Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
3.8K
Penayangan
37
Bab

Alyssa melarikan diri dari para penagih hutang ayahnya. Bermodalkan sepucuk surat gadis itu berakhir di kediaman Assa Zachary yang menurut surat tersebut bisa membantu Alyssa melunasi hutang-hutang ayahnya. Sayangnya harapan itu tampak semu bagi Alyssa ketika dia berakhir ditahan di kediaman Assa. Apakah Alyssa akan bertahan menunggu Assa memenuhi janjinya? atau justru Alyssa semakin terjebak dalam kehidupan Assa yang penuh misteri?

Bab 1 1. Bad Day

Malam yang berkuasa memeluk Alyssa dalam lelahnya langkah-langkah yang diayun menuju kediamannya. Angin malam berembus tak tahu diri hingga Alyssa merapatkan coat lusuhnya. Nafas yang keluar berkali-kali adalah nafas lelah yang meski dihembuskan ternyata tak mampu mengurangi beban hidupnya.

Saat kakinya berhenti di depan rumah, Alyssa melihat tiga orang pria berbadan besar berdiri di sana. Ada perasaan takut dalam diri Alyssa ketika mata ketiga pria itu menatapnya. Was-was dalam dirinya, namun Alyssa tetap melangkah mendekat.

“Kalian siapa?” tanyanya takut-takut. Mata-mata mereka menatapnya dengan garang. Alyssa memberanikan diri menatap mereka agar tak mudah diintimidasi.

Salah satu dari mereka dengan tato Naga di lengan kirinya menghampiri Alyssa. “Apa kau putri dari Samuel Moore?”

“I-iya. Kalian siapa?”

“Kami datang untuk mengambil uang yang ayahmu janjikan tiga hari yang lalu.”

Mata Alyssa awas memperhatikan ketiganya. Rasanya ingin kabur, tapi badan-badan besar mereka rasanya menutupi segala jalannya. Alyssa menelan ludahnya sendiri susah payah.

“Uang apa yang kalian maksud?”

“Ayahmu berhutang pada tuan kami sebesar sepuluh ribu Pounds, dia berjanji akan membayarnya hari ini."

“Se-sepuluh ribu Pounds?!” Alyssa menggeleng tak percaya. Uang sebanyak itu digunakan untuk apa oleh ayahnya? Kenapa dia tak pernah melihat wujudnya. “Itu tidak mungkin.”

“Ayahmu kalah di meja judi.”

Alasan yang sama untuk setiap masalah yang diciptakan ayahnya. Alyssa bahkan harus membayar sewa rumah sendiri karena sang ayah nyaris tidak pernah pulang, tapi selalu meninggalkan hutang.

“Baik kalau begitu aku akan masuk dan mencari uang itu di dalam. Mungkin ayah menyimpannya di dalam.” Ucap Alyssa gugup.

“Jangan coba-coba kabur, atau kami akan menjadikan kamu target berikutnya.” Ujar pria bertato itu dengan jari telunjuk tepat di depan wajah Alyssa, memperingati dengan tegas.

“Tidak akan. Kalian bisa melihat saya terlalu kecil untuk melarikan diri dari kalian.”

Bergegas Alyssa menuju pintu rumahnya. Tangannya gemetar mengambil kunci dari dalam tas. Pandangan tiga pria itu tidak lepas darinya. Alyssa langsung masuk begitu pintunya berhasil dibuka, lalu ditutup dengan cepat.

Gadis itu panik sendiri mencari kesana dan kemari perihal keberadaan uang itu. Lemari-lemari, dan bahkan hingga kolong tempat tidur tidak lepas dari sasarannya, tapi kemudian terdiam. “Ayah tidak mungkin mempunyai uang sebanyak itu.”

Alyssa berlari ke kamarnya dan di depan pintu ada kertas yang menempel bertuliskan pesan dari ayahnya. Pesan yang membuat Alyssa geram bukan main sampai kertas kecil itu diremas kuat oleh tangannya sendiri, lalu memasukkan bulatan kertas itu ke dalam saku coat yang besar.

Suara gedoran pintu terdengar nyaring di luar sana. Alyssa yang kaget buru-buru mengambil tasnya, memasukkan beberapa pakaiannya dengan cepat. Alyssa harus segera kabur dari orang-orang di luar sana. Terakhir kali Alyssa berhadapan dengan penagih hutang, dia berakhir dengan sebuah tamparan keras di pipinya.

“Buka pintunya!”

Teriakan itu menggema di telinga Alyssa. Buru-buru mengaitkan ransel ke punggung. Alyssa keluar dari rumahnya lewat pintu belakang. Dia mengendap-endap seperti seorang pencuri. Ketika melewati sisi rumah yang memperlihatkan tiga orang itu, secepat kilat Alyssa berlari.

Salah satu dari mereka melihat Alyssa. Berteriak pada gadis yang mencoba kabur itu. “Hei! Jangan kabur!”

Alyssa mengumpat. “Sial!”

Kakinya berlari dengan cepat, tas di punggungnya ikut terombang-ambing mengikuti langkah kakinya. Alyssa terus berlari, melewati gang-gang sempit yang kumuh. Beberapa tunawisma berkeliaran di sana. Saat kakinya mulai tak sanggup berlari lagi Alyssa bersembunyi di antara tumpukan tong besar, kayu-kayu dan juga sampah-sampah dalam kantong besar. Membekap mulutnya sendiri agar suara nafasnya pun tak terdengar.

“Ke mana larinya perempuan itu?” tanya salah satu dari tiga orang yang mengejarnya. Mereka mengamati sekitar dengan awas, tapi yang mereka lihat hanya para tunawisma dan juga tumpukan sampah.

Ada persimpangan di sana, jalan yang mungkin salah satunya dilewati Alyssa pikir mereka hingga berpencar mencari jejak Alyssa. Sementara Alyssa yang bersembunyi keluar pelan-pelan. Dia sudah tidak tahan dengan bau menyengat dari tumpukan sampah yang belum diambil petugas kebersihan itu.

“Weeeek!” Alyssa muntah meski hanya cairan bening yang keluar. “Benar-benar bau busuk.”

Alyssa segera keluar melalui jalan yang dilewatinya tadi setelah memastikan mereka benar-benar jauh. Sekarang tujuannya adalah kediaman kekasih ayahnya, Jane. Berharap wanita itu bisa menolongnya.

***

“Jadi kamu sudah putus dengan ayahku? Sejak kapan? Karena apa?” tanya Alyssa pada Jane bertubi-tubi ketika dia sudah duduk manis di kediaman Jane sambil menikmati kue jahe yang dibuat Jane.

“Sekitar dua minggu yang lalu. Ayahmu menjual kalung milikku secara diam-diam untuk berjudi. Kalung itu adalah milik nenekku, sangat berharga bagiku.”

Bahu Alyssa merosot mendengar penuturan Jane. Dia merasa sangat bersalah pada wanita itu. “Maafkan ayahku yang kurang ajar itu, Jane.”

Jane tersenyum kecil. “Tidak perlu meminta maaf untuknya. Seharusnya dia yang datang menemuiku dan meminta maaf, bukan kamu yang sekarang berlari dari para penagih hutang ayahmu itu.”

“Aku tidak mengerti kenapa ayah masih bermain judi seperti itu. Aku pikir setelah dia bertemu kamu, dia akan berubah tapi, ternyata tidak.”

“Manusia tidak akan berubah secepat itu, Alyssa.”

Alyssa mengangguk setuju dengan apa yang Jane katakan. “Jadi apakah kamu mempunyai alamat tempat ayah bekerja dulu?” tanyanya dengan harapan bisa menemukan ayahnya di tempat pria itu bekerja.

“Iya, ada. Tunggu sebentar,” Jane beranjak dari tempat duduknya. Dia mencari alamat yang Alyssa minta di antara laci-laci kayu di ruang keluarga.

Sedangkan Alyssa mengamati rumah Jane yang tampak sederhana, tapi tertata rapi. Alyssa sebenarnya berharap juga jika Jane menjadi ibunya, namun sepertinya Jane terlalu baik untuk ayahnya yang brengsek itu.

Jane kembali dengan sebuah kartu nama di tangannya. “Ini alamat yang kau pinta.”

“Terima kasih Jane,” ungkap Alyssa menerima kartu nama berwarna perak itu. Alyssa mengeja nama yang tertera di atas kartu nama itu. “Assa Zachary?”

Nama yang sepertinya tidak asing bagi Alyssa. Seperti pernah mengenal tapi, tidak tahu kapan dan di mana? Alyssa menatap Jane penuh tanya, berharap ada sedikit informasi yang bisa Jane berikan padanya terkait sosok pemilik identitas di tangannya itu.

“Namanya memang seperti itu. Aku belum pernah bertemu atau datang ke tempat ayahmu bekerja, aku hanya mendapatkan kartu nama itu.”

“Baiklah Jane, terima kasih atas bantuannya. Aku harus pergi sekarang.”

“Apa kamu tidak mau bermalam dulu?”

“Tidak, aku harus segera menyelesaikan urusanku ini.”

“Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan Alyssa.”

“Terima kasih Jane, selamat malam.” ucap Alyssa seraya keluar dari rumah Jane sambil membawa kartu nama yang dia harap pemiliknya bisa membantunya seperti yang tertulis di kertas yang ditinggalkan ayahnya.

Maafkan ayah karena harus pergi dan meninggalkan hutang tapi, tenang saja kamu bisa meminta bantuan pada atasan ayah. Dia akan menolongmu, dan untuk sementara tinggallah di tempatnya sampai ayah kembali.

Ayah akan segera pulang.

Alyssa menghela nafas lelahnya, dia belum berani untuk pulang karena takut para penagih hutang itu datang lagi ke rumahnya. Menemui Assa adalah satu-satunya cara yang bisa Alyssa lakukan. Dia pergi ke stasiun Waterloo untuk menuju Hampstead.

Tapi, Alyssa merasa ada yang mengikutinya. Dia berbalik, tapi tak mendapati orang yang dirasa mengikutinya. Rasanya Alyssa ingin cepat-cepat sampai ke stasiun dan duduk dengan tenang. Alyssa mempercepat jalannya. Stasiun Waterloo jaraknya tinggal beberapa langkah lagi darinya.

Langkah Alyssa kemudian berhenti ketika dia melihat sosok ayahnya dari kejauhan. “Ayah? Ayah!”

Alyssa berlari lagi mengejar ayahnya sampai ke seberang jalan, tapi ayahnya itu naik taxi dan jauh meninggalkan Alyssa yang terdiam di tempatnya dengan nafas memburu. Alyssa tak mengerti dengan semua ini.

“Harusnya ayah mendengar teriakanku, tapi kenapa ayah tak mendengar? Apa ayah benar-benar membuang diriku sekarang? Ayah!”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Yellowflies

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku