Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Kau memesan pembunuh bayaran untuk bunuh diri?”
Archelia terkekeh tak percaya dengan orang yang ia hadapi. Dia adalah seorang pria berkaca mata, tampak begitu tenang di depan layar laptop. Pemuda paling aneh yang pernah ditemuinya. Barang kali Archelia tidak akan pernah percaya ada kasus seperti ini jika bukan karena pemuda itu adalah partnernya sendiri.
“Hidup terlalu melelahkan untuk memuaskan semua orang,” gumam pemuda itu setelah mematikan layar laptopnya.
Bangkit dari kursi putarnya, melewati Archelia lalu berdiri di depan rak besar yang penuh dengan novel karyanya. Pemuda itu mengambil sebuah novel, lantas kembali mendekati Archelia.. Tangannya terulur, menyerahkan buku dengan sampul berwarna ungu dengan hiasan cahaya dan pita berjudul, “Villain’s Darkside”.
“Untukmu. Anggap saja sebagai rasa berterimakasihku.”
“Aku tidak suka membaca,” dengkus Archelia tidak menerima uluran buku itu.
Namun, meski mendapat peolakan, pemuda itu tetap memaksanya dengan menggenggamkan novel itu ke tangan Archelia.
“Anggap saja itu permintaan terakhirku,” ucap si pemuda lalu membalikkan badan.
Sekali lagi, Archelia benar-benar dibuat terheran-heran dengan pemuda yang dihadapinya. Jika dilihat dengan mata telanjang, pemuda itu tampak tidak memiliki masalah. Baik-baik saja, malah. Itu terbukti dengan deretan novel yang telah naik cetak, bahkan di beberapa novelnya terlihat tulisan “Best Seller”.
“Kau bisa membunuhku sekarang,” ucap pemuda itu membuat perhatian Archelia pecah.
Memang, jika dilihat lebih dalam, tatapan pemuda itu tampak sangat kosog seolah tak memiliki kehidupan. Lebih tepatnya tidak memiliki harapan hidup di sana. Seolah, di balik tubuh sehatnya terdapat sesuatu yang rapuh dan mungkin telah hancur.
Archelia seharusnya bersikap profesional, tetapi kali ini pikirannya dibuat sangat terganggu. Wanita itu berjalan mendekati pemuda yang duduk di atas kursi menghadap jendela kaca menghadap pemandangan kota. Mungkin dia bisa membujuk pemuda itu untuk mengurungkan niatnya. Mati memang mudah, tetapi siapa yang tahu ada apa di balik kematian itu sendiri.
“Hei, Nak. Bisakah kau pikirkan lagi keputusanmu ini?” Archelia menimbang-nimbang novel di tangannya. “Aku bisa mentransfer kembali uangmu jika kau mengurungkan niat untuk mati. Kau masih muda, kau juga sukses. Hidup terlalu baik untuk kau tinggalkan.”
Ada seulas senyum yang terbit di wajah pemuda itu. “Kau tidak akan mengerti. Orang yang bersusah payah berusaha untuk dirinya sendiri tidak akan mengerti cara hidup orang yang berusaha untuk pengakuan orang lain."
“Kau bisa juga bisa melakukan-“
“Bisakah kau membunuhku sekarang?”
Dor!
Setelah kematian pemuda itu dan novel yang diberikannya pada Archelia, entah mengapa pikiran wanita itu menjadi tidak tenang. Dalam beberapa misi, ia selalu melakukan kesalahan yang nyaris membunuhnya. Selalu ada keresahan yang menerornya, seolah tak ingin membiarannya mendapat ketenangan, meskipun itu dalam tidur. Hingga saat itu datang.
Archelia terbangun di tempat yang gelap dan sunyi. Entah tempat apa itu, tetapi hanya ada kegelapan. Paling tidak, semua gelap sebelum ia menoleh pada seorang wanita jelita yang bersamanya bersama serta cahaya surgawi. Tatapan sayu pemilik Surai legam itu seolah mengantarkan perasaan sesak yang lantas membuat Archelia memegang dadanya yang mendadak nyeri luar biasa. Bukan karena luka, tetapi karena sebuah perasaan yang tak mampu didefinisikan.
Namun, paras menawannya tak berbanding lurus dengan dress kuning gadingnya yang tampak begitu kotor dipenuhi tanah cokelat. Bahkan, terdapat sisa cairan berwarna merah yang telah mengering di sekujur tubuhnya, yang tentu saja terlalu mudah dikenali Archelia. Mata Archelia menyipit ketika melihat leher wanita itu mengeluarkan darah.
"Siapa kau?" Archelia bersikap waspada. Ia hendak melangkah, tetapi mendadak tubuhnya menjadi beku. Ia tak mampu bergerak.
"Kau adalah diriku, dan aku adalah dirimu. Seluruh jiwa dan raga baru ini milikmu. Balaskan dendam atas kematianku."
"Kematianmu?" Kening Archelia mengernyit heran.
Alih-alih menjawab, wanita itu justru lenyap secara perlahan menjadi butiran cahaya hingga membuat tempat itu kembali dipenuhi kegelapan. Namun, tak lama setelah itu, sebuah memori kehidupan muncul secara acak di kepalanya bagai kaset rusak. Teriakan, cacian dan kekerasan.
Mengapa dia mengalami hal semacam ini?
"Ayah?" panggil sang gadis serayaengulurkan tangan meminta tolong. Namun, pria gagah yang dipanggilnya ayah itu malah berpaling dan meninggalkannya diseret paksa memasuki penjara yang gelap mengerikan.
Slide memori meloncat pada gadis yang menangis ketakutan di dalam penjara yang sunyi. Secercah harapan muncul dalam binar tatkala ia mendapati kedatangan sosok pria berpakaian elite nan gagah. Sosok pria pujaan hati yang membuat akal sehat Athea hilang karena kegilaannya pada sang pangeran.
"Yang Mulia, apakah Anda datang kemari untuk menolongku?" Athea malang mengesot, sesekali meringis karena memar di tubuhnya bergesekan dengan lantai. Ia bergerak terseok layaknya anjing kehausan. Hanya bisa mencengkeram besi penjara yang memisahkannya dengan sang pangeran.
"Kau bilang, kau mencintaiku, 'kan?" Suara berat yang dingin tanpa empati.
"Ya! Tentu saja aku sangat mencintai Pangeran."
"Jadi, kau rela berkorban untukku?"
"Aku rela mati untukmu!" sahut Athea cepat.
Hal itu membuat salah satu sudut bibir Sang Pangeran terangkat. Pria itu malah membalikkan badan dan pergi begitu saja.
"Yang Mulia!" Athea panik.
"Besok aku akan melihat bukti cintamu!" Sang Pangeran berkata dengan entengnya sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu kayu yang memisahkan tahanannya.