/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
Di balik senja yang meredup, Sephia Agustin, gadis berhati mulia, masih berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. dia tak henti membersihkan sisa-sisa hari, sapu dan kain pel menjadi sahabatnya. Tak ada keluhan, hanya ketabahan yang terpancar dari sorot matanya.
Sephia, gadis yatim piatu yang dibesarkan oleh keluarga pamannya. Kehidupannya tak mudah, bagaikan debu yang tersapu angin, tak dihiraukan. Bibinya, wanita berhati dingin, tak segan melontarkan kata-kata kasar, bagaikan belati yang menusuk hati. Yuli, sepupunya, tak jauh berbeda, sering meremehkan dan membebani Sephia dengan berbagai perintah.
Meskipun terluka, Sephia tak pernah membenci. dia sadar, mereka adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Luka hatinya dia tutupi dengan senyuman, bagaikan matahari yang tetap bersinar di tengah badai.
"Sephi, ambilkan aku kacang lagi!" teriak Yuli, tanpa rasa bersalah. Kulit kacang berserakan di lantai, bagaikan cerminan hati yang tak peduli. Sephia, dengan suara lirih, mengingatkan Yuli untuk membuang sampah pada tempatnya.
Amarah Yuli meledak bagaikan gunung berapi. dia mengadu pada bibinya, menuduh Sephi tak patuh. Bibinya, tanpa mendengarkan penjelasan Sephi, langsung membentaknya, bagaikan badai yang menerjang.
Sephi terdiam, hatinya pilu. Air mata tertahan di pelupuk matanya. Demi menghindari pertengkaran yang lebih besar, dia menuruti semua perintah. Luka di hatinya makin perih, namun dia tak pernah menyerah.
Langit malam mulai merajut jubahnya saat Sephia menyelesaikan tugasnya. Debu dan kotoran takluk di bawah sapuan tangannya, meninggalkan jejak kebersihan yang berkilau. Kini, aroma masakannya menggoda selira, mengundang keluarga bibinya untuk menikmati makan malam.
Sephi, dengan perut yang menari-nari karena lapar, menanti dengan sabar di sudut ruangan. dia tak berani duduk bersama mereka, hanya berdiri di samping meja, mengamati setiap suapan yang mereka nikmati. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan rasa lapar yang tak tertahankan.
Baru setelah piring mereka terkuras habis, Sephia diizinkan untuk makan. Sisa-sisa makanan yang dingin dan tak lagi menarik menjadi santapannya. Rasa laparnya terobati, namun hatinya teriris pilu. Ketidakadilan ini bagaikan duri yang menusuk jiwanya, membuatnya terluka dan terhina.
Meskipun begitu, Sephi tak pernah patah semangat. dia terus berjuang, menggantungkan harapan pada masa depan yang lebih cerah. Di dalam hatinya, dia berbisik, "Suatu hari nanti, aku akan keluar dari neraka ini dan hidup dengan bahagia."
"Sephi..... Ini masakan gak enak sangat sih, kamu mau meracuni kita Ha?" Bentak bibinya
"Apa sih Bi, mungkin lidah bibi saja yang salah, masakan aku pasti enak, karena sudah aku coba " jawab Sephi jujur.
"Apa maksud kau, Kalau kamu tidak percaya, silakan coba saja ini," ucap bibi mencengkram pipi Sephia dengan keras sambil menyuapkan makanan yang dia muntahkan tadi.
"bagaimana? Enak?" Tanya bibinya dengan nada suara yang tinggi.
"Udah deh Bi, ini pasti yang salah lidah Bibi, ini menurutku rasanya sudah pas kok," jawab Sephia dengan santai karena dia memang merasa masaknya itu sudah sesuai dengan lidahnya.
"Udah deh, jangan mengejek, jangan menyalahkan, kamu bisa masak gak sih, dasar wanita tidak becus,"bentak bibi sambil menjambak rambut Sephia dengan kuat.
Yuli yang melihat sephia tersiksa dia merasa puas. Karena ini yang dia inginkan. Yuli jugalah yang sudah mencampurkan banyak garam tadi saat Sephia meninggalkan masakannya karena terburu ke toilet.
Sephi hanya meringis mendapat jambakan dari sang bibi.
"Kau makan sampah itu," ujar bibi melepaskan tangannya dari rambut sephia.
"Ya udah deh Ma. Ini suruh makan dia saja. Kita makan di luar,"ajak Yuli dan suaminya.
"Rassakan itu,"Bibi melenggang pergi mengikuti langkah Yuli dengan tersenyum kemenangan kepada Sephia
Sephi pun memahami siapa dalang di balik ini semua dia memahami betul bagaimana kelicikan yuli, tetapi sayangnya dia hanya diam saja dan tertunduk menahan air mata hampir terjatuh.
Saat mereka sudah keluar, isak tangis Sephia terdengar pilu. "Hiks... hikss... mengapa paman, bibi dan kak yuli jahat kepadaku? Apa salahku?" Lirih sephia membereskan semua makanan yang ada di meja.
"Mama... papa... Aku kangen kalian, mengapa kalian tega meninggalkan aku."
Sephi menyingkirkan semua sisa makanan tadi dengan air mata yang membasahi pipinya. Setelah itu, dia memutuskan untuk merebahkan diri karena tenaganya terkuras habis.
/0/18033/coverorgin.jpg?v=354447084e0607c2d29dd15e7f034522&imageMogr2/format/webp)
/0/14071/coverorgin.jpg?v=009075a2713d3615445f0e0a89cff038&imageMogr2/format/webp)
/0/20775/coverorgin.jpg?v=37c962090e42cfdd88a08b0d03185d8b&imageMogr2/format/webp)
/0/19899/coverorgin.jpg?v=ef25e24013022f1e5084d13e9fc9e886&imageMogr2/format/webp)
/0/5369/coverorgin.jpg?v=828b4626fb2cf3faf0cd82ba5e07e15c&imageMogr2/format/webp)
/0/3778/coverorgin.jpg?v=45659e33fc35fc3013be25deafe72fcf&imageMogr2/format/webp)
/0/18821/coverorgin.jpg?v=9802dce90e46c9f104fb9b58491e42f9&imageMogr2/format/webp)
/0/18949/coverorgin.jpg?v=515c3f1a85fa5f856ca8e7b776a4c52c&imageMogr2/format/webp)
/0/4087/coverorgin.jpg?v=b70aa021fa96d8da2f074b39da509320&imageMogr2/format/webp)
/0/8074/coverorgin.jpg?v=9ed9f0f8922d4de2e0e7ac5d9024b6ab&imageMogr2/format/webp)
/0/12866/coverorgin.jpg?v=fdaf1540e18d535e1b557aba64423218&imageMogr2/format/webp)
/0/17274/coverorgin.jpg?v=1da3b24971bfb3a9b1dc9acb56b5a671&imageMogr2/format/webp)
/0/21621/coverorgin.jpg?v=fea238469818ea92d629a4bbbdbf5f64&imageMogr2/format/webp)
/0/21426/coverorgin.jpg?v=3d3fc6035103ce8c255a3a2e7016ab2b&imageMogr2/format/webp)
/0/17655/coverorgin.jpg?v=fd7c088aedcee4c6f93d3a95354c4ad2&imageMogr2/format/webp)
/0/13781/coverorgin.jpg?v=e2ae83d191f3edec7de05bfb4b519119&imageMogr2/format/webp)
/0/18902/coverorgin.jpg?v=65d19d6cc8fd19ff0990ac7a6a74b941&imageMogr2/format/webp)
/0/3930/coverorgin.jpg?v=415bcb654e68171830aa7a9fe1ef86ff&imageMogr2/format/webp)
/0/13295/coverorgin.jpg?v=1f824d1bf29c473c4ff55b4b3a5e050b&imageMogr2/format/webp)