Akmal. Padahal laki-laki itu biasa saja padanya.

"Paan tuh, Neng?"

Tiba-tiba emak menghampiri Aziza yang masih berdiri diambang pintu.

"Emak suka banget sih ngagetin." Aziza mengelus dadanya yang masih kaget.

"Lu Napa sih hari ini kebanyakan kagetnya," balas emak sewot melihat anak perawannya ini yang sejak tadi terus kaget kalau ia sapa.

"Siapa yang kasih nasi kotak,vNeng?" tanya emak sambil mengambil alih 3 kotak nasi pemberian Akmal.

"Itu tetangga baru."

"Wah, dari calon mantu?"

"Emak apaan sih?!" Azizah melotot dengan celetukan emaknya yang asal.

"Do'a itu. Bagus kalo elo berjodoh sama si Akmal," balas emak dengan mulut penuh makanan.

"Telen dulu, Mak," tegur Aziza menggeleng.

"Kalo bisa elo banyakin dah deketin itu si Akmal. Baek dia anaknya."

Apaan sih emaknya ini.

"Orang baru kenal gitu udah di nilai baik emak ini," gerutu Aziza sambil mengambil nasi kotak jatahnya. Satu lagi jatah adik laki-laki Aziza yang masih belum pulang.

"Keponakan Bu Halimah, guru ngaji itu loh. Baik udah pokoknya."

Azizah memilih tidak menanggapi. Emaknya ini memang lagi ke pengen punya mantu. Karena usia anaknya ini sudah hampir 22 tahun dan tidak ada tanda-tanda akan menikah.

"Kalau emang Akmal itu demen ama elo, lu terima yak? Emak kepengen punya mantu yang baik, mapan lagi."

"Dia duda, Mak," bantah Azizah dengan lembut.

"Ya duda artinya udah pisah dari bininya yang lama. Bukan laki orang lagi," balas si emak tak terbantahkan.

Kalau udah gini, bakal rumit masalahnya. Emak adalah sesosok manusia yang paling tidak mau di bantah dan kalau dia udah mau, duh bisa malu-maluin.

Tapi lagian kenapa dia harus pusing. Belum tentu juga si mas tetangga baru mau sama dia. Cuma imajinasi si emak aja itu mah

"Dia udah mapan, Neng," ujar si emak. "Punya toko sembako gede dia di pasar."

Tau dari mana juga si emak. Aziza lebih memilih tidak menanggapi. Buat apa debat untuk sesuatu yang tidak pasti.

****

Pagi-pagi Aziza udah nyuci terus jemur. Ya harap maklum dia harus bagi waktu antara ngerjain tugas di rumah sama kerja.

Walau cuma tukang jahit di butik, tapi itu cukup untuk membantu emaknya dan juga memenuhi kebutuhan dirinya. Daripada ngarep jadi PNS tapi pake jalur yang gak lurus itu gak baik. Lagian juga gak ada dana buat kuliah.

Motto hidup Aziza sekarang lebih simpel dari saat dia sekolah dulu. Sekarang mah dia gak mandang bulu kerjaan. Apa aja dia kerjakan asal halal.

Seperti biasa dia menjemur pakaian pagi-pagi buta.

"Pagi Azizah."

Azizah menengok siapa yang mengapa dirinya dari belakang. Sesosok Mas tetangga baru pemilik senyum menawan itu melintasi dirinya lagi-lagi dengan senyuman menghipnotis itu.

Di tangannya membawa bungkusan nasi. Sepertinya dari ujung gang sana. Mak Elis emang biasa jualan nasi kuning pagi-pagi.

"Eh, Mas Akmal. Pagi juga. Dari mana, Mas?"

Meski tau dari mana si Mas tetangga baru, ya tetep aja gitu nanya hitung-hitung basa-basi.

"Beli sarapan, Zah."

Mas tetangga baru sepertinya sekalian pulang dari masjid. Terlihat ia mengenakan sarung dan baju Koko serta kopeah putih.

Masya Allah!

Ganteng banget dah Mas Tetangga Baru kaya gitu.

"Oh, iya, Mas."

"Azizah udah sarapan?" tanyanya.

Astaga! Dia berhenti. Sengaja atau apa ya dia berhenti. Si Mas tetangga baru gak langsung beranjak setelah menyapanya.

"Belum, Mas. Selesain ini dulu. Baru deh sarapan. Terus kerja," balas Azizah seramah mungkin.

Walau jantungnya tak berhenti berdetak kuat. Aroma minyak wangi khas laki-laki di masjid menguar masuk ke hidung Azizah.

"Azizah kerja di mana?" tanyanya lagi.

"Di butik Kumala, Mas. Ngejait," balas Aziza seadanya.

"Wah, Aziza bisa jait toh. Berarti terima jaitan di rumah juga?"

"Iya, Mas, terima juga."

"Berarti kalau saya mau ngejait baju bisa sama Azizah nanti."

Astaghfirullah!

Tolong jantung hamba ya Allah!

Azizah sudah mau pingsan rasanya terus di suguhi senyum manis mas tetangga baru.

Bersambung....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku