Sudah cukup dengan semua beban hidup yang ia tanggung, Oceana Radea masih harus bertanggung jawab melunasi hutang-hutang kakak kembarnya Oksana Radea yang menghilang begitu saja. Hingga membuat Oceana harus berurusan dengan seorang pria asing bernama Naresh Ganendra. Semua karena ulah Oksana. Sepertinya ia terlahir dengan kesialan-kesialan itu hingga harus mengalami semua nasib buruk.
Asap rokok membumbung tinggi ke udara tapi si pelaku masih terus sibuk menghisap benda bernikotin itu tanpa merasa terganggu sama sekali dengan asapnya.
Terlalu banyak hal yang terjadi hingga membuatnya pening. Maka ia masih sibuk terduduk dibelakang sebuah cafe tanpa memperdulikan waktu istirahatnya sudah selesai.
Ting..!
Ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk.
Ia mengambil benda berlipat itu dari sakunya dan membuka pesannya dengan wajah datar.
Aku butuh uang..
Begitu isi pesannya.
Ia mendengus kesal, "Seenaknya! Memangnya aku bank!" desisnya lalu kembali menyimpan ponselnya tanpa membalas pesan itu sama sekali.
"Ana! Sampai kapan masih disitu?! Pelanggan mulai berdatangan!"
"Iya! Aku kesana!" Jawabnya lalu berdiri dan menghisap rokoknya lagi sebelum membuangnya ketanah lalu menginjaknya. Kemudian berjalan masuk kembali ke dalam cafe.
"Kau habis merokok ya?" tegur Mina salah satu pelayan juga di cafe itu. Gadis berpipi chubby itu memang selalu memperhatikan sekitarnya termasuk para karyawan.
"Hanya sebatang kok," Jawab Ana sembari membersihkan beberapa meja.
"Sudah kubilang jangan merokok kalau lagi bekerja. Nanti bos memarahimu, ini pakai parfumku cepat!" katanya sembari memberikan parfumnya.
Ana yang memang malas berdebat hanya berdecak saja dan mengambil benda itu lalu disemprotkan pada tubuhnya. Sekarang aromanya sama seperti Mina dan itu membuatnya pening.
Ya sudah, toh ia hanya perlu bertahan selama beberapa jam lagi sebelum shiftnya selesai.
Ketika perjalanan pulang, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan masuk dari sahabatnya.
"Ada apa, Jav ?"
"Kemana kau seharian ini? Professor mencarimu."
"Aku kerja."
"Setidaknya beritahu aku! Ada tugas individu. Aku akan mengirimnya lewat emailmu."
"Oke."
"Oceana?"
"Hm?"
"Ada yang mengganggumu?"
Langkah kaki Oceana atau biasa di panggil Ana berhenti sejenak kemudian ia terkekeh pelan, "Apa sih? Tak ada kok."
"Baiklah. Aku serius saat bilang hubungi aku kalau kau butuh bantuanku."
"Aku tahu."
"Kakakmu bagaimana?"
"Apanya?"
"Ini sudah 2 tahun kan? Masih belum ada kabar darinya?"
"Tidak ada. Mungkin ia sudah mati."
Bohong.
Ia berbohong.
Faktanya, Oksana selalu menghubunginya untuk meminta uang. Namun setiap kali, Ana selalu mengabaikan pesan itu.
Hidupnya saja sudah sangat pas-pasan, ia bahkan harus benar-benar menghemat uang makan agar bisa membayar kuliahnya. Dan Oksana dengan seenaknya meminta mengirim uang seolah Ana adalah mesin pencetak uang.
Terakhir kali saja, sang kakak menggunakan ID kartunya untuk membeli banyak barang hingga Ana merasa ingin menangis saja. Semua tabungannya habis tak bersisa karena ulah kakaknya. Ia sampai harus memohon-mohon pada pihak kampus agar memberikannya waktu untuk mengumpulkan uang semester.
Semenjak ia mengganti ID dan passwordnya, tabungannya bisa dibilang cukup aman kini. Namun sang kakak selalu mengirimnya pesan untuk memberikannya uang.
Gadis sialan itu pergi begitu saja meninggalkannya tanpa pesan sama sekali dan setelahnya malah menyusahkan dirinya. Padahal mereka hanya tinggal berdua kenapa tak bisa saling menjaga layaknya saudara?
Untung saja kedua orang tua mereka meninggalkan sebuah rumah sederhana untuk mereka. Jadi Ana tak terlalu pusing memikirkan biaya sewa tempat tinggal lagi.
"Baiklah. Pulang dan istirahatlah. Besok aku akan menjemputmu."
"Tak usah. Aku bisa naik bis," tolak Ana.
"Ikut denganku lebih menghemat jadi simpan saja uangmu. Oke?"
Sejenak Ana terdiam dan menghela napas, "Oke. Terimakasih."
Ana bersyukur ia masih memiliki Javiar disampingnya. Jika tidak, mungkin ia akan memilih untuk menyusul kedua orang tuanya saja.
Saat tiba di depan rumah, ia dikejutkan dengan kehadiran beberapa pria berpakaian serba hitam yang berdiri tepat didepan pintu rumahnya.
"Kau Oksana Radea?"
"Ha?"
Ana membeo, kenapa mereka tahu nama kakaknya?
"Ini sudah waktu tenggat pembayaran dari yang kau janjikan. Kami datang untuk mengambil uangnya."
Pembayaran?
Uang?
Apa maksudnya?
"Tunggu. Apa maksud kalian? Dan aku Oceana, aku adik kembarnya."
Si pria itu tampak kaget, "Jadi kau bukan Oksana?"
"Bukan," Ana menghela nafas pelan, "Kali ini apa lagi ulahnya?"
"Terserah. Oksana meminjam sejumlah uang pada kami dan dia mengatakan kami bisa mengambil uangnya di tempat ini saat ini juga."
Ana langsung melotot mendengar hal itu, kinerja otaknya seperti berhenti bekerja saat ini.
"Apa? Tunggu sebentar. Boleh aku menelponnya dahulu?"
"Silahkan."
Setelahnya Ana mengambil ponselnya dan menghubungi sang kakak. Namun hingga dideringan kesekian panggilannya tidak dijawab sama sekali. Maka Ana kembali menelpon dan hasilnya masih tetap sama.
Anak itu meremat ponselnya kesal sekali.
Dia benar-benar ingin memukul dan mengumpati Oksana saat ini.
"Hey. Sudah belum? Kami tak punya banyak waktu."
"Maaf. Oksana tak mengangkat telponku. Jadi berapa hutangnya?"
Pria itu menunjukkan kertas perjanjian yang tertera sejumlah nominal cukup besar.
Oceana kembali membelalak tak percaya melihat berapa banyak nol dibelakangnya. Tabungannya bahkan tak sampai setengah dari ini.
"Ini serius?!"
Sial! Untuk apa Oksana meminjam uang sebanyak ini?!
DAN IA YANG HARUS MENGGANTI SEMUANYA ?!
Brengsek!
Oceana bersumpah ia akan mencekik Oksana jika mereka bertemu nanti.
"Maaf. Boleh berikan aku waktu lagi? Tabunganku tidak sebanyak ini," pinta Ana memelas. Berharap orang-orang itu kasihan padanya.
Hidupnya sudah sangat pas-pasan begini dan ia masih harus melunasi hutang kakaknya.
Kenapa dia sial sekali?
"Baiklah. Karena sepertinya kau tak tahu apapun jadi kuberi waktu 3 minggu untuk mencari sisanya."
Tiga minggu?!
Damn! Dia gila atau apa?! Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu 3 minggu, hah?!
"Ta-tapi-"
"Kami pergi."
Orang-orang itu pergi begitu saja meninggalkan Oceana yang hanya bisa jatuh terduduk didepan pintu rumahnya sembari memegang kertas hutang sang kakak.
"Arghh! Oksana brengsek! Aku benar-benar akan membunuhmu!" umpatnya kesal.
Sekarang ia harus apa ?
Apa ia harus meminjam pada Javiar?
Tapi, jumlah itu terlalu banyak. Javiar mungkin dari keluarga kaya tapi ia ragu keluarganya mau meminjamkannya uang sebanyak itu. Terlebih lagi mereka hanya sebatas teman semenjak SMA.
Kruyuuk~
"Aishh!Aku lapar," lirihnya pelan. Ia melangkah memasuki rumah untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Malam ini ia hanya akan tidur dan besok baru akan ia pikirkan apa yang harus ia lakukan.
"Aku tak punya pasport untuk kabur keluar negeri. Apa aku harus mencari semacam Daddy sugar?"
Detik berikutnya Oceana sudah merinding sendiri. Bahkan ia menampar pipinya demi mengembalikan akal sehatnya.
"Apa yang kupikirkan?! Menjadi simpanan om-om?! Otakku mulai rusak! Sialan!" anak itu mendumel sendiri didalam rumah tanpa henti. Karena ia tinggal sendirian maka Ana tak takut ada yang mendengarnya.
***
Besok paginya,
Alarm Ana berbunyi tepat pukul 8 pagi. Ia ada kuliah nanti jam 10 dan masih ada waktu bermalas-malasan sembari menunggu Javiar datang. Setidaknya ia harus menggunakan waktu dua jam itu untuk berfikir apa yang harus ia lakukan demi mendapatkan uang.
"Bahkan didalam tidurpun aku bermimpi dikejar-kejar rentenir. Ya Tuhan! Malang sekali sih nasibku ini.. Huhuhu~" keluhnya.
"Aku harap aku benar-benar gila dan menjual tubuhku lalu mendapatkan banyak uang," Ana mulai meracau tak jelas lagi.
Sudah dibilang terlalu banyak hal terjadi dan hampir semuanya karena ulah Oksana. Hal itu membuat otak anak itu kadang jadi kusut.
Tring..!
Ada pesan masuk lagi.
Awalnya Ana ingin mengabaikan, namun saat teringat jika itu mungkin saja adalah Oksana anak itu dengan cepat meraih ponselnya.
Ana, Aku menunggumu di xxx
Berikutnya Ana sudah bangkit dari kasur dan langsung mengganti pakaiannya tanpa menggosok gigi atau mencuci muka.
Perduli setan...!
Ia sudah gemas sekali ingin menghajar Oksana dengan kedua tangannya sendiri.
Anak itu bahkan tak perduli jika hari ini ia akan membolos kuliah lagi. Toh, karena ulah Oksana ia terancam putus kuliah karena kekurangan uang semester.
Setelah tiba ditempat yang dimaksud, kedua mata hitamnya menelusuri tempat itu untuk mencari sosok Oksana. Namun ia hanya mendapati seseorang yang tengah terduduk sembari memegang sebuah tablet.
Dimana Oksana?
Jadi ia memutuskan menghubungi Oksana namun seperti kemarin panggilannya tidak dijawab dan malah dimatikan.
Kurang ajar sekali.
"Aiishh! Sibrengsek itu! Dimana dia?!" geramnya.
"Permisi."
"Apa?!" nada Ana agak meninggi karena ia masih emosi.
"Anda sudah ditunggu. Silahkan ikut saya."
"Ha?"
Ana membeo lagi.
"Siapa? Apa Oksana?" tanyanya namun si pelayan hanya tersenyum saja dan menuntun Ana menuju salah satu ruang VVIP.
Anak itu sampai melongo.
Apa Oksana menyewa ruangan ini?!
BERANI SEKALI MENYEWA TEMPAT SEMAHAL INI MENGGUNAKAN UANGNYA!
DASAR MANUSIA EGOIS!
Oceana sudah menyiapkan kuda-kudanya untuk menghajar Oksana tepat ketika ia akan melihatnya. Namun, ketika pintu terbuka yang ia dapati malah sosok asing dengan balutan kemeja khas orang kantoran.
Siapa?
Sosok itu berbalik menghadapnya dengan raut wajah datar.
"Oceana Radea?"
Ana mengangguk, agak senang karena setidaknya orang itu tak salah menyebutkan namanya.
Tapi orang itu siapa?
Apa Oksana terlibat sesuatu lagi dengan pria dihadapannya?
Tuhan, tolong cabut nyawa Oksana Radea. Amin.
"Ternyata tak secantik yang difoto. Apa mungkin karena gaya berpakaianmu yang tampak lusuh?"
Ha?
Tunggu.. Tunggu..
Apa maksudnya itu?!
Tak secantik di foto?!
MAKSUDNYA ASLINYA DIA JELEK BEGITU?!
Sebentar ... Ini bukan waktunya marah soal itu.
Kenapa pria itu berbicara begitu padanya?
LALU KENAPA KALAU IA JELEK, HAH?!
"Maaf deh kalau aku tak sesuai bayanganmu. Tapi kau siapa, Om?"
Pria itu nampak kaget namun memasang tampang seolah tak percaya.
"Setelah aku mengirimi sejumlah uang, kau tak mengenalku?"
Uang?
UANG APA LAGI SEKARANG?!
BAHKAN ISI SALDO REKENINGNYA SAAT INI 0!
JADI UANG APA LAGI INI?!
Mungkin karena mendapati reaksi tak biasa dari Ana, pria itu memperlihatkan isi chat dari ponselnya pada gadis itu.
Ana : Aku membutuhkan sejumlah uang untuk biaya operasi adikku~ Bisakah mengirimiku ? (╥﹏╥) Puing~ppuing~
Naresh: Baiklah. Dengan syarat aku ingin bertemu denganmu besok.
Ana: Okie dokkie, Daddy~
Naresh: Kirim no rekeningmu.. Dan ingat jangan mencoba menipuku. Aku bisa menemukanmu dalam waktu sekejap.
Ana: Baby mana mungkin menipumu Daddy~
Oceana terdiam membatu membaca isi chat yang terasa menggelikan untuknya.
Baby?
Daddy?!
The fuck?!
Jangan bilang ini ulah Oksana.
"Ini bukan aku."
"Tapi difoto itu wajahmu. Mencoba berakting?"
"Tapi-"
Tring..!
Ponsel Oceana kembali berbunyi. Ia membuka ponselnya dan membaca isi pesannya.
Bersikaplah yang baik okey.. Pria itu memberiku banyak uang.. Kkkk~ Berterimakasihlah padaku karena aku membuat hidupmu lebih baik kini, Ana~ ❤❤❤❤
Oceana meremat ponselnya kuat sekali dengan rahang yang mengatup keras.
Tuhan. Kubatalkan doaku tadi, tolong jangan langsung dibunuh. SIKSA DULU GADIS BRENGSEK ITU DENGAN KEJAM TANPA BELAS KASIHAN. AMIN.
TERKUTUK KAU OKSANA RADEA!
Tbc