Lina, seorang wanita yang menikah bahagia selama 10 tahun, merasa suaminya, Ardi, mulai menjauh. Ketika ia bertemu dengan Ivan, teman masa kecilnya, api lama menyala kembali. Lina dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan dalam pernikahan yang mulai dingin atau mengikuti hatinya yang kini bergejolak pada Ivan.
Malam itu, Lina duduk di teras belakang rumahnya, ditemani angin sepoi-sepoi yang menyentuh lembut wajahnya. Langit berhiaskan bintang, namun hatinya terasa kosong, seperti ada ruang yang hilang dari dalam dirinya. Sudah sepuluh tahun ia menikah dengan Ardi, lelaki yang dulu selalu bisa membuatnya tertawa, lelaki yang dulu ia yakini sebagai pelabuhan hatinya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda.
Lina mengingat kembali awal pernikahan mereka. Di tahun-tahun pertama, setiap hari bersama Ardi terasa seperti petualangan baru. Tawa mereka selalu menghiasi rumah, dan Ardi selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. "Kamu satu-satunya," kata-kata Ardi yang dulu sering terucap masih bergema dalam ingatan Lina. Tetapi, perlahan-lahan, seiring berjalannya waktu, kehangatan itu memudar.
Belakangan ini, Ardi semakin sering pulang larut malam. Sibuk, katanya. Pekerjaan menuntutnya lebih banyak waktu di kantor. Pada awalnya, Lina mengerti. Setiap kali Ardi berkata sibuk, ia selalu berpikir bahwa ini hanyalah fase yang akan berlalu. Tapi setelah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, Lina mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
Dia mencoba mencari celah, momen di mana mereka bisa bicara, mengembalikan keintiman yang hilang. Namun, setiap kali ia membuka percakapan, Ardi selalu terburu-buru mengakhiri, mengatakan bahwa dia lelah dan hanya ingin beristirahat. Begitu banyak pertanyaan yang terpendam di benak Lina, tapi setiap kali ia mencoba mengungkapkannya, ia merasa suaminya semakin menjauh.
Lina menarik napas panjang, matanya menerawang jauh ke arah bintang-bintang. "Kapan terakhir kali kita duduk bersama, hanya berbicara?" tanyanya pada diri sendiri. Rasa sepi mulai merasuk lebih dalam, menggantikan semua kenangan manis yang dulu mereka miliki. Hubungan mereka berubah menjadi rutinitas yang hambar, seperti sepasang asing yang tinggal di bawah satu atap.
Pernikahan yang dulu penuh gairah dan cinta kini terasa seperti kewajiban, sebuah kontrak yang harus dijalani, meski hatinya mulai merasa hampa. Meski ia masih mencintai Ardi, ia tak bisa memungkiri bahwa hatinya terasa kosong. Ada jarak yang perlahan tercipta di antara mereka, jarak yang semakin hari semakin sulit dijangkau. Dan yang paling menyakitkan, ia tak tahu bagaimana cara menghapus jarak itu.
Lina menatap ponselnya, berharap ada pesan dari Ardi. Tidak ada. Sudah lewat tengah malam dan suaminya belum pulang. Lagi-lagi alasan sibuk menjadi tameng untuk setiap kepergian Ardi. Perlahan, Lina mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahan mereka? Apakah ini benar-benar soal pekerjaan, atau ada sesuatu yang lain?
Dalam hatinya, ada perasaan takut yang mengendap. Takut bahwa cinta yang dulu menyatukan mereka kini perlahan memudar tanpa ia sadari. Takut bahwa mungkin, Ardi tak lagi mencintainya seperti dulu. Tapi, ia menolak menyerah. Di balik semua keraguan dan rasa sepi, Lina masih berharap. Masih ada sedikit keyakinan dalam dirinya bahwa cinta mereka belum sepenuhnya hilang-atau setidaknya, itulah yang terus ia yakini setiap malam ketika ia sendirian, menunggu suaminya pulang.
Lina menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa resah yang menghantuinya. Matanya tak lepas dari layar ponsel, berharap pesan atau panggilan dari Ardi, meski ia tahu bahwa harapan itu akan berakhir sia-sia. Di teras yang sunyi, hanya desiran angin yang menjadi temannya. Ia mengusap lengannya yang terasa dingin, bukan karena cuaca, tapi karena kesepian yang kian menyelimuti hatinya.
Tiba-tiba, suara pintu pagar berderit. Ardi baru saja tiba. Lina memutar kepalanya ke arah suara itu. Detik berikutnya, Ardi muncul di pintu, wajahnya lelah, matanya terlihat sedikit sayu. Tanpa banyak bicara, ia langsung masuk ke dalam rumah, seolah tidak menyadari kehadiran Lina yang duduk di sana.
"Ardi," panggil Lina pelan, mencoba memecah keheningan.
Ardi berhenti sejenak, menoleh dengan mata setengah terpejam. "Hmm?"
"Kamu baru pulang?" tanya Lina, meskipun pertanyaan itu terasa sia-sia. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ardi hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia melepas jas kerjanya dan meletakkannya di kursi terdekat. Ada jeda hening yang menggantung di udara, dan Lina merasa perih. Dulu, setiap kali Ardi pulang, mereka akan berbicara, saling bertanya tentang hari mereka. Tapi sekarang, semuanya berubah.
"Kamu sibuk sekali belakangan ini. Apa ada masalah di kantor?" Lina berusaha mencairkan suasana.
Ardi menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, banyak proyek yang harus diselesaikan. Maaf, aku nggak sempat ngabarin kamu."
Lina terdiam sejenak, menatap suaminya yang terlihat begitu jauh meskipun berdiri hanya beberapa langkah di depannya. "Kita jarang ngobrol sekarang, Ardi. Aku merasa... kita mulai menjauh."
Ardi menundukkan kepala, seperti mencoba menghindari tatapan Lina. "Aku lelah, Lin. Mungkin kita bisa bicara nanti? Aku cuma ingin istirahat sekarang."
Jawaban itu membuat hati Lina mencelos. Ini bukan pertama kalinya Ardi menghindar seperti ini. "Kamu selalu bilang begitu," katanya pelan, nadanya hampir putus asa. "Kapan kita akan benar-benar bicara? Rasanya aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di hidupmu, di hidup kita."
Ardi menegakkan punggungnya, menatap Lina dengan pandangan yang sulit diartikan. "Apa lagi yang mau dibicarakan? Aku kerja keras untuk kita. Semua ini demi kamu, demi masa depan kita."
"Tapi aku nggak butuh kamu hanya sebagai penyedia materi, Ardi," kata Lina, suaranya mulai gemetar. "Aku butuh kamu di sini, bersamaku. Kamu tahu rasanya nggak pernah tahu kapan kamu pulang, nggak pernah ada waktu untuk kita lagi? Seolah-olah... seolah-olah kamu menjauh."
Ardi menghela napas, wajahnya terlihat semakin tertekan. "Aku capek, Lina. Aku nggak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Apa kamu nggak bisa mengerti?"
Lina menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai membayang di sudut matanya. "Aku mengerti kamu capek, Ardi. Tapi apa kamu mengerti aku? Apa kamu tahu seberapa kesepian aku selama ini?"
Ardi terdiam. Suasana sunyi kembali menguasai mereka berdua. Hanya terdengar bunyi jam dinding yang berdetak, seolah menghitung mundur hubungan mereka yang perlahan memudar.
"Aku cuma butuh waktu," akhirnya Ardi berkata, suaranya rendah. "Semua ini akan beres begitu pekerjaan di kantor selesai."
"Tapi sampai kapan, Ardi? Sampai kapan aku harus menunggu? Sampai kapan aku harus bertahan dengan perasaan seperti ini?" Lina tak bisa lagi menahan emosinya. Rasa kesepian yang ia pendam selama ini akhirnya tumpah dalam bentuk air mata.
Ardi menatap Lina, terlihat sedikit bingung dan tak tahu harus berbuat apa. "Lina... aku nggak tahu," jawabnya lirih. "Aku nggak punya jawabannya sekarang."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ardi berbalik dan berjalan menuju kamar mereka. Pintu kamar tertutup dengan suara yang berat, meninggalkan Lina sendirian di teras, dengan air mata yang akhirnya tak bisa ia bendung lagi.
Lina duduk terdiam di teras setelah pintu kamar tertutup. Isak tangisnya semakin keras terdengar di keheningan malam. Ia tidak pernah menyangka bahwa sepuluh tahun pernikahannya bisa berubah menjadi seperti ini-dingin, penuh jarak, dan tanpa arah.
Sudah berapa lama ia merasa seperti ini? Bulan demi bulan berlalu dengan kesepian yang semakin menyesakkan. Setiap hari, ia menanti Ardi pulang, berharap suaminya akan duduk bersamanya, bercerita tentang pekerjaannya, atau sekadar bertanya tentang hari-harinya. Tapi yang ia dapat hanyalah keheningan, sebuah rutinitas tanpa kehangatan.
Lina menyeka air matanya, berusaha menenangkan diri. Ia menatap ke depan, ke taman kecil di belakang rumah mereka, taman yang dulu mereka rawat bersama. Kini, tanaman-tanaman itu tumbuh liar, dibiarkan begitu saja seperti pernikahan mereka yang tak lagi dipedulikan.
Setiap sudut rumah ini menyimpan kenangan. Ia masih ingat betapa bahagianya mereka saat pertama kali pindah ke rumah ini, saat segala sesuatu terasa seperti mimpi indah yang tak akan pernah berakhir. Tapi sekarang, semua terasa seperti bayangan masa lalu yang hampir tak bisa lagi diraih.
Seketika, telepon Lina berbunyi, menggetarkan meja kecil di sebelahnya. Ia meraih ponsel dan melihat nama di layar-**Ivan**. Sebuah nama yang baru saja muncul kembali dalam hidupnya, membawa perasaan yang dulu ia pikir telah terkubur dalam.
Lina ragu sejenak. Apa yang harus ia lakukan? Mengangkat telepon ini, atau membiarkannya berdering? Dengan tangan gemetar, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau.
"Halo?" suara Ivan terdengar di seberang sana, lembut namun terdengar jelas. "Lina, kamu baik-baik saja?"
Lina terdiam beberapa detik, berusaha menata suaranya yang masih terdengar bergetar. "Aku... aku nggak tahu, Ivan. Aku nggak yakin apa yang sedang terjadi dalam hidupku sekarang."
"Kenapa? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya waktu kita ketemu kemarin," jawab Ivan, nadanya penuh perhatian. "Ada yang mau kamu ceritakan?"
Lina terdiam lagi, terperangkap dalam kebingungan yang ia rasakan. Haruskah ia menceritakan segalanya pada Ivan? Tentang pernikahannya yang semakin memburuk, tentang perasaannya yang makin tak terarah? Ivan bukan orang asing. Mereka pernah dekat, pernah memiliki hubungan emosional yang kuat di masa lalu, dan sekarang perasaan itu seolah kembali mengapung ke permukaan. Tapi apakah bijaksana untuk membuka semuanya kepadanya?
"Aku... aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku sekarang. Ardi, dia-dia bukan lagi orang yang sama. Kami jarang berbicara, dan aku merasa sangat kesepian," akhirnya Lina berujar pelan, suaranya bergetar.
Di ujung telepon, Ivan mendengarkan dengan tenang. "Lina, aku selalu ada kalau kamu butuh seseorang untuk bicara. Aku tahu rasanya berada di posisi seperti itu. Kamu nggak sendirian."
Kata-kata Ivan menembus dinding kesepian yang telah lama mengungkung Lina. "Terima kasih, Ivan. Aku... aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya berat sekali."
"Kadang, yang kita butuhkan hanya seseorang untuk mendengarkan. Kalau kamu ingin cerita lebih banyak, aku ada di sini," Ivan menawarkan dengan lembut.
Lina terdiam, merasakan perasaan yang sudah lama terkubur mulai bangkit perlahan-lahan. Kehangatan dalam suara Ivan membuatnya merasa lebih nyaman, lebih didengar, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan dari Ardi. Namun, bersamaan dengan itu, muncul rasa bersalah di hatinya.
"Aku nggak tahu harus bagaimana, Ivan," kata Lina, suaranya berbisik, hampir tak terdengar. "Aku nggak mau kehilangan pernikahan ini, tapi aku juga nggak tahu lagi harus bagaimana menyelamatkannya."
"Lina, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Terkadang, kita harus memberi ruang pada diri kita untuk merasakan, untuk merenung, sebelum kita bisa mengambil langkah berikutnya," kata Ivan dengan nada yang penuh pengertian.
Lina mengangguk pelan, meski tahu Ivan tak bisa melihatnya. Ada sesuatu dalam kata-kata Ivan yang menenangkan hatinya. Mungkin benar, ia perlu waktu untuk memahami apa yang ia rasakan, untuk memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan. Tapi di satu sisi, kehadiran Ivan kembali dalam hidupnya justru menambah lapisan kebingungan baru.
"Terima kasih, Ivan. Aku... aku akan mencoba," kata Lina akhirnya, berusaha menutup percakapan sebelum hatinya semakin terikat.
"Jangan ragu untuk hubungi aku kapanpun kamu butuh, ya?" kata Ivan sebelum menutup telepon.
Lina menatap ponselnya setelah percakapan selesai. Perasaannya campur aduk-antara rasa lega karena ada seseorang yang mendengarkannya, dan rasa bersalah karena perasaannya terhadap Ivan mulai tumbuh kembali. Malam itu, Lina merasa lebih terombang-ambing dari sebelumnya. Ada dua hati yang kini menariknya ke arah yang berbeda, dan ia masih belum tahu hati mana yang harus ia pilih.
Bersambung...
Buku lain oleh Nagareboshi
Selebihnya