RAHASIA DI BALIK CINCIN
rkan kebingungan yang sulit ia jelaskan. Ia adalah seorang wanita karier sukses, kepala departemen pemasaran di perusahaan besar yang prestasinya sering menjadi inspirasi bagi
i terasa dingin dan jauh. Bima, yang dulu selalu ada untuk mendukungnya, kini sering pulang larut malam dengan alasan pekerjaan. Obrola
rmalitas. Mungkin itu terjadi beberapa bulan yang lalu, atau bahkan setahun. Ia tidak ingat lagi. Kehidupan pernikaha
. Wajahnya terlihat lelah, dan tanpa banyak bicara, ia hanya memberi Sari ciuman singkat di pipi sebelum langsung mas
kan pekerjaan telah membuat mereka melupakan satu sama lain? Ata
an menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, semakin ia mencoba sibuk, semaki
empurna di luar, kini terasa hampa di dalam. Hari-hari berlalu dengan pola yang sama-berangkat pagi, pulang malam, dan hampir tidak ada interaksi berarti dengan Bima.
urna ini, pikir Sari, mungki
ingan rumah mereka semakin terasa, seakan-akan dinding pun tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Perlahan-lahan, Sari memutuskan untuk berbicar
ari terdengar tenang, namun ada k
ebelum menoleh, "Sekarang? Ak
bisa terus menunda ini. Ad
mengusap wajahnya, jelas terlihat le
encari jawaban yang mungkin sudah ada di sana. "Kamu meras
kita sama-sama sibuk. Kamu dengan pekerjaan kamu, aku juga deng
h kita sendiri. Kita jarang ngobrol, bahkan jarang ketawa bareng. Kamu juga sering p
mu tahu aku nggak sengaja. Semua ini karena pekerjaan, aku harus memastikan
kali ini dengan nada yang lebih tajam. "Aku cuma merasa... kita kehilangan sesuat
annya menerawang. "Kamu nggak kehil
tentang ada di rumah setiap malam. Ini tentang perasaan, tentang berbagi, tentang saling ada sa
seolah mencari jawaban di dinding kamar yang kosong. "Sar, aku nggak tahu harus ja
amar di telinganya, seperti palu yang memukul harapan terakhirnya. Ia me
engan suara serak. "Ka
ggak bilang aku mau ini, tapi mungkin in
duk kembali di sofa, memandangi cangkir tehnya yang sudah dingin. Hatinya terasa beku seperti minuman
pikirkan-**Fajar**. Dia adalah rekan kerjanya yang belakangan ini sering menjadi teman curhat. Fajar selalu men
tepat. Dia masih harus memikirkan perasaannya, tentang Bima, tenta
ng selama ini terlihat sempurna, namun sebenarnya penuh
tak sanggup kembali ke kamar semalam setelah percakapannya dengan Bima. Ia mengusap wajahnya, mencoba
-Bima meninggalkan rumah pagi-pagi sekali tanpa sempat berpamitan. Mungkin karena ia t
masih terasa hampa. Setibanya di kantor, suasana hiruk pikuk rekan-rekannya menyambutnya. Rutinitas yang sibuk bia
n untuk presentasi siang itu, sebuah
ng dari Fajar, rekan kerjanya yang sudah beber
nyum tipis. "Ya, cuma.
njelasan lebih lanjut. "Aku bisa lihat dari waja
u cuma... aku nggak tahu
n yang penuh perhatian. "Mulailah dari apa yang kamu rasakan. Kadang
asa aman, seolah-olah ia bisa jujur tanpa takut dihakimi. Ia menatap mata
pun nggak pernah benar-benar tentang perasaan kami. Semalam aku coba ngomong, tapi ha
Sar. Tapi kalau kamu merasa seperti ini, kamu berhak untuk mengungkapkan
rtinya... nggak peduli lagi,"ungkin butuh waktu. Tapi ingat, kamu nggak sendirian
ega. "Terima kasih, Fajar. Kamu selalu
kursinya. "Kalau kamu butuh break
eri sedikit kedamaian di tengah kekacauan perasaannya. Meskipun ia tahu betul bahwa perasaannya terhadap Fajar mulai beruba
ruang bagi Sari untuk melupakan masalahnya sejenak. Mereka tertawa dan berbagi cerita, meski ada sesuat
salahnya belum terselesaikan. Tapi di balik senyumnya, ia mulai merasakan se
akan kembali seperti dulu? Atau apakah pernikahan ini sudah tak bisa lagi diperbaiki
a. Cincin yang dulu menjadi simbol cinta dan janji, kini terasa seperti beban. Sari bertanya-tanya, bera
ambu