Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Why not!

Why not!

Rianievy

4.8
Komentar
12.8K
Penayangan
37
Bab

Amara, single parent berusia 35 tahun yang berubah menjadi pribadi egois, dingin, bahkan meremehkan setiap pria yang ingin mendekatinya hanya karena ia pernah gagal dalam pernikahan. Tuntutan hidup membuatnya berusaha keras untuk bangkit dan membuktikan diri setelah berpisah dengan mantan suaminya. Masalahnya, saat ini bukan hanya tuntutan hidup saja yang harus dihadapi Amara, tapi tuntutan dari putranya juga. Bayinya sudah tumbuh besar dan sangat merindukan sosok seorang ayah. Demi kebahagiaan putra semata wayangnya, jelas ia tak mudah untuk mengacuhkannya begitu saja. Hingga seorang pria penuh pesona tiba-tiba datang mendekat, membuat pertahanan Amara goyah secara perlahan seperti doa sang putra. Mampukah pria asing ini meluluhkan hati keras seorang Amara atau, justru Amara memilih tetap sendiri tanpa pendamping dan mencoba meyakinkan putranya?

Bab 1 Cerai

Pertanyaan begitu banyak disampaikan kepada wanita 35 tahun itu. Ia bernama Amara, bukan hal mudah baginya memutuskan untuk berpisah dengan lelaki yang sudah memberikan satu anak untuknya itu.

Kenapa cerai?

Bisa dipertahankan, dong, seharusnya?

Kamu nggak sabaran banget jadi istri!

Sederet pertanyaan lain yang seolah menyalahkan juga memojokannya, ia terima juga telan bulat-bulat. Amara sekali pun tak peduli. Ia jengah melihat pria itu bermalas-malasan seolah pasrah dengan keadaan.

"Kamu bebas mau lakuin apa pun setelah putusan cerai kita hari ini, jangan cari aku atau Bari. Aku mampu menghidupi diriku dan Bari tanpa kamu!" tunjuk Amara dengan jemarinya. Pria yang sebentar lagi menjadi mantan pasangan hidupnya itu hanya bisa tertawa sinis.

"Jangan lupa, Amara, motor yang kamu pakai untuk kerja, aku yang cicil. Jadi kembalikan itu."

Amara menatap marah. Dengan kasar, ia melempar kunci motor yang tergeletak di atas meja makan rumah mereka itu. Bari diam, menatap wajah bundanya dengan pemahaman yang minim akan kondisi orang tuanya.

Sambil menggandeng jemari tangan Bari, Amara melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Dengan menggunakan taksi, ia dan Bari menuju ke tempat mereka yang baru. Memulai semua seorang diri. Ia bertekad, mampu menjadi tulang punggung bagi putranya.

"Ayah? Nggak ikut, Bun?" tanya Bari yang masih berusia tujuh tahun kala itu. Amara menatap, ia tersenyum.

"Ayah mau kerja jauh di tengah laut, jadi kita pergi aja ya, Nak. Bari harus sama Bunda terus, selamanya. Oke?" Amara mengusap kepala Bari yang merespon dengan anggukan kepala. Tak lama, bocah itu tertidur di pangkuan Amara.

Tak ada air mata, tak ada rasa sesak di dada. Untuk apa? Menyesali? Tak perlu. Alasan yang diberikan Amara untuk Bari tampak klise, tapi ia tak merasa terbeban. Biarlah putranya itu paham dengan alasan tersebut hingga masanya nanti tiba untuk lebih mengerti juga penjelasan secara rinci.

Bari dititipkan sebentar di rumah orang tua Amara, saat dirinya datang ke pengadilan untuk menerima putusan cerai. Ia tak sanggup mempertahankan pernikahannya dengan suami pemalas. Sejak terkena pengurangan karyawan atau PHK, ayah dari Bari itu justru hanya berpangku tangan seolah menyalahkan keadaan. Sontak Amara menggantikan peran mencari nafkah.

Awalnya, ia menganggap jika pria itu hanya terkejut sementara dengan perubahan yang terjadi. Tapi ternyata tidak, itu watak aslinya.

Menjalin masa pacaran hanya empat bulan dengan ayah dari Bari, ternyata sangat tak cukup bagi Amara untuk mengetahui semuanya. Berawal saat guncangan kondisi di kantor mantan suaminya itu - yang bekerja disalah satu bank swasta - tiba-tiba memutuskan mengurangi pegawai. Membuat ia saat itu yang masih berharap jika bukan nama mantan suaminya yang muncul, ternyata meleset, karena suaminya menjadi salah satu dari tiga puluh orang yang di rumahkan.

Tinggal terpisah dengan kedua orang tua masing-masing, mengontrak rumah type 36 di perumahan biasa, membuat ia dan mantan suaminya menghadapi itu berdua saja. Bari yang masih empat tahun dan baru masuk TK, diharuskan pindah ke sekolah biasa yang sesuai dengan keuangan orang tuanya. Pesangon diperoleh, namun, oleh mantan suami Amara justru dibelikan mobil yang alasannya untuk disewakan sehingga bisa menjadi sumber penghasilannya.

Justru, mantan suaminya tertipu rekannya sendiri, karena mempercayakan dananya tanpa melihat bukti fisik. 200 juta melayang begitu saja. Tersisa 70 juta, Amara mengatur sedemekian rupa, supaya bisa bertahan hingga mantan suaminya itu bekerja lagi.

Perlahan, uang pun habis, suaminya menjalani bisnis lain yang menjadikan tersisa sepuluh juta uang mereka. Amara mulai frustasi, ia kesal dengan suaminya. Mau tak mau ia mulai berpikir sendiri, demi mencukupi kebutuhan hidupnya dan membayar sewa rumah. Di saat mantan suaminya hanya mengandalkan warisan keluarga yang membuat keributan dan persoalan baru. Maka bercerai, adalah keputusan terbaik.

"Ya halo," jawab Amara saat mendapatkan telpon masuk di ponselnya.

"Udah! Resmi cerai, 'kan! Jangan kamu coba hubungin Kakak saya lagi ya, Amara! Ingat itu. Habis manis sepah dibuang, dasar matre!" umpat suara diujung sana. Amara hanya diam, ia memejamkan matanya. Rugi jika ia marah-marah pada mantan adik iparnya itu yang mudah tersulut omongan orang lain tanpa melihat fakta atau membandingkan dengan cerita pihak lain.

Matre dia bilang?

Amara terkekeh sendiri. Dengan santai ia memutuskan obrolan membuang waktu itu dan berjalan menuju ke angkutan umum yang ia hentikan di depan kantor pengadilan.

Sore hari pun tiba, tak menyurutkan dirinya untuk menuju ke lokasi tempat ia mendapatkan panggilan kerja. Ia akan memulai semuanya sendirian mulai saat itu.

***

"Waktu kerja kamu sebenarnya hanya lima hari, tapi, karena kita ada target dan harus terpenuhi, apa kamu sanggup menambah jam kerja kamu? Akan ada uang insentif, tapi jumlahnya memang tidak besar," ucap pria itu. Amara mengangguk. Tak masalah, toh, perusahaan perumahan itu mau menerima kondisi Amara yang sesekali akan membawa anaknya bekerja. Dengan pengertian seperti itu sudah cukup untuknya.

"Mulai kerja besok, ya, mal buka jam sepuluh, stand kita di tengah lobi utama, nanti kamu bertemu Diva, salah satu senior marketing."

Amara mengangguk. Ia paham dengan penjelasan pria tersebut. Tak berlama-lama, Amara pamit untuk pulang, dan menjemput Bari di rumah kedua orang tuanya.

Wanita itu optimis, ia mampu menjadi andalan Bari, sambil tak lupa mengajarkan kepada anak lelakinya itu jika kelak, ia tak boleh putus asa saat menghadapi musibah dan bekerja keras demi bangkit dari keterpurukan.

***

Rumah orang tua Amara.

Kedua orang tua Amara hanya bisa menghela napas, bantuan keuangan yang ditawarkan ayahnya ia tolak. Ia tak ingin muncul stigma negatif bagi dirinya. Cukup lah keluarga mantan suaminya yang menghina ia sebagai cewek matre dan tak mau susah. Padahal mereka tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di dalam rumah tangga mereka.

Amara bukan tipikal wanita yang terbuka menceritakan kesusahannya. Justru ia akan menutupi dan menunjukan semua baik-baik saja. Pikirnya hanya satu, ia sudah menikah, melahirkan, kemudian justru berpisah, maka semua resiko buruk pernikahan akan ia jalani dengan baik.

Baginya, tak boleh wanita lemah, terpuruk, sedih, apalagi meraung-raung menangis meratapi nasib diri. Mau hidup enak dan mapan, ya usaha. Dengan cara yang baik, bukan instan atau sekejap mata ingin menjadi kaya raya. Semua ada resikonya, begitu pun jika mencari uang dengan cara instan. Bekerja yang baik, jangan alasan anak menjadi penghalang, bagi Amara, justru anaklah motifasinya, semua akan dilancarkan jalannya jika niatnya baik.

"Rumah itu, gimana Amara?" tanya ibunya. Wanita itu menaruh piring berisi bakwan jagung buatan Amara di atas meja makan.

"Rumah apaan, Bu? Aku sama dia ngontrak, bukan beli," jawab Amara santai. Ia menatap kedua mata ibunya. "Apa dia bilang kalau rumah itu KPR?"

Anggukan kepala ibunya membuat Amara terkekeh sinis. "Bullshit banget dia ternyata, Bu."

Suara kucuran air keran terdengar, Amara mencuci peralatan dapur setelah ia selesai memasak. Makan malam di rumah kedua orang tuanya bisa menjadi hiburan bagi dirinya dan Bari yang sejak tadi asik main bersama ayah Amara.

"Kakakmu telpon, dia mau sewain kamu rumah, Ra, cuma takut kamu tolak. Jadi Ibu yang disuruh bilang ke kamu."

"Nggak perlu. Aku bisa sewa sendiri, walau kontrakan petak, seenggaknya tempat itu bersih, layak dan cukup untuk aku sama Bari, Bu," ucap Amara yang beralih mengambil piring bersih dan kering, kemudian menatanya di atas meja makan.

"Ibu, jangan kayak gitu raut mukanya, aku sanggup, Bu, biayain hidup aku sama Bari. Ibu udah tahu bukan, prinsip aku apa?"

"Iya, tapi, Ra, kalau Ibu sama Ayah kasih bantuan, jangan di tolak ya, gimana juga kamu janda, Ibu sama Ayah pensiunan pegawai negri, buat apa uang kami, kamu lagi butuh, nggak apa-apa ya, Nak?" ujar ibu sambil menatap penuh harap. Amara tersenyum.

"Bu, simpan aja, Ibu bukannya mau jalan-jalan sama Ayah, pergi Bu, pakai uang itu. I can do it, Ibu. Doa, aku butuh doa kalian aja. Aku akan buktiin, aku mampu bangkit seorang diri, tanpa laki-laki di samping aku."

Amara tersenyum. Helaan napas gusar justru terdengar dari ibunya.

"Tapi jangan menjanda lama-lama ya, Nak, kamu tau kan--"

"Ck. Ibu, apa salah jadi janda? Benar, aku tau, menjanda lama-lama itu nggak baik. Tapi untuk apa kalau aku buru-buru buka hati dan kembali nikah cuma untuk patahin stigma negatif janda. Please, Bu, aku juga bisa jaga diri, jaga penampilan, Ibu sama Ayah juga nggak pernah lihat aku pakai baju terbuka? Semua masih wajar, Bu," ucap Amara panjang lebar.

"Apa kamu jadi nggak percaya sama cinta dan pernikahan, Nak? Ibu takut kamu trauma dan milih seumur hidup untuk..." Tampak jelas, ibu ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

Mendengar itu, Amara kembali menatap ibunya. Tatapannya begitu datar.

"Omong kosong soal cinta dan pernikahan. Untuk saat ini dan entah sampai kapan, aku cuma punya satu cinta untuk seorang laki-laki. Hanya untuk Bari, putraku, Bu, cintaku untuk dia. Cinta yang tidak akan pernah habis atau luntur."

Ibu hanya bisa menghela napas pasrah. Amaranya sudah berubah menjadi keras dan begitu tangguh. Tak ada yang bisa keluarganya lalukan selain mengikuti kemauan Amara dan mendoakannya.

***

Amara pulang ke rumah kontrakan petak itu, Bari menggandeng tangan Amara begitu erat. Kepalanya mendongak, menatap sejenak bundanya saat sedang membuka pagar.

"Kita... tinggal di sini, Bun?" tanya Bari sembari mengedarkan pandangan ke sekitar.

"Iya. Ini rumah kita, kecil memang, tapi kita tinggal berdua, sama-sama, hati kita yang harus luas, Bar, Bunda akan bikin kamu nyaman ada di sini, cuma kita berdua, ya, Nak?" tatap Amara sembari tersenyum. Bari mengangguk. Keduanya masuk, Amara menutup dan mengunci pintu pagar, lalu membuka pintu utama.

Bari masuk ke dalam rumah saat pintu di dorong Amara, mengucap salam kemudian. Ia celingukan, melihat ke penjuru ruangan.

"Kamarnya satu dan, nggak ada pintunya, Bun?" Bari tampak terkejut.

"Iya, rumah ini kecil, Bar, nggak pa-pa, ya. Ini ruang tamu plus ruang TV kita, terus ini kamarnya, itu, dapur dan pojok kamar mandi. Cukup kan untuk kita berdua?" tatap Amara sembari mengusap kepala putranya yang mengangguk.

Amara meminta Bari menonton TV sementara ia merapikan tempat tidur yang hanya springbed tanpa alas. Amara tersenyum, ia yakin bisa menyamankan Bari di rumah kontrakan kecil itu dengan jiri payahnya sendiri.

Bersambung,

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rianievy

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku