Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
BAB 1
“Ta, ungkep ayamnya udah matang! Cepetan angkat dan goreng!” seru Wa Imah---kakak kandung ibu.
“Iya, Wa … bentar tanggung lagi marut kelapa sedikit lagi!” tukasku. Keringat sudah membanjiri pipi.
“Eh, Ta … tolongin buatin kopi dong buat akang-akang kamu! Udah pada datang! Masaknya belum kelar juga?” teriak Selvi---kakak sepupu pertamaku.
“Sinta belum kelar, Teh! Teteh buatin aja atuh sendiri! Airnya udah aku rebus juga dalam termos! Di dispenser dalam rumah juga ada!” ucapku.
“Eh, dasar ya! Kalau diperintah sama yang lebih tua itu jangan banyak tingkah, tinggal bikin kopi aja susahnya apa sih?” tukasnya dengan mata memutar jengah.
“Siapa, Teh yang banyak tingkah?” Kudengar Rema, kakak sepupuku yang lainnya menyahut dari dalam rumah.
“Itu Si Babu!”
Meskipun benar pekerjaanku hanya sebagai pembantu rumah tangga, tapi entah kenapa ketika mendengar sendiri ucapan itu disebutkan dengan kasar dan nada melecehkan hatiku sakit, ya?
“Oh, Sinta! Biasalah orang yang gak berpendidikan ‘kan sukanya banyak tingkah dan gak punya etika!” ucap Kak Rima lagi.
“Iya, baru jadi babu aja udah belagu!” sambung Rena, Kakak sepupuku yang lainnya.
Mereka memang benar jika mengatakan pendidikanku rendah. Aku hanyalah lulusan SMA tidak seperti mereka yang bisa kuliah dan kini memiliki karir bagus. Memang nasib baik tidak berpihak pada keluargaku. Ibuku yang merupakan anak bontot menikah dengan seorang lelaki yang hanya buruh serabutan. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang lain. Mereka beruntung mendapati suami yang memiliki pekerjaan yang lebih baik.
Entah dari mana Kakekku yang sudah tua renta itu datang. Meskipun usianya sudah mencapai lima puluh delapan tahun tapi dia masih saja bugar.
“Sinta, kamu jangan gitu kalau diperintah sama Kakak-kakakmu, gak baik menentang yang lebih tua!” ucap Kakek dengan sekilas melirik ke arahku. Lelaki tua itu berjalan melewatiku begitu saja.
“Biar saya saja Bah, yang buatin!”Ibuku sepertinya tidak tega melihatku. Dia segera berdiri meninggalkan pekerjaannya yang sedang mengulek bumbu.
“Gak usah, Bu! Sinta aja!” tukasku sambil bergegas meninggalkan pekerjaan memarut yang sebetulnya hanya tinggal sedikit lagi.
Aku segera menyiapkan kopi untuk mereka. Kudengar riuh sepupu-sepupuku menyambut kedatangan kakek ke ruang tengah.
“Kakek!” Kudengar teriakan ketiga sepupuku di dalam rumah. Mereka selalu dimanjakan oleh lelaki tua itu.
“Eh, cucu-cucu kesayangan kakek!” Dan mereka terdengar mengobrol dengan hangat.
Bagaimana pun Kakek selalu membanggakan Kakak-kakak dari Ibu yang memiliki kehidupan lebih baik. Dan keempat cucunya yang kini sudah menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi. Cucu yang selalu dia bangga-banggakan. Bukan sepertiku yang selalu dibedakan dan dikucilkan.
Tidak hanya para kakak sepupu itu yang merendahkanku. Ibu mereka pun sama memandang rendah pada ibuku yang merupakan adik termudanya. Hanya Wa Imah saja, yang merupakan kakak ketiga dari ibu yang memang hidupnya sama juga serba susah. Ketika sedang ada acara keluarga seperti ini maka yang akan jadi tumbal adalah ibuku dan Wa Imah.
Aku berjalan ke depan dengan membawa nampan berisi kopi. Untuk suami Rena dan Rima. Sementara Kak Selvi meskipun usianya sudah memasuki kepala tiga. Dia masih belum menemukan jodohnya juga hingga saat ini. Dia sedang menggelendot di pangkuan kakek.
“Silakan, Kang!” Aku menawari kopi tersebut pada Kang Bahri dan Kang Sarif.