/0/23058/coverorgin.jpg?v=4c0ec1f46fbfddc72bcf6894813f78e9&imageMogr2/format/webp)
Drttt... drtt... drtt...
"AKBP Orlando Atmanegara, harap ke Timor Kupang Pati secepatnya. Ada bandeng 810 mengambang di rawa-rawa."
"Medan Demak?"
"Kemungkinan besarnya seperti itu. Makanya saya menugaskan Anda untuk mendapatkan laporan kongkritnya. Segera kabari saya setelah bandeng dibawa ke Rembang Solo untuk di lakukan otopsi."
"Siap 86!"
Orlando menutup percakapan via ponsel pintarnya, untuk segera melaksanakan tugas-tugas yang sudah menantinya. Sejak mengabdikan diri menjadi seorang aparat negara ini, hidup matinya memang sudah ia serahkan pada Allah dengan segala resiko yang mengikutinya. Dalam menangani semua resiko berat sehubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang polisi, ia selalu bersikap pasrah dan wallahu a'lam bish- shawabi. Yang penting ia selalu bersikap professional dan amanah. Selebihnya ia menyerahkan semuanya pada kuasa Allah Subhanawata'ala.
Orlando merapatkan jaketnya. Tengah malam seperti ini cuaca begitu dingin merasuk hingga ke tulang. Dia membawa serta dua orang anak buahnya untuk membantunya memeriksa keadaan mayat yang diduga telah meninggal dunia akibat aksi pembunuhan. Hujan rintik-rintik mulai memercikan air pada jaket parasutnya. Keadaan di rawa-rawa ini pun semakin lama menjadi semakin hening dan mencekam. Orlando kian menyusupkan kedua lengannya dalam-dalam ke saku jaketnya. Mencoba mencari sedikit kehangatan di sana.
Dari jarak sekitar tiga ratus meter, dia melihat dua orang anak buahnya yang lain sedang menyeret sesosok tubuh kedaratan. Dari jarak sejauh ini saja Orlando tahu kalau korbannya itu pastilah seorang wanita. Karena roknya terlihat begitu panjang hingga menutupi mata kakinya. Tubuh itu menelungkup. Tergeletak dengan kedua lengan tertekuk bagaikan boneka kain yang dilemparkan sembarangan oleh pemiliknya.
"Apakah kantong jenazah sudah disiapkan? Kita akan langsung tandu saja jenazah ini dan membawanya ke Rembang Solo untuk diotopsi oleh Pak Raju. Sete—"
Uhukkk... uhukkk...
Mereka berlima sangat kaget. Karena sesosok tubuh yang mereka kira sudah meninggal itu tiba-tiba saja terbatuk-batuk hebat. Orlando dan Bripda Sahat segera mengangkat tubuh lemah korban dan membaringkannya ke tanah. Setelah korban batuk-batuk tadi, kembali tubuh itu terlihat diam dan tidak lagi bergerak mau pun bersuara.
Orlando mendekatkan telinganya ke dekat mulut dan hidung si korban dan merasakan apakah ada udara di pipinya. Ia juga memperhatikan apakah apakah dada si korban bergerak atau tidak.
Karena tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan, Orlando pun mulai memeriksa nadinya selama sekitar sepuluh detik. Karena masih juga tidak ada reaksi, Orlando memutuskan untuk melakukan resusitasi jantung paru-paru atau cardiopulmonary resuscitation, yang biasa di kenal dengan istilah CPR. CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali.
Orlando memencet hidung korban sampai tertutup, dan meniupkan dua detik napas buatan. Usai meniupkan dua napas, Orlando menekan dada korban sebanyak 30 kali. Orlando coba menerapkan teknik 30 kompresi dan 2 napas sambil menunggu reaksi korban. Saat ia melihat dada korban mulai naik, ia kembali mengulangi prosedur tersebut hingga korban kembali terbatuk-batuk dan memuntahkan air rawa-rawa dari mulutnya.
Orlando perlahan mencoba mengangkat kepala korban kearah lutut. Rambut hitam legamnya seketika memercikkan air di celana panjangnya. Kulitnya tampak begitu pucat seperti tidak lagi dialiri oleh darah. Saat memegang belakang kepalanya, ada benjolan sebesar telur ayam di sana. Tetapi semakin lama Orlando rasanya semakin mengenal sosok wanita yang tergolek lemah dalam lengannya ini.
Walaupun dalam keadaan babak belur dan pakaian compang-camping tidak karuan, Orlando jelas mengenalinya. Bahkan Orlando yakin satu Indonesia raya juga mengenalnya. Dia adalah Candramaya Daniswara. Mantan penjaja cinta kelas atas yang akhirnya dinikahi oleh pengusaha tampan dan mapan Nayaka Bratadikara.
Dalam pekerjaannya sebagai seorang polisi, Orlando selalu saja bersinggungan dengan penjahat mulai dari kelas kakap sampai dengan kelas teri. Para penjaja cinta sesaat mulai dari tarif ratusan ribu sampai ratusan juta sudah sering dihadapinya. Tetapi seburuk-buruknya mereka, tidak ada yang menandingi buruknya wanita yang saat ini tergolek lemah dilengannya.
Maya, demikian wanita ini biasa dipanggil, telah menjalani professinya menjadi seorang wanita panggilan sejak ia tamat SMA. Keadaan keuangan keluarganya yang di bawah standard sementara ia mendambakan kehidupan glamour telah memaksanya memilih jalan yang salah. Karena yang dipunyainya hanyalah kecantikan tanpa ada isi sama sekali. Maka kehidupan malamlah yang dipilihnya sebagai jalan pintas menuju cita-citanya yang ingin menjadi seorang sosialita kaya papan atas.
Sewaktu kedua orang tuanya memintanya untuk berhenti melakukan kegiatan maksiat, ia malah mengancam ibunya agar bisa menghidupinya seperti ini, baru ia akan berhenti menjual diri. Jika ibunya tidak bisa memberikannya kemewahan dan kenyamanan seperti yang ia rasakan saat ini, maka ia meminta ibunya untuk menutup mulut dan matanya sekaligus kalau ibunya malu mempunyai anak seperti dirinya. Oleh karena itulah Orlando mengatakan bahwa Maya ini adalah seburuk-buruknya manusia dari manusia buruk lainnya.
Bahkan saat dia belum resmi bercerai pun, ia sudah main gila dan menjadi istri simpanan seorang politisi terkenal negeri ini. Saat istri sah sang politisi melabraknya, Maya malah membiarkan dirinya di hajar oleh istri sang politisi sebelum akhirnya ia melalukan visum dan menuntut istri sang politisi dengan tuduhan penganiayaan berencana. Maya baru mau mencabut tuntutannya setelah sang politisi menceraikan istri sahnya sebagai imbalan karena telah mencabut tuntutannya. Begitulah kejamnya manusia tidak berhati yang memiliki nama begitu indah, Candramaya Daniswara ini. Iblis pun sepertinya kalah sadis dengannya.
Orlando memperhatikan mata wanita itu mulai membuka perlahan. Tetapi sorot matanya tampak begitu kosong dan tidak bersemangat. Seingat Orlando, Maya ini tidak pernah memperlihatan tatapan rapuh seperti ini. Maya itu sangat licik dan banyak akalnya. Wanita itu terlihat merintih dan berupaya mencoba menarik kerah baju Orlando seolah-olah hendak meminta pertolongan. Orlando meletakkan lengan kekarnya di sekeliling tubuh sekal Maya dan mengangkatnya masuk ke dalam mobil. Sorot mata Maya terlihat ketakutan, kesakitan dan kebingungan.
Jika kebanyakan tubuh wanita itu kecil dan mungil maka tubuh Maya adalah kebalikannya. Tubuhnya sangat berlekuk seperti jam pasir. Maya bertubuh cenderung montok dan sintal. Tubuhnya menjanjikan kenikmatan dan kehangatan. Tidak heran memang jika menilik professinya sebelumnya. Panjang dan tebalnya rok yang dikenakannya melipat gandakan berat tubuhnya. Orlando mengangkat tubuh wanita itu setinggi dadanya, ia kemudian mendengus tidak nyaman saat air bercampur lumpur menetes dan membasahi pakaiannya.
"Saya akan segera membawa Anda ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut Bu Maya. Saya sama sekali tidak mengira saat seharusnya Anda sedang berpelesiran di Hawai dengan salah seorang penyokong hidup Anda yang lainnya, ini Anda malah saya temukan berpelesiran di rawa-rawa seperti ikan hampir mati yang menggelepar-gelepar didaratan. Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Anda Bu Maya?"
"Saya—saya tidak tahu. Saya— Saya tidak ingat. Tolong saya, Pak." Mata Maya kini terlihat liar penuh dengan kengerian. Dia tampak sangat ketakutan sekarang. Hembusan udara dingin tengah malam telah membuat tubuh dalam dekapannya ini merintih dan menggigil kedinginan. Orlando segera meraih selimut yang berada dibelakang jok mobilnya untuk menutupi bagian depan tubuh Maya. Akibat basahnya pakaiannya, semua lekuk tubuhnya terlihat menempel bagaikan kulit kedua.
Kepala wanita ini kian terkulai di bahu Orlando, napasnya terasa begitu dingin dan lemah menerpa dagunya.
/0/2733/coverorgin.jpg?v=8157491f1803fa9e41c636cf17b2a8d0&imageMogr2/format/webp)
/0/2630/coverorgin.jpg?v=bc87e209123d33d9d07d467e2c90e539&imageMogr2/format/webp)
/0/2788/coverorgin.jpg?v=a321985b2eb12af9936fa31d72f8e053&imageMogr2/format/webp)
/0/5355/coverorgin.jpg?v=50478abd5be7cdd49bfbff20d357c81b&imageMogr2/format/webp)
/0/6474/coverorgin.jpg?v=8cca45b3e2dce31607a4371447c8d1c9&imageMogr2/format/webp)
/0/12619/coverorgin.jpg?v=18e265de4c4bc4037c4079b9aac3c79c&imageMogr2/format/webp)
/0/2763/coverorgin.jpg?v=20250120160028&imageMogr2/format/webp)
/0/9167/coverorgin.jpg?v=965521dfb5b05ce718f15ca57c47db2f&imageMogr2/format/webp)
/0/28729/coverorgin.jpg?v=c633ef4c6b3b70c6acc2ffdbdfbb1bfa&imageMogr2/format/webp)
/0/6521/coverorgin.jpg?v=0dc886fcefd9b9ebecbf37d72dfccdf5&imageMogr2/format/webp)
/0/16583/coverorgin.jpg?v=d079e452856b2395bb926554570624b0&imageMogr2/format/webp)
/0/19772/coverorgin.jpg?v=8f5b1cec967d49189cb61877cfcec29e&imageMogr2/format/webp)
/0/2872/coverorgin.jpg?v=de7d46b623f5fc6685fc4f62d64d648c&imageMogr2/format/webp)
/0/10104/coverorgin.jpg?v=8e3d277fbf390d46b876f25adf010ff8&imageMogr2/format/webp)
/0/16699/coverorgin.jpg?v=ef38da27c5b45f8a4b46710eefac8e7c&imageMogr2/format/webp)
/0/17375/coverorgin.jpg?v=f5494a05a3dc42a3314fa0f160ba5c1f&imageMogr2/format/webp)
/0/5389/coverorgin.jpg?v=3f1a2b7c62c06963606a529b41b5320f&imageMogr2/format/webp)
/0/8783/coverorgin.jpg?v=af27107cbfc6acc2dcf03bdf570d81b2&imageMogr2/format/webp)
/0/6939/coverorgin.jpg?v=536d7981939f235022db29fa66b5db4a&imageMogr2/format/webp)