Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
If I Stay
5.0
Komentar
3
Penayangan
5
Bab

Tidak mudah dalam mempertahankan sebuah hubungan. Meski terjalin atas dasar cinta, cobaan selalu datang menerpa mereka. Seakan menguji seberapa kuat mereka bisa melewati semuanya dan bertahan. Ara dan Dave berusaha melewati cobaan itu bersama, tapi terlalu keras arusnya membuat salah satu pegangan terlepas. Ada yang lelah dan menyerah. Lantas masih bisakah mereka bersama saat salah satu sayapnya patah?

Bab 1 Tsundare

New York Universty, Gerbang Kampus.

Ara memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Sesekali dia akan menyapa mereka yang dikenalnya dengan ramah dan terdiam di detik berikutnya. Helaan napas panjang kembali terdengar. Kepalanya menunduk, menatap sepasang flat shoes putihnya yang mulai kotor. Kira-kira sudah berapa lama dirinya berdiri seperti patung di tepi jalan seperti ini?

Ara mengutuk sifat pelupanya yang tidak bisa hilang. Tadi malam setelah berkabar dengan sang kekasih dan mengobrol panjang lebar, dia malah lupa tidak kembali mengisi daya benda pipih itu dan membuat ponselnya mati di saat urgent seperti saat ini.

Dia tidak bisa menghubungi sang kakak untuk menjemputnya. Sedangkan menunggu sang kekasih, sepertinya hanya akan membuang waktu saja. Entah untuk alasan apa lagi saat ini. Ara lelah berdiri, perutnya sudah lapar. Dia butuh segera pulang dan istirahat secepat mungkin.

Di sela menunggunya, sebuah motor merah dengan warna yang sangat menyilaukan mata berhenti di depannya. Ara tersentak, kakinya mundur spontan. Dia mengamati gerakan si pengendara yang membuka helm fullface-nya. Sepertinya dia tidak asing dengan postur tubuh si pengendara. Dan benar saja, Ara langsung membulatkan tatapannya melihat siapa yang tengah berada di depannya dengan wajah super tengil.

"Sendiri?"

"Athes?" pekik Ara tanpa sadar. Kedatangan pria itu seperti dewa penolong baginya. Senyumnya merekah, dia menatap pria itu dengan binar mata yang sangat cerah.

Athes mengorek telinga, seakan terganggu dengan pekikan yang Ara lakukan tadi.

"Athes mau nganter Ara?"

Pria itu mengerutkan kening dan menggeleng setelahnya. Hal yang sukses membuat wajah Ara kembali meredup.

"Kata siapa aku mau nganter?"

"Tapi Athes tadi tanya-"

"Cuma tanya, bukan berarti mau nawarin tumpangan," potong Athes dengan wajah yang sangat menyebalkan.

Ara mengerucutkan bibirnya, tatapannya menyiratkan rasa sebalnya pada pria yang masih duduk di atas motornya. Sama sekali tidak memiliki rasa kasihan padanya yang sudah lelah berdiri seperti orang jalanan.

Athes Madison, pria yang beberapa semester ini selalu menjadi teman sekelasnya. Meski cukup tampan dan kaya, tapi sifat menyebalkannya sering membuat orang-orang kesal. Athes bukan pria yang irit bicara atau dingin, malah pria itu cukup cerewet dengan mulut pedasnya. Lebih baik menghindar ketimbang mendapatkan kata-kata mutiara yang membuat hati terluka. Namun, saat ini Ara butuh Athes untuk membawanya pulang.

"Ara tidak bisa pulang," beritahu Ara dengan suara pelan, berusaha menarik simpati pria itu. Wajahnya dipasang semelas mungkin yang biasanya selalu ampuh pada keempat kakaknya.

Athes yang pada dasarnya memiliki nol simpati, hanya mengedikkan bahunya acuh. Dia menatap lurus ke depan, seakan tengah memikirkan sesuatu setelahnya kembali menatap Ara. "Kamu masih punya dua kaki, kan?"

Ara mengangguk dengan raut bingung. Tidak tahu maksud pertanyaan pria itu yang dinilainya terlalu menyimpang dari topik sebelumnya. Ini Ara butuh tumpangan, bukan pertanyaan dadakan seperti ini. Ara hanya berani menggerutu dalam hati.

"Masih bisa jalan?"

Lagi, Ara mengangguk.

Athes mengangguk dengan wajah yang mengundang kecurigaan. "Jarak kampus ke rumahmu kira-kira hanya 40 km, tidak terlalu jauh. Kamu bisa jalan kaki sekalian olah raga. Mungkin dengan begitu, kakimu tidak akan sependek kelinci begini."

Ara menganga tanpa sadar. Ternyata jalan pikiran pria itu benar-benar di luar nalar. Bagaimana bisa pria itu mengucapkannya dengan ekspresi santai, seakan tengah menyuruh seseorang makan sampai mati. Dengan kesal, Ara menghentakkan kakinya, tatapannya menajam pada pria itu.

"Sudahlah. Jika Athes tidak mau nganterin, mending pergi sana. Hus ... hus!"

"Oke." Hanya itu dan Athes kembali memasang helm-nya. Tanpa belas kasihan, pria itu melajukan motornya meninggalkan Ara yang terbelalak dengan wajah syoknya. Ah, Ara salah lagi.

"Dasar tidak punya perasaan! Athes jahat!" teriak Ara dengan kekesalannya. Ara mengamati sekitar, tidak ada lagi orang yang dikenalnya. Sedangkan sebentar lagi hari beranjak malam. Ara tidak mau di sini semalaman dan membuat keluarganya khawatir. Apa dia harus mengikuti saran pria itu?

Saat dia akan mengikuti saran pria itu, ya hitung-hitung olah raga, sebuah taksi berhenti di sampingnya. Awalnya Ara tidak terlalu peduli, dikirannya itu pesanan orang. Namun, sopir itu membuka jendela mobil dan memanggil namanya.

"Nona Aurora?"

Ara berhenti. Keningnya mengerut samar dengan anggukan kecil. "Ah, iya. Saya."

"Mari masuk."

"Tapi, Ara tidak memesan taksi." Ara menggaruk pipi kanannya dengan ekspresi bingung.

Sopir tersebut tersenyum maklum, sebelum menujukkan sebuah pesan pada aplikasinya. "Pesanan untuk Nona Ara."

Ara melihatnya, memang benar di sana atas nama dirinya. Tapi Ara tidak merasa memesan taksi. Ara sendiri tidak punya aplikasi tersebut. Tunggu, tiba-tiba tatapannya tertuju pada kolom note khusus yang berada di paling bawah. Dia menajamkan matanya dan membaca kalimat di sana.

Rabbit, tidak usah jalan. Kakimu tetap akan pendek. Lebih baik naik taksi dan segera pulang. Bye, Rabbit.

Ara merasakan rahangnya hampir jatuh ke bawah setelah membaca pesan tersebut. Tanpa menyebutkan siapa pelakunya, dia seakan sudah bisa menebak dengan benar. Tidak ada satu orang pun yang memanggilnya kelinci, kecuali Athes. Entah dia harus kesal atau bersyukur. Pria itu memang tidak bisa ditebak sama sekali.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Yani

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku