Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Jakarta tak pernah tidur. Tadinya, aku pikir itu hanya ungkapan kosong belaka. Namun, setelah bergelut sendiri di tengah hingar bingar malam ibukota, aku membuktikan kebenarannya. Terminal ini tak pernah sepi. Orang terus saja hilir mudik, silih berganti.
Dulu, ketika masih tinggal bersama orang tua, aku hanyalah gadis baik-baik yang sudah lelap di balik selimut tebal, tidak lebih dari pukul delapan malam. Semua jadi jauh berbeda ketika mereka satu per satu pergi meninggalkan rumah.
Ibu pergi sekitar dua tahun lalu, tepat menjelang kenaikan kelas ke tingkat sebelas. Wanita itu sudah terlampau jenuh dengan suami yang terus saja menumpuk utang demi menggapai impian. Mimpi jadi pengusaha kaya raya yang sepertinya hanya sebatas angan. Terlampau mustahil untuk jadi kenyataan. Dia pergi begitu saja dini hari, tanpa menghiraukan kedua anaknya.
Ayah tidak jauh berbeda. Sudah lima bulan ini dia kabur dari rumah karena terus-menerus didatangi para penagih utang. Sama persis dengan Ibu, dia pergi begitu saja. Tanpa pamit, apalagi kabar berita.
Beruntung, beberapa tetangga sering memberi makanan sehingga aku dan Alma tidak sampai kelaparan. Namun, tidak mungkin kalau terus mengharap pemberian dari orang lain. Menggelar tikar di terminal dekat kontrakan, akhirnya menjadi pilihanku untuk bisa menyambung hidup. Aku menjual kopi, teh, rokok, dan semacamnya di sana.
Takut? Jelas. Gadis mana yang tidak takut ketika harus berjualan di terminal malam hari? Aku menggelar tikar kecil selepas magrib dan selalu pulang di atas pukul dua belas malam. Biasa, menunggu penghasilan cukup dulu, baru kembali ke kontrakan.
Sekarang sudah tidak selelah dulu karena aku sudah lulus SMA. Pagi hingga siang hari setelah Alma berangkat sekolah, aku masih bisa beristirahat. Kalau dulu, aku hanya bisa tidur beberapa jam saja.
“Heh, sini kamu!” Pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam, langsung saja mencekal lengan kurusku.
“Aku mau dibawa ke mana, Om? Tolong, jangan apa-apakan aku.”
Aku yang baru pulang dari terminal, tentu saja panik dengan kemunculan pria itu. Termos, tikar, dan barang dagangan berserakan di atas tanah. Pria itu tidak peduli. Dia terus saja menarikku ke bangunan kosong di dekat gang.
Ah, aku tahu dia. Dia adalah satu dari sekian banyak renternir yang terus datang menagih ke kontrakan. Mereka seolah menjadikan aku dan Alma sebagai sandera, berharap Ayah akan datang menebus kami.
“Ampun, Om. Ampun,” ratapku dengan bibir bergetar.
Tubuh ringkih ini makin menggigil ketika melihat ada delapan pria lagi menunggu di sana. Para renternir yang selama ini datang silih berganti, kini berkumpul bersama. Mau diapakan aku ini?
“Kami sudah menghitung total pinjaman ayah kamu. Jumlahnya ada delapan ratus juta sekian. Kami kasih diskon. Jadi, digenapin aja di delapan ratus juta. Kami beri waktu tiga hari. Kamu harus bisa bayar lunas. Kalau tidak ....” Salah satu pria dengan perut tambun, membuat gerakan seperti mengiris leher sendiri dengan telunjuknya.
“Tapi, aku tidak punya uang, Om,” lirihku sambil menunduk. Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu tiga hari saja? Mustahil!
“Bodo amat! Lo jual diri, kek. Jual organ, kek. Terserah!” teriak salah satu pria di sana sambil mengacungkan tongkat baseball ke wajahku.
“Jangan macam-macam sama kami. Ingat, tiga hari!” teriak pria lain yang kemudian melayangkan tangan ke wajah hingga membuatku tersungkur.
Tanpa dikomando, sembilan pria itu langsung memukuliku. Mereka memukul tangan, kaki, perut, juga bagian kepala.
“Dada jangan sampai terluka!” teriak salah satu pria.
Aku tidak tahu, apa maksudnya? Setelah puas, mereka meninggalkan tubuhku yang babak belur begitu saja. Aku tidak akan mati. Aku kuat!
“Halo. Tugas sudah dilaksanakan, Pak. Dia sudah kami buat terkapar.” Salah satu pria terdengar sedang berbicara dengan seseorang via telepon sembari melangkah menjauh. Mungkin, dia mengira kalau aku sudah pingsan.
“Oh, tenang. Bagian dada aman, tidak kami pukuli,” ucap pria itu lagi.
Ada apa dengan dadaku? Kenapa mereka terus membahas itu? Kucoba untuk bergerak, tetapi tidak bisa. Tubuh terlalu lemas dan ngilu semua.