Setelah patah hati karena kekasih yang telah dia cintai bertahun-tahun memutuskan untuk menikahi sahabatnya, Adira merasa dunia runtuh. Rasa kehilangan itu begitu dalam, membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dalam keadaan terpuruk, ia memilih untuk melampiaskan kesedihannya dengan cara yang sangat destruktif. Di sebuah bar yang remang-remang, ia bertemu dengan seorang pria, tampan, misterius, dan penuh pesona. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Kian, seorang gigolo yang selalu siap menemani wanita yang terluka. Namun, setelah berakhir dengan malam yang penuh emosi dan kesalahan, Adira merasa hancur. Pagi harinya, dia melarikan diri dari hotel tanpa meninggalkan jejak, hanya meninggalkan sejumlah uang di atas meja untuk membayar jasa pria itu. Dia merasa cemas dan merasa kotor, seolah telah kehilangan dirinya dalam pelukan seorang pria yang tak ia kenal. Namun, tak disangka, pada hari pertama mengajar sebagai dosen di kampus, Adira bertemu lagi dengan Kian. Lebih mengagetkan lagi, pria itu adalah ayah dari salah satu mahasiswanya! Dan ternyata, Kian bukan hanya seorang gigolo, tapi seorang Presiden Direktur yang memiliki kekuatan luar biasa dalam dunia bisnis. Situasi semakin rumit ketika Kian mendekatinya dengan sebuah tawaran yang tidak bisa dia tolak: sebuah sandiwara yang harus mereka jalani bersama. Sebuah permainan yang akan mengikat mereka berdua dalam sebuah kebohongan yang semakin membuat Adira terperangkap dalam pesona pria itu. Sanggupkah Adira bertahan, atau ia akan tenggelam lebih dalam dalam pesona posesif Kian yang mematikan?
Adira menatap cermin di kamar hotel yang gelap. Hujan deras yang jatuh di luar hanya menambah kesedihan yang menggerogoti hatinya. Setiap tetes air yang membentur jendela seperti mengingatkannya pada kenangan yang pahit, kenangan tentang bagaimana pria yang ia cintai bertahun-tahun, Rio, kini memilih untuk menikahi sahabatnya, Nadya. Sakitnya seperti ditusuk berkali-kali. Dunia yang dulu dia kenal, dunia yang penuh dengan harapan dan impian, kini hancur berkeping-keping.
"Kenapa aku bodoh sekali?" Adira berbisik pada dirinya sendiri, suara itu terdengar serak, hampir tenggelam oleh gemuruh hujan yang beradu dengan langit. "Kenapa aku tidak bisa lebih kuat? Kenapa aku harus menunggu sampai semuanya hancur?"
Dia melangkah mundur, berusaha menghindari bayangannya di cermin. Wajah yang masih terlihat cantik, namun penuh dengan keremangan kesedihan. Mata yang biasanya bercahaya kini tampak kosong, suram, dan jauh dari kilau yang dulu pernah ada. Pikirannya melayang kembali pada hari itu-hari ketika Rio melamarkan Nadya di depan matanya, di tempat yang dulu mereka sering kunjungi bersama, di restoran favorit mereka. Semua yang pernah dia impikan, semuanya patah dalam sekejap.
Perasaan terkhianati itu membakar dalam dirinya, membuatnya merasa kecil dan tak berharga. Bahkan cinta yang ia berikan selama bertahun-tahun tak cukup untuk mempertahankan pria itu di sisinya. Mengapa dia begitu mudah berpaling? Mengapa Nadya, sahabat yang selama ini dia percayai, bisa begitu tega?
Tangannya gemetar saat ia meraih gelas di meja sampingnya, memandang isinya yang berwarna kemerahan. Anggur. Minuman yang biasa ia nikmati bersama Rio dalam suasana santai. Tapi malam ini, tidak ada kebersamaan, hanya kesendirian yang menyesakkan. Dia merasa lelah-lelah dengan dirinya sendiri, lelah dengan perasaan yang terus-menerus membebaninya.
"Jika aku tidak bisa mendapatkan cinta itu, mungkin aku bisa melupakan semua ini, kan?" pikirnya, mencoba mencari cara untuk mengusir kesedihan yang menyesakkan.
Tanpa berpikir panjang, Adira mengenakan mantel dan keluar dari kamar hotel. Teriakan hujan yang semakin keras hanya menambah rasa kacau dalam dirinya. Dia butuh pelarian, sesaat saja, agar bisa melupakan rasa sakit ini. Agar bisa berhenti merasa begitu rapuh.
Di bar yang gelap itu, Adira duduk di sebuah meja di sudut ruangan. Ia memesan segelas anggur lagi, berharap cairan itu mampu mengalirkan kesedihannya pergi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak gelas yang kosong, semakin dalam rasa hampa itu merayapi jiwanya. Hatinya yang terluka seolah membutuhkan pelarian lebih jauh lagi-sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih liar.
Tidak ada yang mengganggu kesendiriannya sampai pria itu datang.
Kian. Namanya terdengar di telinganya seperti bisikan dari dunia yang tidak dikenalnya. Pria itu masuk dengan langkah pasti, penuh karisma, dan aura yang begitu kuat. Tidak seperti kebanyakan pria yang ada di bar itu, dia bukan hanya sekadar tampan-dia seperti sebuah kekuatan yang menahan segala perhatian. Wajahnya yang tajam, rambut hitam berkilau, serta tubuh tegap yang tampak sempurna dalam balutan jas gelap, membuatnya seolah keluar dari dunia yang berbeda.
Kian mendekat, matanya yang tajam tidak melepaskan pandangan dari Adira yang duduk sendiri, tenggelam dalam pikirannya. Tanpa berbicara, dia menarik kursi dan duduk di hadapan Adira. Ada kekuatan dalam dirinya yang begitu sulit untuk diabaikan, seperti sebuah magnet yang menariknya ke dalam dunia yang asing dan berbahaya.
"Apakah kamu sedang merayakan kesedihanmu atau sedang mencoba untuk melarikan diri?" suaranya dalam dan tenang, namun ada sedikit tantangan yang mengalir di sana.
Adira, yang sedang kebingungan dengan keberadaan pria ini, hanya bisa terdiam. "Aku tidak ingin berbicara," jawabnya pelan, berusaha untuk menjaga jarak, meskipun hatinya berdebar lebih cepat karena kehadiran pria ini.
Namun, Kian hanya tersenyum tipis, senyum yang mengisyaratkan bahwa dia tahu lebih banyak dari yang Adira perkirakan. "Kamu datang ke sini untuk melupakan sesuatu, bukan?" tanyanya, suaranya serak dengan penuh rasa ingin tahu.
Adira menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku baru saja kehilangan seseorang yang sangat penting bagiku," katanya, meskipun rasanya sulit untuk mengucapkannya. "Dan sekarang, aku merasa hancur."
Kian menatapnya dalam-dalam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari bibir Adira. Tanpa memperdulikan suasana hati Adira, ia justru lebih dekat lagi, suaranya semakin rendah dan memikat. "Jika kamu benar-benar ingin melupakan, maka izinkan aku membantumu," katanya.
Adira, yang hampir tidak bisa berpikir jernih karena campuran antara anggur dan rasa perih di hati, hanya bisa terdiam. Hatinya bergejolak. Apa yang sedang dia lakukan? Ini bukan dirinya. Ini bukan Adira yang selama ini dia kenal.
Namun, tatapan Kian begitu tajam dan menguasai. Seperti ada kekuatan di dalamnya yang mampu memengaruhi setiap langkah yang dia ambil. Dalam beberapa detik, semua rasionalitas itu lenyap, tergantikan oleh kebutuhan untuk melepaskan dirinya dari rasa sakit yang semakin mendalam.
Dia mengangguk pelan, seolah sudah tidak punya pilihan lain.
"Baiklah," jawabnya, suara itu hampir tenggelam dalam kebingungannya. "Aku... aku ingin melupakan semuanya."
Kian tersenyum, dan senyum itu-senyum yang penuh dengan kekuatan dan keinginan-membuat Adira merasakan perasaan yang aneh, sekaligus menakutkan. Senyum itu seperti peringatan, tapi juga janji akan sesuatu yang lebih besar.
Malam itu, Adira menyerahkan dirinya pada dunia yang begitu jauh dari yang ia kenal-dunia yang dipenuhi dengan pesona, godaan, dan janji yang tidak pernah dia duga akan datang.
Buku lain oleh Jumadi Jaya
Selebihnya