Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Jangan Main-Main Dengan Dia
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
Anna's point a view
"Selamat datang!"
Sambutan ceria si pelayan cantik dan senyum manisnya seketika menambah suasana hangat restoran yang sudah menjadi langgananku selama lima tahun ini.
Masih dengan senyum manisnya, yang seakan-akan tak pernah pudar, si pelayan mengantarkanku ke meja yang sudah aku pesan beberapa hari sebelumnya.
Walaupun sudah lima tahun berlalu, tetapi tempat ini, designnya dan suasana di dalam dan di luar ruangannya masih saja sama seperti dahulu. Dan sama seperti lima tahun yang lalu, meja kedua disudut ruangan dekat jendela inilah yang selalu menjadi favoritku sejak dulu. Alasannya sebenarnya sederhana. Hanya dari tempat duduk inilah, pemandangan taman di luar restoran bisa dilihat dengan lebih jelas. Alhasil, duduk sampai berjam-jam pun, aku bisa tahan di sini.
Sama seperti kebiasaanku yang sudah-sudah, setiap kali datang ke tempat ini, aku selalu melongokkan kepalaku keluar jendela begitu sampai di tempat duduk ini. Angin bertiup kencang menerpa wajah dan rambutku. Kesejukkannya seakan mengangkat semua beban dan rasa khawatirku seketika. Ditambah lagi keharuman bunga mawar yang ikut berhembus ke arahku benar-benar membuatku rileks.
Satu hiburan kecil memang, tapi efeknya selalu membuatku merasa lebih baik. Apalagi, aku tidak harus membayar lebih untuk mendapatkan semua ini. Hanya tinggal melonggokkan kepalaku saja, aku sudah dapat menikmati semua keindahan ini.
"Permisi, mbak! Mau pesan apa?" suara si pelayan seketika mengagetkanku. Tak mau terlihat seperti orang aneh, aku cepat-cepat menjauh dari jendela dan kembali mengubah posisi dudukku.
"Saya masih nunggu teman, mbak. Nanti saja pesannya kalau orangnya sudah datang." Mendengar itu si mbak pelayan mengangguk mengerti dan meninggalkanku dengan sopan.
Setelah si pelayan pergi, tanganku langsung merogoh hand phone dari tasku dan secepat kilat mengetikkan pesan 'supaya cepat datang' pada temanku, yang kemarin berjanji akan datang setengah jam lebih awal tersebut. Dengan wajahnya yang super serius kemarin, dia membuatku percaya kalau kali ini tidak akan sama seperti lima tahun belakangan ini. Kali ini dia yang akan datang lebih dulu dan tidak akan membiarkanku menunggu lagi.
Kenyataanya... cuma aku sendirian di sini. Padahal sudah lima belas menit berlalu dari perjanjian, tapi temanku itu tak kunjung datang juga.
"OTW" pesan balasan yang super singkat itu membuatku tersenyum. Sama seperti tempat ini, kebiasaan temanku yang satu ini juga tidak sedikitpun berubah. Selalu saja terlambat kalau diajak ke tempat ini. Aku juga heran kenapa, padahal dia yang mengenalkanku ke tempat ini dari pertama.
Masih jelas sebenarnya di ingatanku hari itu. Dia berkata akan mentraktir aku ke tempat makan yang enak, murah, dan nyaman tempatnya. Mendengar kata 'traktiran', aku langsung mengiyakan saja. Waktu itu adalah hari seminggu setelah kelulusan kami dari SMA. Untuk merayakannya, aku mengira dia akan mengajakku ke tempat spesial dan membuatku bahagia.
Dia memang membawaku ke tempat yang menyenangkan, tempat seperti yang di janjikannya; enak, murah, dan nyaman tempatnya. Namun betapa tak kusangka di hari pertama itu dia sudah membiarkanku menunggu selama empat puluh lima menit dan berhasil membuatku panik, karena sebenarnya di dompetku saat itu cuma ada uang lima ribu rupiah dan kalau dia benar-benar tidak datang, pastinya aku akan malu karena harus keluar dari tempat ini tanpa membeli apa-apa.
Ingin rasanya mencubit lengannya sampai biru saat dia datang empat puluh lima menit kemudian. Tapi karena begitu datang dia langsung tersenyum dan mengucapkan kata "sorry" berkali-kali, mau tak mau aku akhirnya menelan kemarahanku dan memaafkannya.
Sekarang pun tak ada bedanya, tetap saja dia membiarkanku menunggu. Tapi entah sampai berapa lama kali ini aku harus menunggu.
Kesejukan angin yang berhembus dari luar jendela, membuat kepalaku menoleh ke arah luar restoran. Alunan musik yang mengalun dengan indah pun membuat pikiranku terbang ke masa lalu. Ke masa dimana pertama kali aku bertemu dengan sahabatku itu.
Si tukang telat itu sebenarnya kukenal di SMA, di kelas dua SMA tepatnya. Namanya Alex. Alex Tjandra.
Pertemuan pertamaku dengan Alex sebenarnya bisa di bilang memalukan. Kalau diingat lagi, aku terkadang masih merasa malu. Semua di awali karena 'kebiasaan anehku' hingga jodoh pertemanan kami pun di mulai.
Saat duduk di SMA, aku sebenarnya sudah di masukkan dalam golongan anak-anak aneh di sekolahku. Perpustakaan berjalan adalah sebutanku saat itu. Kebiasaanku yang selalu membawa dan membaca buku kemana-mana, membuatku di anugerahi julukan seperti itu.
Mencintai dan membawa buku kemana-mana sebenarnya bukan suatu dosa atau kesalahan fatal yang tidak bisa diampuni atau bahkan dianggap aneh. Hanya saja kebiasaanku membaca buku tanpa peduli waktu dan tempatlah yang membuatku pantas di sebut seperti ini.
Sebenarnya kebiasaan anehku ini tidaklah muncul begitu saja. Memang sih sejak kecil aku sudah di biasakan membaca buku oleh kedua orang tuaku. Mama papaku yang keduanya berprofesi sebagai dosen sastra Inggris, sebenarnya mempunyai hobi yang sama, yaitu membaca dan mengkoleksi buku, terutama novel-novel klasik.