"Suka atau tidak suka! Yang terpenting kau sekarang adalah istriku. Milikku sepenuhnya!" tegas Bara Alexander Rodriguez. Bagaimana perasaanmu, ketika pernikahan impianmu digagalkan oleh seorang Pria pemaksa yang penuh kuasa? Sedih, kecewa dan benci yang Sheila rasakan. Keinginan Sheila untuk membina rumah tangga dengan Bryan sang pujaan hatinya sirna. Sheila terpaksa menikah dengan Bara lantaran dijadikan jaminan untuk membayar hutang Bryan pada Bara. Lantas, bagaimana nasib Sheila selanjutnya? Akankah hidupnya bahagia atau ia harus mengalami lika-liku rumitnya persoalan rumah tangga yang terus menimpanya?
Bara Alexander Rodriguez, seorang CEO muda, gagah dan tampan. Ia merupakan idaman bagi setiap wanita. Namun, siapa sangka, di balik namanya yang melejit sebagai seorang pengusaha muda berbakat, Bara tak pernah sekali pun menjalin hubungan dengan wanita. Ia dijuluki berhati batu, bahkan Monica yang seorang model pun, tak mampu meluluhkan hatinya. Bara terlalu fokus dengan karirnya, semua waktunya hampir ia gunakan untuk memajukan bisnis konstruksi perusahaan keluarganya, Rodriguez Corporation.
Siang ini Bara berjalan tergesa memasuki Kafe untuk bertemu dengan klien. Namun, ia malah menabrak seseorang hingga terjatuh.
Bara langsung berjongkok melihat keadaan gadis bersuarai hitam sepunggung itu. Ringisan kecil keluar dari bibirnya.
"Maafkan saya, apa kau baik-baik saja?" tanya Bara sopan.
Gadis itu mendongak lalu mengumbar senyum manis pada Bara. Detak jantung Bara berdebar kuat saat lesung di pipi kanan gadis itu terlihat jelas. Bara terpana dengan kecantikannya.
Bara sadar, ada yang salah dalam dirinya. Gelora pertama yang ia rasa.
Bagaimana dia bisa melakukan ini? batin Bara heran.
"Aku baik-baik saja, aku hanya terkejut," jawab Sheila pelan membenarkan tas slempangnya. Ia berdiri diikuti Bara.
Sheila menatap Bara lekat seakan terhipnotis dengan penampilan rapi dalam balutan jas hitam itu. Tubuh tinggi dengan badan tegap, rahang tegas, dan tatapan matanya mendebarkan.
Penampilan fisiknya benar-benar mengesankan bagi Sheila. Hingga Sheila sadar, ia sampai tak berkedip saking kagumnya.
"Saya terlalu terburu-buru, hingga saya tidak menyadari keberadaanmu," jelas Bara lembut, rasanya baru kali ini Bara mengucapkan nada sehalus ini.
Sheila mengangguk. "Iya, aku mengerti. Tidak apa-apa. Kalau begitu aku pergi, ya." Sheila mulai melangkah meninggalkan Bara.
"Tunggu," sergah Bara ketika Sheila telah berjarak lima langkah darinya.
Sheila berbalik badan dengan cepat. Ia menunggu ucapan Bara selanjutnya. Bara tak kunjung berucap membuat Sheila dilanda kegugupan karena tatapan mata Bara seolah tengah menelanjanginya.
"Ada apa?" tanya Sheila memberanikan diri.
"Siapa namamu?" Rasa penasaran terpancar dari sorot mata Bara.
Sheila tampak berfikir, ide jahil muncul di kepalanya. Lalu Sheila tersenyum simpul, ia mengucapkan namanya tanpa suara.
Bara mengernyit, mencoba mengejanya, ia gemas saat Sheila mengulanginya beberapa kali. Pergerakan bibir mungil itu membuat Bara ingin menarik pinggang ramping itu lalu melumat habis bibir ranumnya.
"She ... ila," gumam Bara. Kebahagiaanya kian membuncah ketika Sheila mengangguk, pertanda mengiyakan.
Sebelumnya, tidak pernah terasa begini. Debaran di dadanya terasa menyenangkan, wajah Sheila yang terlihat polos membuat Bara ingin melindunginya.
Mendekapnya erat dan keduanya menghabiskan waktu bersama. Namun, itu masih sebatas khayalan tapi sudah membuat Bara terlena dalam imajinasi liarnya.
"Dia dengan mudahnya meruntuhkan pertahanan hati ini, apa mungkin dia yang aku cari?" Bara bertanya pada dirinya sendiri. Dari banyaknya wanita yang Bara temui, hanya Sheila yang dengan mudah membuatnya terobsesi untuk memiliki.
Bara menyeringai, "Sheila, aku akan membawamu jatuh dalam pelukanku," tekad Bara penuh ambisi.
Pintu ruangannya terketuk berulang-ulang, membuat bayangan Bara tentang Sheila buyar.
"Masuk," titah Bara dengan suara baritonnya. Pria itu dengan cepat merubah raut wajahnya menjadi datar dan terkesan dingin.
Bryan berdiri di depan meja dengan tumpukan berkas di tangannya.
"Ada beberapa dokumen yang harus anda tanda tangani, Pak," ucap Bryan menaruh berkas bawaannya di meja Bara.
Bara memajukan kursi lalu memeriksanya teliti. Ia lantas membubuhkan tanda tangannya. Bryan yang melihat Bara selesai langsung mengambilnya kembali.
"Kalau begitu, saya permisi," pamit Bryan membungkukan badan dan keluar.
Bara mengangguk, ia berdiri seraya melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Pikirannya tidak fokus, Bara harus menggali informasi tentang Sheila secepatnya.
Bara berjalan melewati mejanya, ia tidak sengaja menginjak sebuah dompet berwarna coklat tua. Dahi Bara mengernyit lalu mengambilnya.
Kedua mata Bara memandang remeh.
"Jelek sekali seleranya," desis Bara mengamati penampilan dompet itu. Tangan Bara tergerak untuk melihat isinya. Pupil matanya melebar saat foto gadis yang terus membekas di ingatannya ada di sana. Sheila tengah tersenyum manis bersama Bryan. Terasa begitu dekat dan bahagia.
"Ada hubungan apa Bryan dan Sheila?" geram Bara, darahnya seakan mendidih disertai emosi yang bergolak.
"Permisi." Bryan datang lagi mengetuk pintu.
"Masuk!" seru Bara dengan tatapan tajam yang menusuk manik mata Bryan.
Bryan menelan ludahnya kasar merasakan aura gelap yang menguar dari diri Bara. Apalagi pandangan Bara yang seakan ingin membunuhnya.
Tujuan Bryan datang kemari adalah untuk memastikan. Apakah dompet miliknya terjatuh di sini atau tidak. Rupanya memang benar, saat ia melihat Bara memegangnya.
"Maaf Pak, itu dompet saya," ucap Bryan.
"Siapa perempuan ini?" tanya Bara langsung pada inti.
"Dia calon istri saya," jawab Bryan sungguh-sungguh.
Bara syok mendengarnya, ia bagai tersambar petir. Baru saja ia akan mengincar Sheila tapi, kenapa semuanya seperti ini? Bara tidak rela jika Sheila bersama dengan Pria selain dirinya. Tidak boleh!
Bryan merogoh sakunya setelah merasakan getaran ponselnya. Bryan mendapati pesan masuk dari adiknya yang mengatakan jika ibunya jatuh di kamar mandi dan sekarang dirawat di rumah sakit. Dokter harus segera melakukan tindakan operasi karena ibunya mengalami stroke.
Bryan menatap ragu pada Bara, ia gugup sekarang. Pria itu menghela napas panjang menenangkan dirinya.
"Pak, bolehkah saya meminjam uang untuk biaya operasi ibu saya? Tolong Pak, saya sangat membutuhkannya," mohon Bryan dengan wajah mengerut cemas.
"Ibumu sakit apa?" tanya Bara sekedar basa-basi.
"Beliau stroke dan harus segera di operasi," jelas Bryan.
"Baiklah, asal ada jaminannya," kata Bara tersenyum sinis. Hal ini akan Bara menfaatkan dengan baik untuk merebut Sheila.
Bryan berfikir keras, ia hanya tinggal di rumah kontrakan. Mobil pun tidak punya, apa yang harus ia jaminkan?
"Saya hanya memiliki motor," ucap Bryan apa adanya.
"Saya tidak mau!" tolak Bara keras.
"Bagaimana ... jika tunanganmu sebagai jaminannya," usul Bara bersidekap tangan menampakan aura otoriternya.
Bryan tertohok, seketika hatinya langsung panas mendengar penuturan Bara. Bryan mengepalkan tangan, ia mati-matian menahan dirinya untuk tidak menghajar wajah sombong Bara yang notabene adalah Bossnya.
"Tidak! Apa maksud Bapak berkata begitu? Saya tidak akan melepaskan Sheila! Carilah perempuan lain, Sheila bukan wanita seperti itu!" tegas Bryan menentang keras. Kemarahan menyala di matanya.
"Tau apa kau tentang saya? Saya jatuh cinta padanya saat kami tidak sengaja bertemu. Tapi sialnya kau mengenalnya lebih dulu!" sesal Bara frontal.
"Saya tidak akan menyetujuinya, apapun selain itu saya akan turuti," kata Bryan.
Suasana terasa tegang saat Bara dan Bryan saling melempar sorot permusuhan.
"Tidak ada," ketus Bara memalingkan wajah.
Tak lama terdengar telfon masuk pada ponsel Bryan, ia segera mengambilnya.
"Kak, tindakan operasi harus segera dilakukan, jika tidak ... ibu akan meninggal. Biayanya sekitar 150 juta, Kak," ucap Tiara diiringi isakan melalui sambungan telfon.
Wajah Bryan berubah pias, tangannya gemetar ia tidak ingin kehilangan ibunya secepat ini.
"Katakan iya, Kakak akan segera melunasi biayanya!" perintah Bryan cepat.
Bara menjengitkan sebelah alisnya. "Bagaimana? Apa kau masih bisa bersikap sombong ketika terdesak?" sindir Bara terdengar angkuh dan menyebalkan.
Bryan memejamkan matanya erat, meredam emosi. "Baik saya setuju." Seketika rasa sesal memenuhi hati Bryan.
"Pilihan yang tepat Bryan," puji Bara tersenyum puas semakin membuat Bryan meradang.
Bara mengambil selembar kertas yang sudah tertempel materai dan menyodorkannya pada Bryan.
"Tanda tangan di sini," titah Bara. Bryan berjalan mendekat dan mematuhi perintah Bara.
Bara mengambil ponselnya. "Saya sudah transfer uangnya. Silahkan pergi," usir Bara.
"Baik, terima kasih," balas Bryan dengan nada tidak ikhlas. Tangan Bryan mengepal kuat dengan emosi yang menderu.
**
Sheila menghampiri Bryan dengan rasa khawatir dan cemas yang begitu jelas dari wajahnya. Sheila langsung duduk di kursi sebelah Bryan. Sheila mendapat kabar dari Bryan dan ia langsung bergegas ke rumah sakit.
"Bryan bagaimana keadaan ibumu?" tanya Sheila.
"Kondisinya berangsur membaik setelah operasi," jawab Bryan terdengar lelah.
"Syukurlah, aku turut senang mendengarnya," sahut Sheila tenang.
Detik berikut, Bryan menggenggam kedua tangan Sheila dan mengecupnya lembut. Sheila menyadari ada yang berbeda, sorot mata Bryan tampak sendu.
"Sheila, berjanjilah, kau akan terus mencintaiku," ucap Bryan terdengar memohon.
Sheila tersenyum manis, tanpa ragu dia menjawab. "Iya, aku berjanji."
Ada kelegaan yang Bryan rasakan, sedari tadi seperti ada tali yang mengikatnya kencang dan membuatnya sesak. Namun, sekarang tali itu telah melonggar seiring dengan kecemasan yang perlahan memudar. Berada di dekat Sheila membuat Bryan nyaman. Dan binar kebahagiaan di mata Sheila seolah mengatakan semuanya baik-baik saja.
"Persiapan pernikahan kita sudah selesai kan?" tanya Bryan.
Sheila mengangguk pelan. "Sudah, kita hanya mengundang sahabat dan keluarga saja," jelas Sheila mantap.
"She, aku ingin memajukan tanggal pernikahan kita menjadi minggu depan," ucap Bryan membuat Sheila terkejut.
Inilah solusinya, jika Bryan menikahi Sheila secepatnya Bara tidak akan mengambil Sheila darinya.
Sheila menangkup wajah Bryan, "Apa kau takut kehilanganku?" goda Sheila mengusap lembut pipi Bryan.
"Ya, aku sangat takut," jawab Bryan yakin dan lugas. Bryan menarik Sheila lalu membawanya ke dalam pelukan. Dari perlakuan Bryan itu, justru menghadirkan perasaan aneh dalam hati Sheila.
Apa yang Bryan sembunyikan?
Tanpa mereka sadari, pria berwajah tampan tapi mematikan itu tengah mengintai mereka dengan senyum dan tatapan bak iblis. Ya, dia Bara Alexander Rodriguez, pria yang memiliki keinginan yang sangat kuat dan harus selalu terpenuhi.
"Lihat saja Bryan, aku tidak akan membiarkan rencanamu berjalan mulus!"
Bab 1 Tunanganmu Milikku!
11/06/2023
Bab 2 Kejutan
11/06/2023
Bab 3 Penghancur Kebahagiaan
11/06/2023
Bab 4 Gelenyar Aneh
11/06/2023
Bab 5 Terbuai Sisi Manisnya
11/06/2023
Bab 6 Kembali Padaku, Sheila!
12/06/2023
Bab 7 Tak Terkendali
12/06/2023
Bab 8 Dasar Barbar!
12/06/2023
Bab 9 Suami Idaman
12/06/2023
Bab 10 Candu
12/06/2023
Bab 11 Pertemuan
21/06/2023
Bab 12 Monster Jelek
21/06/2023
Bab 13 Bara Cemburu
21/06/2023
Bab 14 Manja
21/06/2023
Bab 15 Dalam Bahaya
21/06/2023
Bab 16 Di Ambang Kematian
22/06/2023
Bab 17 Fantasi Liar
22/06/2023
Bab 18 Milikku Seutuhnya
22/06/2023
Bab 19 Jerat Cinta
22/06/2023
Bab 20 Kebencian Sheila
22/06/2023
Bab 21 Terpana
24/06/2023
Bab 22 Musuh
24/06/2023
Bab 23 Obsesi
24/06/2023
Bab 24 Jatuh Dalam Pelukan
25/06/2023
Bab 25 Mi Amor
25/06/2023
Bab 26 Pengaruh Bryan
25/06/2023
Bab 27 Bagian Favorit
25/06/2023
Bab 28 I Love You, Barbar!
25/06/2023
Bab 29 Sensasi Berbeda
26/06/2023
Bab 30 Pria Gila
26/06/2023
Bab 31 Masa Lalu
26/06/2023
Bab 32 Godaan
27/06/2023
Bab 33 Orang Ketiga
27/06/2023
Bab 34 Luka
27/06/2023
Bab 35 Bermuka Dua
28/06/2023
Bab 36 Cinta Dan Benci
28/06/2023
Bab 37 Amarah
28/06/2023
Bab 38 Kesalahan Bara
28/06/2023
Bab 39 Rindu
28/06/2023
Bab 40 Terlanjur Basah
28/06/2023