Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Embun berlari-lari kencang mendatangi Rumah Sakit Haji Abdoel Majdid Batoe setelah mobil Departemen Sosial Republik Indonesia yang membawanya berhenti di tempat parkir rumah sakit. Ayah angkatnya dikabarkan tertabrak mobil. Sang Tumenggung, begitu biasa ayah angkatnya di panggil, memang sudah tua dan sakit-sakitan. Makanya Embun selalu khawatir kalau akan terjadi apa-apa dengan bepaknya di tengah jalan, apabila bepaknya harus berjalan berkilo-kilo meter dari Bukit Dua belas menuju desa setempat untuk menjual sedikit hasil panen.
Embun dan semua komunitas satu sukunya biasa disebut dengan panggilan Suku Anak Dalam atau SAD. Mereka semua tinggal di kawasan Bukit 12 dan taman bukit 30 di Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun dan Batanghari. Mereka adalah suku bangsa minoritas yang hidup di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Diperkirakan populasi suku mereka semua berjumlah sekitar dua ratus ribu orang.
"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" Arjuna Wigunatra, Dokter internsip Instalasi Gawat Darurat menyapa ramah seorang gadis cantik berpenampilan etnik dan eksotis yang terlihat sedang berdiri kebingungan di depan ruang IGD.
"Pa—pagi Dokter. Saya ingin menjenguk bepak saya. Tadi kata salah seorang kerabat, bepak saya ada di IGD karena menjadi korban kecelakaan la—lalu lintas."
Embun berbicara dengan tergagap-gagap karena suaranya sudah bercampur dengan tangis yang sudah terkumpul di ujung tenggorokannya.
"Korban tabrakan lalu lintas? Apakah orang yang anda maksud adalah kepala suku primitif Suku Anak Dalam? Pak Tumenggung?"
Arjuna kaget saat gadis cantik ini mengatakan bahwa dia adalah anak dari kepala suku yang baru saja ia tolong tadi. Bagaimana mungkin gadis yang berpenampilan normal ini mempunyai seorang ayah yang wajah nya bagaikan langit dan bumi dengan gadis ini?
Kepala suku yang sedang sekarat itu berpenampilan begitu primitif dengan pakaian kusut dan banyak robeknya. Wajahnya seram dan tegang walau sedang dalam keadaan sekarat sekalipun. Kulitnya kasar, hitam dan gersang. Ia juga tidak menggunakan alas kaki dan berlumur lumpur. Bergelang dan berkalung layaknya dukun dengan rambut yang kering rapuh serta kuku jari jemari yang panjang dan hitam. Sama sekali tidak cocok dengan kulit putih bening bersih gadis ini.
"I—iya itu be-- a—ayah saya. Tolong antarkan saya padanya. Na—nama saya Embun Pagi Nauljam." Saking cemasnya, untuk mengucapkan beberapa patah kata saja Embun kesulitan.
"Saya dokter Arjuna Wigunatra. Ayo saya antarkan anda kesana." Tanpa berpikir dua kali Embun langsung saja mengikuti langkah-langkah panjang sang dokter.
"Bepakkkk!!! Bepak kenapa ini?" Embun berteriak histeris saat melihat keadaan bepaknya yang sangat menyedihkan dengan berbagai macam selang dan alat bantu pernafasan. Bepaknya yang biasa kuat dan gagah tampak begitu lemah saat ini.
Di samping bepaknya tampak dua orang laki-laki kota yang berwajah sangat mirip namun berbeda generasi. Sepertinya mereka ini adalah ayah dan anak. Tetapi untuk apa mereka berdua ada disini? Lagi pula sejak kapan bepaknya mengenal orang-orang kota yang biasanya sombong seperti mereka-mereka ini?
"Em—embun. Ayo beri sa—salam pada suami dan ayah mertua mu?" Dengan nafas tersengal-sengal perintah bepaknya tetap tidak terbantahkan.
"Apa?!!! Su—suami? Kapan Embun menikah, Bepak?!" Embun kebingungan.
"Baru saja, N—nak. Beberapa menit yang lalu bepak telah menikahkan ka—kalian. Masalah do—dokumen dan surat nikah, besok akan diurus oleh P—pak kepala de—desa. Dengar Embun, se—setelah bepak pergi, Embun akan tinggal dengan suamimu ini. Ber—bakti lah pada suami mu. B-- bepak merasa waktu bepak sudah dekat untuk menyusul indukmu di sana. Se—lamat tinggal, putri—ku."
"Bepakkkkk?!!!!!!"
Itulah saat terakhir Embun menatap sosok bepak angkatnya, sang Tumenggung. Embun memang bukanlah anak kandungnya. Konon katanya kedua orang tua Embun adalah orang asing yang sedang berwisata ke daerah Bukut 12 ini. Malang bagi nasib kedua orang tuanya. Mereka di rampok dan semua harta benda mereka dirampas penjahat. Kedua orang tuanya meninggal dan hanya dia sendiri lah yang selamat. Waktu itu Embun baru berusia sembilan tahun.
Karena tinggal sebatang kara, akhirnya sang kepala suku pun membawa Embun untuk diasuhnya didalam hutan rimba. Ia memanggilnya dengan nama Embun Pagi. Nauljam adalah nama belakang ayahnya yang sempat berbicara sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Oleh kepala desa Embun dibuatkan akta lahir dan disekolahkan. Itulah makanya Embun berbeda dengan suku anak dalam lainnya. Embun bersekolah dan mengenyam pendidikan dibanding suku anak dalam lainnya.
Embun bersekolah sampai tamat SMU tahun lalu. Karena dikampung mereka belum ada universitas, Embun tidak dapat melanjutkannya pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu universitas. Padahal Embun sangat ingin kuliah dan membantu teman-teman sekampung rimbanya di bukit dua belas. Dia sangat ingin semua anak-anak sukunya menguasai calistung dan hidup normal seperti suku-suku lainnya. Bukannya mengisolasi diri seperti sekarang ini.
"Ayo Embun kita urus pemakaman ayah mu. Menurut kepala desa ayahmu sudah memeluk agama islam bukan?"
Gilang Aditama Perkasa menyentuh lembut punggung menantu dadakannya. Tadi padi dia dan Revan, putra tunggalnya, sedang meninjau kebun teh mereka saat tiba-tiba saja salah satu mobil truk pengangkut teh mereka mengalami rem blong dan nyaris saja menabraknya.
Untung saja ada Pak Tumenggung ini yang mendorongnya kesamping sehingga dia selamat. Tetapi malangnya malah bapak tua inilah yang sekarat.
Dan sebagai permintaan terakhir sang kepala suku adalah, Gilang harus menikahi putri angkat nya, karena apabila dia meninggal dunia, maka tidak ada lagi orang yang bisa menjaganya. Gilang sudah punya istri, mana mungkin dia berpoligami dengan gadis yang bahkan usianya nyaris separuh dari usia putranya sendiri. Oleh karena itulah dia memaksa Revan untuk menikahi Embun.
Walaupun pada mulanya putranya itu menolak mentah-mentah usulnya, tetapi begitu mengetahui jika dia tidak menikahi Embun, maka ayahnya lah yang akan menikahinya, Revan pun akhirnya menyerah. Dia tidak mungkin menyakiti hati ibunya yang begitu mencintai ayahnya. Begitu pun sebaliknya. Maka terpaksalah dia yang mengalah. Menikahi gadis primitif Suku Anak Dalam yang tidak berpendidikan ini.
"Sejak tahun 2017, ada sekitar 181 warga suku kami yang sudah memeluk agama resmi. Baik itu Islam mau pun Nasrani. Prosesi pengucapan dua kalimat syahadat tersebut dipimpin langsung oleh Bapak walikota jambi. Sampai saat ini kami masih mendapat bimbingan dan pendampingan agama dari pemuka tokoh masyarakat setempat, Pak. Kalau saya boleh tahu, ada sebenarnya yang telah terjadi dengan bepak saya? Mengapa bepak saya bisa tertabrak mobil."
Tanya Embun bingung. Setahunya bepaknya tadi pamit karena ingin menjual jagung hasil panennya. Gilang Aditama menghela nafas panjang. Ia sangat merasa bersalah telah menyebabkan kematian orang lain walaupun itu bukanlah kemauannya. Tetapi tetap saja, semua itu terjadi karena andil dirinya.
"Ayah kamu tadi menolong saya yang hampir saja tertabrak truk karena remnya blong. Tapi akibat ya, seperti ini. Ayahmu menikahkan kamu dengan anak saya agar kamu ada yang menjaga dan melindungi kamu, Embun. Saya minta maaf ya? Tapi saya berjanji mulai hari ini Revan, suami kamu yang akan menjaga dan melindungi kamu menggantikan ayahmu. Mengerti Embun?" Bujuk Gilang. Embun tahu, jodoh, maut, rezeki memang Tuhanlah yang sudah mengaturnya. Ia tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Hanya saja, ia sangat sedih harus kehilangan bepaknya dengan cara yang setragis ini. Air matanya rasanya tidak bisa berhenti mengalir karena sedih.
"Kamu jangan menangis terus country girl. Berisik banget tahu! Apakah kamu tahu, kalau semua yang hidup pasti akan mati juga pada akhirnya. Cuma waktunya saja yang kita tidak tahu kapan terjadinya. Mengerti kamu? Sekarang tutup mulut besarmu itu. Diam?!!"
Revan memelototi Embun. Embun yang melihat Revan merasa terganggu pun berusaha untuk membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara. Tetapi air matanya malah semakin deras mengalir. Dalam diam ia mengikuti langkah kaki Gilang dan Revan serta petugas rumah sakit yang saat ini sedang mendorong brankar bepaknya menuju keruang jenazah. Mereka sedang menunggu Surat Keterangan Kematian yang sedang di lakukan oleh dokter SMF Forensik dan juga mobil ambulance yang akan membawa jenazah pulang untuk dimakamkan.
Sepanjang proses pengurusan resmi surat-surat yang dibutuhkan untuk membawa pulang jenazah, Embun terus menerus menangis. Dada sekalnya yang cuma ditutupi oleh kemben merah sejengkal tampak berombak-ombak menahan sedu-sedannya. Embun tidak tahu kalau semua laki-laki yang saat ini ada di ruang jenazah mulai menatapinya dengan mulut berliur. Termasuk juga dengan dokter Arjuna Wigunatra, Dokter SMF Forensik dan juga dua prtugas bagian jenazah rumah sakit. Mereka semua tampak kesulitan untuk mengalihkan pandangannya dari tubuh sekal Embun. Dan Revan menyadari semua itu. Tanpa banyak bicara dia segera melepaskan jas mahalnya dan memakaikannya dengan cepat ke tubuh Embun.
"Kenapa baju pengusahanya di pakaikan pada saya? Abang kepanasan?"
Embun bingung saat Revan memakaikan jas yang disebut Embun dengan baju pengusaha itu ke tubuhnya.