Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jerat Cinta Dosen Killer

Jerat Cinta Dosen Killer

Cakecokelat

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
38
Bab

Arum mendapat julukan 'mahasiswa abadi' di kampusnya karena tidak kunjung lulus setelah 7 tahun kuliah. Hidupnya yang biasa-biasa saja mendadadak jungkir balik saat kampus menunjuk Daffin Narendra, seorang dosen muda yang terkenal dengan mulut pedasnya sebagai dosen pembimbingnya, dan jika dia menolak, surat DO terancam dilayangkan. Seolah belum cukup buruk, dunia perkampusan heboh saat Arum dan Daffin digosipkan terlibat skandal percintaan. Bisakah Arum dan Daffin melewatinya saat teror masa lalu mengancam keselamatan hidup mereka?

Bab 1 Pertemuan Pertama

Toloong!" Seorang anak yang sedang bergelantungan di pipa sandaran jembatan berteriak panik. Tangisnya pecah karena ketakutan.

"'Tolooong," teriaknya parau, mulai putus asa.

Jalanan tampak sepi, tidak ada orang yang lewat. Tangannya yang sudah lama bergelantungan semakin lama semakin melemah. Dia menangis, tidak ada yang datang.

HUP

Matanya membuka sempurna saat merasakan tangan hangat yang memegang tangannya erat.

"Aku akan membantumu."

Isak tangis masih terdengar dari mulutnya, seakan tidak memercayai penglihatannya. Penyelamatnya telah datang.

"Kalau kau menangis, aku akan pergi." Si penolong bergumam mengancam, membuatnya segera menghentikan tangis, meski isak kecil masih terdengar sesekali.

"Sekarang aku akan menarikmu."

Dia mengangguk dan mengeratkan pegangan. Si penolong menariknya keluar dari jambatan, meski sulit mereka akhirnya berhasil. Keduanya terlentang di badan aspal. Rintik hujan sesekali mengenai wajah mereka.

"Terima kasih," gumamnya penuh terima kasih kepada penolongnya.

Si penolong memalingkan pandangan. Dia tersenyum dan kembali memandang langit yang dihiasi awan gelap.

Terima kasih, batinnya sekali lagi menatap wajah penolongnya dan menanamnya dalam memori terbaiknya.

***

Kedua matanya membuka sempurna. Sesaat dia terlihat kebingungan sampai sebuah suara berhasil menarik kesadarannya yang berserakan.

"Arum, bangun Sayang, hari ini kamu harus ke kampus!"

Gadis yang dipanggil Arum tengah bergelung dengan selimut tebalnya. Sepasang visual tajamnya kini menatap pintu kamarnya yang tengah digedor oleh bundanya.

"ARUUM!"

Teriakan penuh peringatan itu membuat kesadarannya pulih dalam sekejap. Dia bangun dan segera menyingkap selimut tebalnya. Bergegas masuk kamar mandi dan tenggelam di dalamnya atau kalau tidak, dia harus bersiap-siap mendengar omelan yang pasti akan membuat gendang telinganya bermasalah.

"Hari ini ada pertemuan bukan?"

Arum mengangguk mendengar pertanyaan bundanya begitu dia menginjakkan kaki di ruang makan keluarga. Sudah ada ayah, dan juga adiknya yang siap dengan sarapan paginya.

"Iya, Bunda," balasnya setelah mengambil kursi. Tangannya dengan cekatan menyendok nasi ke dalam piring.

"Pasti pertemuan buat ngeluarin kakak 'kan?"

Arum melotot mendengar ucapan adiknya. Ini anak gak ada sopan-sopannya sama kakak sendiri.

"Enak saja, mana ada yang berani ngeluarin kakak dari kampus," ujarnya bangga. Dia mengibas rambut panjangnya dengan angkuh.

"Ya ampuun, kakak tuh udah 7 tahun kuliah tapi gak lulus-lulus, loh. Apalagi kalau bukan mau ngeluarin surat DO," ucap adiknya menyeringai. Matanya berbinar penuh humor membuat Arum mendecak kesal.

"Ih, ngimpi. Gak mungkin," serunya yakin.

"Sudah, selesaikan sarapan kalian. Hari ini Ayah yang akan mengantar kakakmu." Ayah mereka membuka suara, menengahi pertengkaran yang selalu menghiasi meja makan setiap harinya.

Arum menelan ludah susah payah mendengar penuturan ayahnya. Kalau sudah seperti ini berarti hanya satu hal. Ayahnya mau bicara serius dengannya. Arum melirik bundanya untuk mencari petunjuk, namun bunda Arum hanya menggeleng. Arum mengernyit. Apa yang ingin ayahnya bicarakan sampai bundanya sendiri tidak tahu?

"Ayo!"

Arum bergegas berdiri, mencium bundanya dan buru-buru mengikuti jejak ayahnya. Arum menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki mobil yang di supiri ayahnya, bersiap dengan apa pun yang akan dia terima.

"Apa yang ingin Ayah bicarakan?" tanya Arum begitu dia duduk nyaman di mobil. Dia tidak suka dibuat penasaran. Dia tahu, keadaan seperti ini terjadi hanya jika ayahnya ingin bicara serius.

Ayah Arum melirik putrinya sekilas sebelum mulai menyalakan mesin mobil dan membelah jalanan. "Ayah mau tahun ini kamu sudah lulus kuliah, Arum."

Arum melotot. Loh, kenapa tiba-tiba dia didesak seperti ini? "Tapi kenapa, Yah?" tanyanya bingung. Selama ini kedua orang tuanya tidak pernah keberatan dengan kuliahnya yang tidak kunjung lulus. Jadi kenapa hari ini tiba-tiba berubah? Ada angin ribut apa yang datang menerpa kepala ayahnya?

Ayah Arum balik melotot tidak percaya. "Arum, kalau kamu lupa ini tahun ke-7 kamu kuliah di sana? Mau sampai kapan kamu di sana? Adikmu sudah mau wisuda sedangkan kamu ...," Ayah Arum mendesah frustrasi membuat Arum memberengut.

"Pokoknya Ayah tidak mau tahu, tahun ini kamu harus lulus. Jika tidak ...,"

Arum menunggu dengan was-was.

"Terpaksa kamu harus membiayai semua pengeluaranmu, itu termasuk biaya hidup dan juga biaya kuliah, dan satu lagi ...," Ayah Arum melirik putrinya sekilas. "Kamu tidak akan tinggal di rumah jika tahun ini tidak lulus."

"WHATT!!" pekiknya terkejut, menatap ayahnya seakan tidak pernah melihatnya. Ayahnya pasti bercanda kan?

"Ayah ... serius?" cicitnya diantara deru mobil yang melintas. Ayolah, bagaimana mungkin ayahnya tega membuat keputusan kejam seperti itu pada putri semata wayangnya. Putrinya yang cantik ini akan tinggal di mana kalau dia diusir?

"Dua rius malahan, Kamu itu sudah tua Arum, teman-temanmu sudah pada menikah dan bekerja sementara kamu ...." Ayah Arum kembali menggantung kalimatnya. Pandangannya yang putus asa, mau tidak mau membuat Arum memutar mata. Bukan salahnya kan jika dia tidak lulus sampai sekarang? Dan lagi, dia belum setua itu. Wajah imut begini mana bisa dikatakan tua?

"Hari ini kamu temui dekanat. Ayah sudah meminta bantuannya. Ayah mau kamu lulus tahun ini, itu jika kamu masih mau tinggal di rumah."

Arum menggerutu tanpa kata. Dia mimpi apa sih semalam sampai menerima berita horor ini saat cuaca sedang begitu cerahnya?

Sepanjang perjalanan tidak ada lagi pembicaraan. Arum yang terlalu kesal dengan ultimatum ayahnya hanya bisa mengerucutkan bibirnya sembari menggerutu tanpa suara. Begitu memasuki halaman kampusnya, Arum keluar setelah menatap ayahnya dengan tatapan jengkelnya.

Arum bergegas memasuki ruang dekanat dan menyiapkan diri pada berita buruk berikutnya yang akan dia terima.

"Apa kamu tahu kenapa kamu di sini?" Adalah pertanyaan pertama yang dia terima setelah berbasa-basi dengan dekan fakultasnya.

"Tahu, Pak."

"Kenapa?" Dekan fakultas dengan wajah kebapakan itu kembali bertanya.

"Untuk membahas kelanjutan kuliah, Arum, Pak," jawabnya dengan hati dongkol. Ayolah, dia kan tidak sebodoh itu sampai tidak tahu untuk apa datang ke ruang dekan.

"Tahun ini adalah tahun terakhir kamu di kampus. Jika kamu tidak juga lulus, maaf dengan sangat menyesal kami akan mengeluarkan surat DO."

Ini pasti gara-gara adiknya yang sudah mengutuknya pagi-pagi. Lihatlah, sekarang mimpi buruk benar-benar menghampirinya.

"Bapak tidak mengerti apa yang membuatmu kesulitan dalam menyusun skripsi. Semua temanmu sudah lulus bahkan ada yang sudah selesai S-2, sementara kamu masih tetap di tempat. Apa kamu mengalami kesulitan, Arum?"

Kenapa dekannya jadi mirip ayahnya ya? Suara hati Arum memberontak tidak terima.

"Tidak ada, Pak."

"Baiklah, Bapak tidak akan menahanmu lebih lama. Bapak punya informasi yang bisa membantumu dalam menyusun skripsi. Kita kedatangan dosen muda yang luar biasa cerdas, kampus beruntung karena memilikinya, dan kamu jauh lebih beruntung karena dia bersedia menjadi dosen pembimbingmu."

What?

Arum melongo mendengar informasi beruntun yang diterimanya pagi ini. Lengkap sudah hari buruknya dimulai.

"Tapi ingat dia bukan dosen yang bisa menoleransi orang yang tidak disiplin."

Arum mengernyit tidak mengerti.

"Kamu akan mengerti saat bertemu dengannya. Sekarang pergi dan temui dia."

Arum tersenyum sopan sebelum melangkah pergi.

"Dan Arum...,"

Arum yang sudah memegang kenop pintu urung membukanya. Dia berbalik dan menatap dekan fakultasnya dengan raut bertanya. "Iya, Pak?"

"Dia lebih muda darimu. Pastikan kamu menjaga tingkah lakumu."

Memangnya dia ini apa sampai harus diperingati seperti itu? rungutnya kesal. Dia berjalan diantara keramaian mahasiswa FE yang sibuk berkeliaran di sekitaran kampus. Dia mengembuskan napas pelan saat berada di depan pintu khusus dosen Fakultas Ekonomi. Matanya menyapu seluruh ruangan dan langsung tersenyum saat melihat nama yang dia cari ternyata berada tepat di sudut ruangan.

Arum menarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk menyapa.

"Permisi," ucapnya pelan, setengah berharap agar tidak ada jawaban.

"Masuk!"

Suara dingin yang menyambutnya membuat bulu kuduk Arum berdiri. Dia melangkah masuk dan segera merasakan aura mencekam yang menyambutnya. Ruangan dosen ini tidak luas tentu saja, namun tetap saja dia merasa ruangan ini mengintimidasi, seolah bisa menelannya hidup-hidup.

"Duduk!"

Arum menelan ludah, memutuskan untuk menurut agar semua segera selesai dan dia bisa pulang melanjutkan tidurnya yang tertunda. Pemilik ruangan ini bahkan tidak mengangkat wajah untuk melihatnya! Sombong sekali, batin Arum jengkel.

"Arum Kirana."

Detik namanya disebut pemuda itu mengangkat wajah, membuat Arum terkejut sampai kursi mengeluarkan suara berderik.

Apa ini? Laki-laki ini pastilah berusia awal dua puluhan dan dia... dosen? Bagaimana bisa? Kampus ini bukan kampus sembarangan, tidak mungkin mereka merekrut dosen secara serampangan bukan?

"Apa kau mendengarku?"

Suara tajam itu segera menarik Arum dari lamunannya. Arum mengerjap, mencoba tersenyum.

"Kenapa tersenyum? Ada yang lucu?"

Arum menggeleng. Hari ini dia putuskan kalau dosen ini sepertinya punya masalah dengan mulutnya.

"Aku tidak butuh bahasa isyarat. Kamu punya mulut, gunakan."

Arum gatal ingin memukul kepala laki-laki ini, jika saja dia tidak ingat masa depannya bergantung pada keputusan laki-laki ini.

"Arum Kirana, mahasiswa abadi yang tidak lulus bahkan setelah 7 tahun kuliah, koreksi jika saya salah. Apa itu benar?"

Arum sedang memutuskan untuk melempar dosen sombong di depannya ini dengan pot yang ada di atas meja tepat di depannya.

"Iya," sahutnya enggan.

"Selain tidak lulus kuliah kamu juga tidak punya sopan santun ternyata."

Arum berdeham. "Iya Pak," ralat Arum memperbaiki ucapannya.

"Entah kamu terlalu bodoh atau otakmu memang tidak berfungsi lagi sampai bisa tidak lulus bahkan setelah 7 tahun."

Arum berdiri, tidak tahan terlalu lama satu ruangan dengan dosen sombong yang hanya bisa menghinanya.

"Duduk!"

Arum terbelah antara ingin memaki atau kembali duduk.

"Kamu bisa keluar jika memang tidak ingin lulus."

Ancaman itu berhasil membuatnya berbalik. Dia kembali duduk dan menatap dosen di depannya dengan dongkol.

"Saya tidak akan mentolerir orang malas dan lamban, jika ingin lulus ikuti aturanku, jika tidak, silahkan cari dosen lain."

Arum tahu, sejak saat ini dunianya yang aman dan damai sentosa tidak akan pernah sama lagi, tidak sejak dosen resek dan sombong ini menjadi tutornya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku