Sidney sering mendengar bisikan dari hati, seolah ada sosok lain yang hidup dalam dirinya dan sedang berbicara. Dua jiwa dalam satu tubuh. Mungkinkah? Lebih aneh lagi, ada banyak sifat serta sikap dia yang berubah drastis pasca melakukan transplantasi jantung. Sidney terpaksa mendengarkan kata hati dan mengikuti apa maunya. I can hear you form our heart. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pemilik lama jantung ini?
Jakarta tak pernah tidur. Tadinya, aku pikir itu hanya ungkapan kosong belaka. Namun, setelah bergelut sendiri di tengah hingar bingar malam ibukota, aku membuktikan kebenarannya. Terminal ini tak pernah sepi. Orang terus saja hilir mudik, silih berganti.
Dulu, ketika masih tinggal bersama orang tua, aku hanyalah gadis baik-baik yang sudah lelap di balik selimut tebal, tidak lebih dari pukul delapan malam. Semua jadi jauh berbeda ketika mereka satu per satu pergi meninggalkan rumah.
Ibu pergi sekitar dua tahun lalu, tepat menjelang kenaikan kelas ke tingkat sebelas. Wanita itu sudah terlampau jenuh dengan suami yang terus saja menumpuk utang demi menggapai impian. Mimpi jadi pengusaha kaya raya yang sepertinya hanya sebatas angan. Terlampau mustahil untuk jadi kenyataan. Dia pergi begitu saja dini hari, tanpa menghiraukan kedua anaknya.
Ayah tidak jauh berbeda. Sudah lima bulan ini dia kabur dari rumah karena terus-menerus didatangi para penagih utang. Sama persis dengan Ibu, dia pergi begitu saja. Tanpa pamit, apalagi kabar berita.
Beruntung, beberapa tetangga sering memberi makanan sehingga aku dan Alma tidak sampai kelaparan. Namun, tidak mungkin kalau terus mengharap pemberian dari orang lain. Menggelar tikar di terminal dekat kontrakan, akhirnya menjadi pilihanku untuk bisa menyambung hidup. Aku menjual kopi, teh, rokok, dan semacamnya di sana.
Takut? Jelas. Gadis mana yang tidak takut ketika harus berjualan di terminal malam hari? Aku menggelar tikar kecil selepas magrib dan selalu pulang di atas pukul dua belas malam. Biasa, menunggu penghasilan cukup dulu, baru kembali ke kontrakan.
Sekarang sudah tidak selelah dulu karena aku sudah lulus SMA. Pagi hingga siang hari setelah Alma berangkat sekolah, aku masih bisa beristirahat. Kalau dulu, aku hanya bisa tidur beberapa jam saja.
"Heh, sini kamu!" Pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam, langsung saja mencekal lengan kurusku.
"Aku mau dibawa ke mana, Om? Tolong, jangan apa-apakan aku."
Aku yang baru pulang dari terminal, tentu saja panik dengan kemunculan pria itu. Termos, tikar, dan barang dagangan berserakan di atas tanah. Pria itu tidak peduli. Dia terus saja menarikku ke bangunan kosong di dekat gang.
Ah, aku tahu dia. Dia adalah satu dari sekian banyak renternir yang terus datang menagih ke kontrakan. Mereka seolah menjadikan aku dan Alma sebagai sandera, berharap Ayah akan datang menebus kami.
"Ampun, Om. Ampun," ratapku dengan bibir bergetar.
Tubuh ringkih ini makin menggigil ketika melihat ada delapan pria lagi menunggu di sana. Para renternir yang selama ini datang silih berganti, kini berkumpul bersama. Mau diapakan aku ini?
"Kami sudah menghitung total pinjaman ayah kamu. Jumlahnya ada delapan ratus juta sekian. Kami kasih diskon. Jadi, digenapin aja di delapan ratus juta. Kami beri waktu tiga hari. Kamu harus bisa bayar lunas. Kalau tidak ...." Salah satu pria dengan perut tambun, membuat gerakan seperti mengiris leher sendiri dengan telunjuknya.
"Tapi, aku tidak punya uang, Om," lirihku sambil menunduk. Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu tiga hari saja? Mustahil!
"Bodo amat! Lo jual diri, kek. Jual organ, kek. Terserah!" teriak salah satu pria di sana sambil mengacungkan tongkat baseball ke wajahku.
"Jangan macam-macam sama kami. Ingat, tiga hari!" teriak pria lain yang kemudian melayangkan tangan ke wajah hingga membuatku tersungkur.
Tanpa dikomando, sembilan pria itu langsung memukuliku. Mereka memukul tangan, kaki, perut, juga bagian kepala.
"Dada jangan sampai terluka!" teriak salah satu pria.
Aku tidak tahu, apa maksudnya? Setelah puas, mereka meninggalkan tubuhku yang babak belur begitu saja. Aku tidak akan mati. Aku kuat!
"Halo. Tugas sudah dilaksanakan, Pak. Dia sudah kami buat terkapar." Salah satu pria terdengar sedang berbicara dengan seseorang via telepon sembari melangkah menjauh. Mungkin, dia mengira kalau aku sudah pingsan.
"Oh, tenang. Bagian dada aman, tidak kami pukuli," ucap pria itu lagi.
Ada apa dengan dadaku? Kenapa mereka terus membahas itu? Kucoba untuk bergerak, tetapi tidak bisa. Tubuh terlalu lemas dan ngilu semua.
"Duit!" teriak para pria, mulai sayup terdengar.
Syukurlah, mereka sudah benar-benar pergi. Aku sempat membayangkan hal yang lebih menyeramkan dibandingkan kematian. Bagaimana kalau mereka menodaiku?
Sekitar satu jam kemudian, tenagaku mulai pulih. Dengan tubuh remuk redam, aku berusaha untuk duduk. Celaka! Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu untuk melunasi semua utang Ayah? Jangankan tiga hari, tiga tahun pun belum tentu cukup.
Dengan tertatih, aku kembali ke tempat sebelumnya ketika ditarik oleh salah satu kawanan renternir itu. Aku memunguti barang-barang yang berserakan, baru kembali ke kontrakan. Untungnya, dini hari seperti ini belum banyak orang yang lewat. Jadi, barang dagangan tadi masih aman di jalanan.
Tiba di kontrakan, kubersihkan wajah dan tubuh yang penuh luka. Pelan-pelan agar Alma tidak sampai terbangun. Kupandangi wajah polos Alma yang baru naik kelas tiga SMP. Dia adalah satu-satunya anggota keluarga yang tersisa.
Cukup Kakak saja yang merasakan penderitaan ini. Kamu jangan, Alma. Kuusap pelan rambut adik tercinta.
Setelah membersihkan semua luka, aku berbaring di samping Alma. Tidak hanya tubuh, hati juga sudah teramat letih. Dalam kondisi seperti ini, tidur menjadi salah satu pelarian yang paling mudah serta paling murah untuk sejenak kabur dari kepenatan. Tak perlu menunggu lama, aku langsung terlelap dibuai mimpi.
Tidur berhimpitan memang jadi keharusan. Kami hanya punya satu kasur tipis berukuran single yang terhampar di kontrakan sempit berukuran tiga kali tiga meter. Kamar jadi satu dengan dapur mini, masih dipotong untuk kamar mandi di sudut ruangan.
"Kak, wajah kamu kenapa?" Alma menatap khawatir keesokan paginya.
Beberapa hari lalu, aku juga pernah pulang dalam keadaan babak belur seperti ini. Ada tawuran antar kelompok punk di dekat terminal dan aku jadi terkena dampaknya. Sudah risiko buka usaha di terminal, apalagi di kawasan Jakarta Utara yang terkenal lebih barbar.
"Semalam kepeleset, Al. Kakak masuk ke selokan besar di depan gang. Ngantuk banget soalnya." Aku berusaha untuk menutupi kejadian semalam. Alma tidak perlu tahu.
"Astaga, Kakak. Hati-hati, dong. Kakak sih, nggak pernah ngijinin aku untuk ngebantu." Alma memegang daguku untuk melihat lebih jelas luka di kedua pipi serta dahi.
Aku memang selalu melarang Alma untuk datang ke terminal. Terminal bukan kawasan aman untuk gadis kecil dan cantik seperti dia. Nanti malah terjadi apa-apa.
"Sudah, Kakak tidak apa-apa, kok. Kamu berangkat sekolah sana. Nanti telat, lho." Kudorong pelan tubuh Alma agar segera meninggalkan kontrakan. "Sarapannya jangan lupa."
Alma tidak suka makan terlalu pagi. Dia baru bisa sarapan di istirahat pertama, sekitar pukul setengah sepuluh nanti. Sudah jadi kebiasaannya sejak dulu.
Aku masih sangat mengantuk karena tidur hanya tiga jam tadi pagi. Ditambah lagi, badan rasanya ampun-ampunan. Lebih baik, aku tidur lagi.
"Permisi!"
Suara pria di depan kontrakan membuatku terkejut dan batal merebahkan diri. Lelaki berusia sekitar empat puluhan tahun dengan sebagian rambut yang mulai bersalju, berdiri tegak di depan pintu.
"Kamu Gumi, kan?"
Bab 1 Kamu Gumi
08/12/2022
Bab 2 Om-Om Meresahkan
08/12/2022
Bab 3 Tawaran Mencengangkan
08/12/2022
Bab 4 Jingga Beradu Nila
08/12/2022
Bab 5 Jantung Baru
08/12/2022
Bab 6 Manusia Sampah!
08/12/2022
Bab 7 Suara Lain
08/12/2022
Bab 8 Gadis Misterius
09/12/2022
Bab 9 Anak Angkat
09/12/2022