Sari, seorang wanita karier sukses, memiliki kehidupan pernikahan yang tampaknya sempurna. Namun, ketika ia mulai jatuh cinta pada koleganya, Fajar, rahasia kelam suaminya terungkap. Ternyata, suaminya juga berselingkuh. Dalam keputusasaan, Sari harus memutuskan apakah ia ingin menyelamatkan pernikahan atau meraih kebahagiaan dengan Fajar.
Sari menatap bayangannya di cermin besar di kamarnya, mengenakan setelan kerja yang rapi dan sempurna seperti biasanya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun matanya memancarkan kebingungan yang sulit ia jelaskan. Ia adalah seorang wanita karier sukses, kepala departemen pemasaran di perusahaan besar yang prestasinya sering menjadi inspirasi bagi banyak orang. Di luar, hidupnya terlihat sempurna. Pekerjaannya stabil, gajinya besar, dan ia memiliki suami yang tampaknya ideal-Bima, seorang pengusaha muda yang juga sukses.
Tapi di balik itu semua, ada kekosongan yang perlahan-lahan merayap dalam hidupnya. Sesuatu yang dulu terasa hangat dan penuh cinta kini terasa dingin dan jauh. Bima, yang dulu selalu ada untuk mendukungnya, kini sering pulang larut malam dengan alasan pekerjaan. Obrolan ringan mereka di meja makan semakin jarang terjadi, dan ketika ada, sering kali hanya berupa percakapan singkat yang penuh basa-basi.
Sari mencoba mengingat kapan terakhir kali mereka tertawa bersama, berbagi cerita tanpa ada rasa terburu-buru atau formalitas. Mungkin itu terjadi beberapa bulan yang lalu, atau bahkan setahun. Ia tidak ingat lagi. Kehidupan pernikahannya yang dulu penuh gairah kini terasa seperti rutinitas yang membosankan, seperti robot yang berfungsi tanpa emosi.
Suatu malam, ketika Sari sedang duduk di ruang tamu sambil menyesap teh hangat, Bima pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat lelah, dan tanpa banyak bicara, ia hanya memberi Sari ciuman singkat di pipi sebelum langsung masuk ke kamar. Sari memandang punggung suaminya yang menjauh, merasakan jarak di antara mereka yang seolah semakin lebar.
"Apa yang salah?" gumam Sari pada dirinya sendiri. Apakah kesibukan pekerjaan telah membuat mereka melupakan satu sama lain? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum ia ketahui?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya. Sari mencoba mengabaikannya dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, semakin ia mencoba sibuk, semakin terasa kekosongan itu, seperti ruang hampa yang terus meluas di dalam dirinya.
Di kantor, Sari dikenal sebagai sosok yang tangguh dan berdedikasi. Tapi di rumah, ia hanyalah seorang wanita yang mencoba memahami mengapa pernikahannya yang tampak sempurna di luar, kini terasa hampa di dalam. Hari-hari berlalu dengan pola yang sama-berangkat pagi, pulang malam, dan hampir tidak ada interaksi berarti dengan Bima. Dan setiap kali ia melihat cincin di jari manisnya, Sari bertanya-tanya apakah cincin itu masih melambangkan cinta, atau hanya menjadi simbol dari komitmen yang hampa.
Kehidupan yang terlihat sempurna ini, pikir Sari, mungkin tidak seindah yang terlihat.
Malam itu, setelah Bima masuk ke kamar tanpa banyak bicara, Sari tetap duduk di sofa ruang tamu, mengaduk teh yang sudah mulai dingin. Keheningan rumah mereka semakin terasa, seakan-akan dinding pun tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Perlahan-lahan, Sari memutuskan untuk berbicara. Dia tahu tidak bisa lagi menunda pertanyaan yang terus menghantuinya. Ia berjalan ke kamar, menemukan Bima yang sudah bersiap untuk tidur.
"Bim, kita perlu bicara," suara Sari terdengar tenang, namun ada kekhawatiran yang terselip di sana.
Bima menghela napas panjang sebelum menoleh, "Sekarang? Aku capek, Sar. Bisa nanti aja?"
"Nggak, aku rasa kita nggak bisa terus menunda ini. Ada yang perlu kita bicarakan."
Bima duduk di tepi ranjang, sedikit mengusap wajahnya, jelas terlihat lelah. "Oke. Apa yang mau kamu omongin?"
Sari berdiri di depan suaminya, menatap matanya, mencoba mencari jawaban yang mungkin sudah ada di sana. "Kamu merasa nggak, kalau hubungan kita udah nggak seperti dulu lagi?"
Bima terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Sar, kita sama-sama sibuk. Kamu dengan pekerjaan kamu, aku juga dengan bisnisku. Wajar kalau ada masa-masa di mana kita merasa jauh."
"Tapi ini lebih dari sekadar sibuk, Bim. Aku merasa kita seperti orang asing di rumah kita sendiri. Kita jarang ngobrol, bahkan jarang ketawa bareng. Kamu juga sering pulang larut, kadang nggak ngasih tahu dulu," Sari mendesah, suaranya mulai bergetar.
Bima berdiri, mendekati Sari dan menempatkan tangannya di bahunya. "Sar, kamu tahu aku nggak sengaja. Semua ini karena pekerjaan, aku harus memastikan semuanya berjalan lancar. Aku lakuin ini buat kita, buat masa depan kita."
"Tapi apa gunanya kalau masa depan kita nggak ada kalau begini terus?" balas Sari, kali ini dengan nada yang lebih tajam. "Aku cuma merasa... kita kehilangan sesuatu, Bim. Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku juga nggak tahu harus gimana lagi."
Bima menarik napas panjang, pandangannya menerawang. "Kamu nggak kehilangan aku, Sar. Aku masih di sini."
"Fisik kamu ada di sini, tapi hati kamu? Aku nggak tahu, Bim. Kamu tahu kan, hubungan nggak cuma tentang ada di rumah setiap malam. Ini tentang perasaan, tentang berbagi, tentang saling ada satu sama lain," Sari menatap Bima dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu masih mencintai aku?"
Bima terdiam lagi, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari jawaban di dinding kamar yang kosong. "Sar, aku nggak tahu harus jawab apa. Aku... aku lelah. Mungkin kita butuh waktu buat diri kita masing-masing."
Jawaban itu membuat hati Sari terasa teriris. Kata-kata Bima terdengar samar di telinganya, seperti palu yang memukul harapan terakhirnya. Ia mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya.
"Baiklah," ucap Sari dengan suara serak. "Kalau itu yang kamu mau."
Bima menunduk, terlihat bersalah. "Aku nggak bilang aku mau ini, tapi mungkin ini yang terbaik buat kita untuk sementara."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sari keluar dari kamar, meninggalkan Bima sendirian. Di ruang tamu, ia duduk kembali di sofa, memandangi cangkir tehnya yang sudah dingin. Hatinya terasa beku seperti minuman yang ada di hadapannya. Bagaimana bisa pernikahan yang dulu penuh cinta berubah menjadi sekosong ini?
Sari meraih ponselnya, sejenak melihat ke daftar kontak. Di antara nama-nama itu, ada satu yang tak sengaja terpikirkan-**Fajar**. Dia adalah rekan kerjanya yang belakangan ini sering menjadi teman curhat. Fajar selalu mendengarkan, selalu membuatnya merasa didengar dan dimengerti, sesuatu yang semakin jarang ia dapatkan dari Bima.
Namun, Sari cepat-cepat mengabaikan pikirannya. Ini bukan saat yang tepat. Dia masih harus memikirkan perasaannya, tentang Bima, tentang pernikahannya. Ia belum siap untuk melangkah ke arah yang salah.
Malam itu, Sari tidur di sofa, merenungkan kehidupan yang selama ini terlihat sempurna, namun sebenarnya penuh dengan retakan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Sari terbangun dengan rasa pegal di seluruh tubuhnya. Tidur di sofa bukanlah ide yang baik, tetapi ia tak sanggup kembali ke kamar semalam setelah percakapannya dengan Bima. Ia mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk yang masih tersisa, sementara pikirannya kembali dihantui oleh percakapan semalam.
Bima sudah pergi sebelum matahari terbit. Hal ini sudah sering terjadi akhir-akhir ini-Bima meninggalkan rumah pagi-pagi sekali tanpa sempat berpamitan. Mungkin karena ia tahu percakapan tadi malam masih tergantung di udara. Mungkin ia sengaja menghindarinya.
Dengan berat hati, Sari bangkit dan memutuskan untuk memulai harinya. Ia tahu ia harus fokus bekerja, walau hatinya masih terasa hampa. Setibanya di kantor, suasana hiruk pikuk rekan-rekannya menyambutnya. Rutinitas yang sibuk biasanya menjadi pelariannya dari masalah rumah tangga. Namun, kali ini, pikiran tentang Bima terus saja mengganggunya.
Ketika ia sedang menyelesaikan laporan untuk presentasi siang itu, sebuah suara yang familiar memecah lamunannya.
"Hey, Sar. Kamu baik-baik aja?" suara itu datang dari Fajar, rekan kerjanya yang sudah beberapa bulan ini menjadi teman bicara yang akrab.
Sari menoleh dan tersenyum tipis. "Ya, cuma... banyak pikiran aja."
Fajar mengangguk, tampak mengerti tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. "Aku bisa lihat dari wajah kamu. Kalau mau cerita, kamu tahu di mana aku."
"Terima kasih, Fajar. Aku cuma... aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Fajar duduk di kursi di seberang meja Sari, menatapnya dengan tatapan yang penuh perhatian. "Mulailah dari apa yang kamu rasakan. Kadang, dengan mengatakannya, kita bisa menemukan cara untuk memahaminya."
Sari menghela napas panjang. Ada sesuatu tentang Fajar yang membuatnya merasa aman, seolah-olah ia bisa jujur tanpa takut dihakimi. Ia menatap mata Fajar yang teduh, merasakan sedikit kelegaan meski hanya dari keberadaannya.
"Hubungan aku sama Bima... rasanya makin jauh. Kami jarang bicara, bahkan kalau bicara pun nggak pernah benar-benar tentang perasaan kami. Semalam aku coba ngomong, tapi hasilnya malah... ya, begitulah," Sari menunduk, merasa malu mengungkapkan kelemahannya.
Fajar menatapnya dengan penuh empati. "Hubungan memang nggak selalu mudah, Sar. Tapi kalau kamu merasa seperti ini, kamu berhak untuk mengungkapkan perasaanmu. Kalian berdua perlu saling mengerti, atau setidaknya mencoba."
"Aku udah coba, tapi Bima sepertinya... nggak peduli lagi," ucap Sari lirih, suara gemetar.
"Kadang kita butuh lebih dari sekadar bicara, Sar. Mungkin butuh waktu. Tapi ingat, kamu nggak sendirian. Aku di sini kalau kamu butuh tempat untuk cerita."
Sari tersenyum tipis, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Fajar. Kamu selalu tahu cara bikin aku merasa lebih baik."
Fajar tersenyum, lalu bangkit dari kursinya. "Kalau kamu butuh break, ajak aku ya. Aku juga butuh kopi."
Setelah Fajar pergi, Sari duduk kembali dan merenung. Dia tidak pernah menyangka bahwa percakapannya dengan Fajar bisa memberi sedikit kedamaian di tengah kekacauan perasaannya. Meskipun ia tahu betul bahwa perasaannya terhadap Fajar mulai berubah, ia masih mencoba membatasi diri. Ia tidak ingin melibatkan dirinya dalam situasi yang lebih rumit daripada yang sudah ada.
Namun, saat jam makan siang tiba, Fajar menepati janjinya. Dia mengajak Sari ke kafe terdekat, memberi ruang bagi Sari untuk melupakan masalahnya sejenak. Mereka tertawa dan berbagi cerita, meski ada sesuatu yang tidak bisa dihindari-perasaan hangat yang perlahan tumbuh setiap kali Sari berada di dekat Fajar.
Ketika mereka kembali ke kantor, Sari merasa sedikit lebih baik, meskipun masalahnya belum terselesaikan. Tapi di balik senyumnya, ia mulai merasakan sesuatu yang lebih berbahaya-perasaan yang ia tahu tidak seharusnya ia rasakan.
Dalam perjalanan pulang, pikiran Sari kembali ke Bima. Apakah mungkin perasaan mereka akan kembali seperti dulu? Atau apakah pernikahan ini sudah tak bisa lagi diperbaiki? Di sisi lain, ada Fajar, yang tanpa sadar mengisi kekosongan yang ditinggalkan Bima.
Di tengah malam, saat ia berbaring sendirian di kamar tidur yang sunyi, Sari memandangi cincin di jarinya. Cincin yang dulu menjadi simbol cinta dan janji, kini terasa seperti beban. Sari bertanya-tanya, berapa lama lagi ia bisa mempertahankan kehidupan yang tampak sempurna ini, sebelum akhirnya semuanya hancur?
Bersambung...
Buku lain oleh Nagareboshi
Selebihnya