Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jerat Cinta Saudara Tiri

Jerat Cinta Saudara Tiri

Dwi Hastuti01

5.0
Komentar
2.2K
Penayangan
26
Bab

Cinta tak akan pernah memilih kepada siapa ia akan berlabuh. Tak ada yang salah dengan cinta. Hanya terkadang, cinta datang salah tempat dan salah waktu saja. Demikian pun dengan cinta yang terjadi di antara Arjun Wira Mahendra dan Gea Sandi Pamukti. Mereka saudara tiri yang sama-sama keras kepala dan mau menang sendiri. Bagaikan kisah Tom dan Jerry, keduanya selalu ribut dan bertengkar. Mereka sama-sama dibawa oleh masing-masing orang tuanya. Arjun dibawa oleh papanya, sedangkan Gea dibawa oleh mamanya. Apa jadinya jika kedua saudara tiri yang awalnya selalu bertengkar dan selalu perang mulut setiap hari itu, akhirnya sama-sama jatuh cinta? Apakah orang tua mereka mengizinkan cinta mereka terus bersemi dan berlanjut ke jenjang pernikahan? Simak kisahnya di novel yang berjudul Jerat Cinta Saudara Tiri.

Bab 1 Jatuh Cinta

Ceklek!

"Auuww, tidaaak!" teriak Gea, seraya menutup tubuh bagian atasnya.

Sontak Gea menoleh ke arah pintu kamarnya yang tidak terkunci, saat Arjun kakak tirinya yang hanya selisih dua tahun itu, membuka pintu kamarnya tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

"Mas Arjun! Awas saja jika kamu masuk ke kamarku lagi, tanpa permisi terlebih dahulu!" ucap Gea jutek.

"Sorry, aku menghadap ke tembok, nih! Buruan, benerin itu kancing bajunya!" ucap Arjun selengekan.

"Ngapain buru-buru. Siapa suruh masuk kamar orang tanpa ketuk pintu dulu," jawab Gea santai.

"Emange gue pikirin! Bodo amat! Emang ini kamar nenek moyang kamu?" ucap Arjun tak kalah ketus.

"Mamaaaa!" pekik Gea memekakkan gendang telinga.

Spontan Arjun mengambil bantal sofa yang ada di sudut kamar adik tirinya itu, lalu melempar ke arah mulutnya yang berisik.

Melihat sang kakak tiri melemparinya dengan bantal sofa, Gea tidak terima. Lalu gadis itu mengambil bantal sofa yang sama, untuk dilempar ke arah kakak tirinya.

Naas, sebelum bantal sofa itu mengenai tubuh kakak tirinya, pintu kamar Gea keburu ditutup oleh Arjun dari luar. Arjun sempat terkikik mendengar omelan adik tirinya di dalam kamar.

Dari balik pintu dapur, Bu Amanda istri kedua Pak Wira Mahendra hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua anaknya.

"Arjun! Kamu apakan adikmu? Tidak bosan apa? Setiap hari beranteeem ... mulu. Kalian itu sudah kuliah. Masa iya, anak kuliahan setiap hari berantem kaya bocah SD," ucap Bu Amanda.

"Hihi ... maaf, Ma. Iseng!" jawab Arjun polos lalu gegas melangkahkan kakinya ke kamarnya di lantai atas.

Keluarga kecil mereka, meskipun sama-sama berasal dari keluarga broken home, tetapi mereka dipersatukan oleh cinta. Pak Wira yang pernah gagal berumah tangga karena istri pertamanya selingkuh lalu menceraikan sang istri.

Demikianpun Bu Amanda yang ditinggal suaminya selingkuh, lalu sang istri minta cerai. Klop! Bagai gayung bersambut. Mereka dipertemukan karena cinta, di saat Bu Amanda sebagai pemilik usaha katering mendapat orderan makanan untuk acara ulang tahun di perusahaan Pak Wira.

Mereka bertemu saat Bu Amanda dan tim-nya menyiapkan menu pesanan perusahaan Pak Wira di aula perusahaan, satu jam menjelang acara ulang tahun dimulai. Entah, siapa yang memulai yang jelas usai acara itu, Pak Wira selalu deg-degan jika bertemu dengan Bu Amanda.

Apakah itu yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Seiring berjalannya waktu, Pak Wira yang mulai penasaran dengan sosok Bu Amanda, akhirnya meminta orang kepercayaannya untuk mencari tahu tentang sosok Bu Amanda itu.

Senyum terbit dari sudut bibir Pak Wira, ketika informasi yang didapatkannya, Bu Amanda adalah seorang janda satu anak. Ibarat kata, jalan untuk pendekatan di antara mereka berdua mulus bagaikan jalan tol yang bebas hambatan. Hingga akhirnya, mereka sering bertemu dan sama-sama membuka diri untuk saling mengenal.

Waktu berjalan dengan cepatnya, lima bulan saling mengenal. Akhirnya Pak Wira memberikan kalimat sakti yang selalu dinanti-nanti oleh pasangan yang ingin menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.

"Will you marry me, Amanda Saraswati?" ucap Pak Wira seraya bersimpuh dengan satu lutut ditekuk, di depan Bu Amanda sambil mengulurkan satu buah cincin berlian untuknya. Seperti seorang pangeran yang sedang melamar sang putri.

Bu Amanda menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tidak menyangka saja, jika secepat itu Pak Wira menyatakan keseriusan ucapannya kepadanya. Sebab, saat pendekatan itu Bu Amanda pernah keceplosan ingin menjalin hubungan yang serius, bukan hanya main-main belaka.

"Manda? Gimana, mau tidak? Pegel, nih!" ucap Pak Wira yang sejak lima menit yang lalu masih bersimpuh dengan satu lutut ditekuk, di depan Bu Amanda.

"I-iya, Mas. Manda mau."

Spontan Pak Wira berdiri dan langsung memeluk Bu Amanda. Satu kecupan mendarat di kening janda satu anak yang masih terlihat cantik itu.

"Terima kasih, Sayang. Kapan kamu siap untuk kukhitbah?"

"Kapan pun aku siap. Mas datanglah ke rumah orang tuaku. Karena aku masih punya orang tua. Dan satu hal pintaku, sayangi aku dan anakku sama halnya kamu menyayangi anakmu. Akan kusayangi kamu dan anakmu sama halnya aku menyayangi anakku."

Permintaan yang simple, tetapi tidak mudah untuk mencapainya. Pak Wira meraih jemari tangan Bu Amanda, lalu menciumnya dengan lembut.

"Pasti, Sayang. Kita sama-sama pernah merasakan tersakiti oleh pasangan kita. Jadi, kita harus sama-sama berjanji untuk tidak saling menyakiti dan menerima serta menyayangi anak-anak bawaan kita, sama seperti anak kandung kita sendiri."

***

"Assalamualaikum," sapa Gea yang baru saja pulang dari kampus.

Melihat Bu Amanda yang diam saja di meja makan, tanpa menjawab salam darinya, Gea mengkerutkan keningnya.

"Ma! Mama!" panggil Gea berulang kali seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Bu Amanda.

"Eh, i-iya, Sayang. Kenapa?" jawab Bu Amanda yang tergagap, karena sedang melamun mengingat kenangannya lima tahun yang lalu saat pendekatan dengan suaminya.

"Dikasih salam juga? Jawab, dong! Melamun mulu. Emang ngelamunin apa, sih!"

"Waalaikumsalam, iya, maaf. Bukan apa-apa. Hanya ingat kalian saja yang seperti Tom and Jerry. Berantem mulu tapi saling merindukan. Iya 'kan?" goda Bu Amanda.

"Mas Arjun emang belum pulang, ya, Ma?"

"Nah, kan? Baru juga diomongin."

Pak Wira dan Bu Amanda telah menikah empat tahun yang lalu. Sejak Arjun kelas satu SMA dan Gea masih kelas tiga SMP. Kini Arjun telah kuliah semester tiga dan Gea kuliah semester awal di universitas yang sama.

Kebiasaan mereka berantem jika dekat dan saling merindukan jika jauh masih berlanjut hingga sekarang. Saat ini sudah hampir satu minggu Arjun mengikuti kegiatan Mapala, yaitu mendaki Gunung Andong.

"Kapan dia pulang, Ma? Perasaan udah satu minggu, deh!"

"Iya, barusan dia telepon. Nanti sore kamu disuruh jemput masmu di kampus."

"Jam berapa, Ma?" tanyanya penuh semangat.

"Cieee ... semangat empat lima! Jam empat," goda Bu Amanda.

"Hihi ... siap, Ma."

Tanpa permisi Gea melenggang menuju kamarnya. Gadis itu menjatuhkan bobot tubuhnya di ranjangnya yang empuk. Sejenak memejamkan mata untuk merileksasikan otak-otaknya yang rasanya mau kram.

Kuliah eksak yang membuatnya hampir botak. Gadis tomboy itu setiap hari dituntut untuk mengerjakan tugas dan hitungan serta rumus kimia, fisika, dan matematika.

"Harus healing, ini. Rasanya kepalaku mau pecah kalau begini terus. Mas Arjun ponselnya seminggu nggak aktif. Tiba-tiba kangen sekali dengannya. Apa kabar dia?" gumamnya.

***

Sementara di kaki bukit Andong, jam menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Para mahasiswa yang tergabung dalam kegiatan Mapala istirahat sejenak di sana, untuk membuat makan siang ala anak pendaki.

Usai makan siang, mereka istirahat sejenak untuk salat Zuhur dan memejamkan mata sejenak untuk sekadar istirahat. Berulang kali Arjun melihat ke arah ponselnya.

Belum ada tanda-tanda ada sinyal. Sinyal timbul tenggelam, tak tentu waktu. Laki-laki tampan yang super jahil itu mencebik kesal. Lalu membuka galery foto di ponselnya. Di sana ada foto keluarganya. Termasuk foto Gea.

"Meskipun nyebelin dan ngeselin, tetapi kamu itu ngangenin, tahu!" gumamnya.

Arjun merebahkan tubuhnya di bawah pohon cemara. Kedua tangannya disilangkan di belakang kepala. Wajah Gea tiba-tiba menari-nari di pelupuk matanya. Gadis tomboy yang super manja di mata kakak tirinya itu, tersenyum menggoda.

"Cantik," gumamnya.

"Wooy! Siapa yang cantik? Kita berenam semua cowok, tahu!" ucap Putra.

Arjun menoleh sekilas ke arah Putra, merasa telah keceplosan bicara, pemuda tampan itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Dwi Hastuti01

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku