Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Andra! Jadi, pekerjaan kamu selama ini tukang parkir?!"
"Nadia?! Nadia, kamu ngapain di sini?! Aku ... aku ...."
Aku berusaha meraih lengan Nadia—kekasih yang sudah lama menemani hari-hariku tanpa pernah tahu profesi apa yang membuatku selama ini bisa cukup makan tiga kali sehari.
Nadia tak mau mendekat, ia menjaga jarak. Sangat jelas ia tidak menerimaku, tampak dari kening yang mengerut serta tatapannya yang tampak terkejut. Ia mungkin tidak mau menerima kenyataan bahwa kekasih yang selama ini selalu ada untuknya adalah seorang tukang parkir yang serba berkecukupan.
"Jangan deket-deket. Jangan mendekat! Gue nggak mau tangan kotor lo nyentuh kulit gue. Malu-maluin lo!"
Setelah membentakku dengan kasar, Nadia berjalan pergi dari seonggok raga yang kini bergeming tak berdaya memaksa ia untuk tetap tinggal.
Aku sangat tahu keadaanku, tetapi aku juga mencintainya dengan seluruh perasaan yang ada. Sejak SMA hingga ia berkuliah di kampus ternama saat ini. Namun, aku tak melanjutkan ke universitas hanya karena tidak punya biaya. Entahlah, mungkin aku hanya ditakdirkan menjadi orang serba berkecukupan.
-II-
Suatu peristiwa terberat yang pernah kuhadapi di masa lalu membuat diriku trauma dengan hubungan romansa. Mulai saat itu, aku memutuskan bekerja keras melakukan apa saja. Aku mengerjakan semua hal yang bahkan tidak bisa aku lakukan. Hanya kegigihan dan ketekunan yang mampu membuatku mengalahkan semua ego dan rasa malas yang bergelimang di dalam diriku. Aku pikir Tuhan tidak akan pernah menjadikanku seseorang dengan kelebihan atau memiliki kekayaan melimpah.
Hingga pada suatu hari, aku mulai sadar untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Mulai dari berjualan buku, bekerja di rumah-rumah tetangga, menjadi sopir, menjadi tukang ojek. Aku bahkan mengurangi pengeluaran harianku, meminimalisir porsi makan. Sampai pada suatu ketika, aku mulai berinvestasi, mencoba bisnis besar dengan risiko yang lebih besar pula.
Bisnis properti adalah kategori yang aku pilih. Setiap waktu, aku tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Mengikuti segala macam seminar kewirausahaan. Mengikuti pelatihan bisnis yang sekiranya dapat memberi ilmu bagiku di bidang yang sedang aku geluti.
Melampaui kemampuan sendiri adalah tujuanku saat ini.
-II-
"Andra ... maafin gue, maafin gue ...." Seketika tangis perempuan berambut lurus hingga punggung itu pecah di kesunyian ruang kantorku.
Sementara ia menumpahkan air mata yang bagiku tidak berarti apa-apa, aku hanya mengalihkan pandangan sambil menyaksikan riuhnya kota ini dari balik kaca yang membalut gedung besar tersebut.
Ia datang ketika aku telah menjadi seseorang, yang mungkin sudah pantas baginya untuk menjadi yang diakui. Meski begitu, aku masih ingat betapa dulu ia bahkan tidak ingin tangan kotorku menyentuh dirinya. Sangat disayangkan perempuan sepertinya kini mengemis maaf dengan sangat tertatih.
"Saya sudah memaafkan kamu."
"Jadi, kalau begitu, kita bisa—"
"Tidak. Memberikan kamu maaf bukan berarti saya juga harus menerima kamu sebagai kekasih seperti dulu," tandasku, masih tak mau menatap dirinya yang hancur, bersimbah air mata dengan begitu banyak penyesalan menelungkupnya.
Tangisnya makin jadi. Ia sudah mendapat maaf, tetapi mengapa ia menuntut lebih?
Aku berjalan melewati tubuh rampingnya yang terbalut gaun brokat panjang didominasi warna biru muda serta tas di lengan kanannya. Aku akui ia amat indah, tetapi tidak pantas untukku setelah sekian lama aku menyadari.
"Maaf, saya ada meeting hari ini. Seorang klien akan datang, kamu boleh pergi melewati pintu ini untuk keluar." Aku memutar kenop pintu, membukakan pintu untuknya. Nadia memandangku dengan sesal bergelimang kesal.
Tubuhnya yang begitu indah bergerak pelan, lalu melewati pintu hingga keluar dari ruanganku. Sebelum aku menutup kembali pintu, ia menatap ke arahku dengan keadaan hancur.
Tak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat di mataku. Aku tidak peduli dengan kata maaf yang begitu diucapkan lalu dilupakan. Semua paradoks, sewaktu-waktu pasti akan diulangi kembali.
Aku mungkin telah menjadi lelaki bergelimang harta, tetapi masalah tidak akan berhenti datang. Itu yang aku sadari saat ini. Bahkan masalah yang lebih pelik telah menunggu di depan sana. Ingin melahapku, mencengkeram kesombongan serta keangkuhanku ketika harta ternyata mengalahkan kerendahan hati yang dulu pernah aku miliki.
--II--
"Pak, ada perempuan yang mau bertemu. Katanya dia mau melamar sebagai sekretaris baru di kantor ini. Saya sudah bilang kalau kita lagi nggak butuh karyawan baru, tapi orangnya keras kepala."
"Ya, ampun! Tidak becus kamu, Lina. Seharusnya kamu bisa meyakinkan dia kalau kita memang tidak butuh karyawan baru! Kalau perlu, panggilkan satpam dan usir dia."
"Tapi, Pak. Orangnya—"
"Ya, sudah. Saya akan temui dia. Di mana dia sekarang?"
"Di ... depan ruangan Bapak."
Aku menatap tajam pada Lina—seorang receptionist di perusahaan yang aku kelola. Dengan sebelah alis yang mengangkat, aku mendengkus kesal. Bagaimana bisa dia bekerja sangat tidak becus? Seharusnya dia dan satpam yang sudah aku gaji bisa bekerjasama dengan baik. Jika ada orang seperti perempuan yang dimaksud, dia dan satpam berkewajiban mengusirnya.
Dengan bergelimang kesal, aku berjalan ke kantorku yang berada di lantai tiga gedung raksasa ini. Perusahaanku memang terdiri dari tiga lantai. Di atas lantai tiga terdapat beberapa perusahaan juga. Ada sekitar tiga ratus karyawan yang bekerja di bawah kepemimpinanku. Ada banyak penyumbang dana yang menghabiskan uang demi membantu perusahaan ini maju dan berkembang.
Sampai di lorong menuju ruang kerja, aku melihat seorang perempuan. Rambutnya lurus terikat rapi sepunggung. Ia mengenakan rok selutut berwarna hitam serta atasan berwarna putih. Ia melihatku yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Dengan sungkan ia menyunggingkan senyuman. Di tangan kanan ia membawa sebuah amplop cokelat. Sepertinya identitas diri dan kumpulan sertifikat kerja sebagai bukti pencapaiannya, agar aku berminat menerimanya sebagai karyawan di perusahaan ini. Tapi, ayolah. Di perusahaan ini, aku punya HRD yang bertugas mengurus perihal sumber daya manusia atau karyawan umum.
“Maaf, Pak. Nama saya ... Tari,” ucapnya sambil sedikit membungkuk memberi hormat atas kedatanganku.
“Ada perlu apa kamu menemui saya?” tanyaku dengan dahi berkerut dan mata yang malas menatapnya.
“Saya ... mau melamar pekerjaan—“
“Maaf, kami sedang tidak butuh karyawan. Kantor ini sudah kebanyakan karyawan. Kamu melamar di kantor lain saja.”
Aku melanjutkan langkah ke pintu, mulai memutar kenop pintu ruangan, tetapi ia menghentikanku dengan sedikit bernada tinggi. “Pak! Maaf, tapi ... Bapak boleh lihat dulu berkas-berkas saya. Saya sudah bawa semua berkas yang diperlukan. Saya juga sudah bawa portofolio agar Bapak tertarik merekrut saya.”
“Tidak perlu. Saya memang tidak butuh karyawan. Kalaupun saya membuka lowongan pekerjaan, saya akan meminta HRD mengurusnya.”
“Pak!” Perempuan bernama Tari itu tiba-tiba saja meraih ujung kemeja hitam yang aku kenakan. Di titik ini, aku benar-benar kesal. Tak habis pikir diriku, mengapa perempuan keras kepala seperti dia ada di dunia ini. Rahangku mulai mengeras, aku membalik badan.
“Saya, tidak, butuh, karyawan!” Aku menegaskan dengan tatapan tajam mengintimidasi. Namun, tetap saja ia tidak gentar. Ia semakin berani menyodorkan berkas-berkas prestasinya. “Kenapa kamu ingin sekali bekerja di sini?”
“Pak, tolong. Saya sedang butuh uang. Saya harus bekerja. Saya punya alasan tersendiri kenapa sangat ingin bergabung dengan perusahaan Bapak. Saya punya pengalaman sebagai sekretaris. Bapak bisa mengandalkan saya untuk urusan yang berkaitan dengan pencatatan dan manajer jadwal kerja.”