Seorang wanita panggilan dengan CEO apakah bisa bersatu? Apakah cinta akan menguatkanku untuk menghadapi semua penilaian orang lain terhadapku? Aku sadar akan status kita yang sangat berbeda jauh. Kita yang saling mencintai namun tidak dengan dunia kita.
"Mami, hari ini jadwal aku libur ya?" Tanyaku kepada seorang wanita yang sedang dduk di sofa sambil melihat handphonenya.
"Mami janji kan kasih aku libur sehari?" tanyaku lagi dengan nada membujuk.
"Baiklah, terserah kamu. Tapi kamu tahu kan kedua bodyguard Mami akan mengawasi kamu?" wanita itu bertanya untuk memastikan dan dengan nada sedikit mengancam.
"Gak masalah. Yang penting Mami ijinin aku libur nanti malam juga," aku berusaha membujuknya dengan tatapan yang merayu.
"Tapi walaupun libur kamu harus tetap datang oke? Mami udah banyak menolak tawaran, kamu tahu?" Mami menjawabnya dengan nada enggan yang sangat terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Siap Mam, makasih Mami," kataku sambil memeluknya yang berusaha bersikap manis lalu pergi meninggalkan wanita itu.
Wanita tadi bukanlah ibu kandungku meskipun aku memanggilnya Mami. Walaupun, ibu kandungku tidak terlalu jauh berbeda dengannya.
Tapi setidaknya dia membiarkan aku tinggal dan bisa menjalani hidupku disini. Meskipun aku harus bekerja sebagai gantinya.
Aku bekerja di sebuah rumah bordil atau bisa dikatakan aku seorang wanita penghibur. Dan wanita yang aku panggil Mami itu adalah pemilik tempat bordir tempat aku bekerja Ini.
Walaupun aku selalu berusaha bersikap manis kepadanya. Namun, itu hanya pengalihan agar dia percaya padaku. Aku sedang mengumpulkan upaya untuk menghancurkannya.
Dendamku kepadanya dan orang-orang yang telah membuangku, tidak akan pernah aku lupakan.
"Yeeeei... akhirnya aku bisa bebas hari ini!" teriakku kegirangan saat sudah berada di dalam kamar.
Dari sekian lama aku bekerja, sangat sulit untukku mendapatkan hari libur. Mami akan terus memaksaku melayani pelanggannya, kecuali ketika aku sedang sakit atau ketika penyakitku kambuh.
"Aku akan memanfaatkan hari ini sebaik mungkin. Sudah sangat lama sejak aku bisa memanjakan diri," ucapku pada diri sendiri sambil mencari-cari pakaian yang akan aku gunakan.
Hari ini aku sudah benar-benar bertekad untuk bersenang-senang. Walaupun, aku akan tetap diikuti oleh bodyguard suruhan Mami.
Mami memberiku bodyguard bukan karena ingin melindungiku. Tapi, karena dulu aku pernah mencoba untuk kabur. Usahaku dulu hampir berhasil sebelum seseorang menggagalkannya yang membuatku sangat membencinya dan tidak ingin mengingatnya lagi.
"Sepertinya pakaian ini akan cocok untuk hari ini," ucapku ketika menemukan pakaian yang aku pilih.
Pakaian yang aku pilih adalah sebuah dress dengan panjang selutut berwarna peach. Kemudian aku menambahkan riasan tipis di wajahku. Setelah merasa cukup, aku memastikan kembali penampilanku yang terpantul dari cermin.
Sebenarnya, aku berencana untuk pergi ke salon yang ada di Mall untuk memanjakan badanku yang sudah sangat penat. Sahabatku Lina yang merekomendasikan tempat itu untukku. Karena dia sudah sering diberikan libur oleh Mami dan tahu tempat-tempat terbaik disekitar sini.
Aku pun pergi menggunakan mobil Mami yang disopiri oleh bodyguard yang akan memantauku untuk hari ini. Sesampainya di Mall, aku segera mencari salon yang aku tuju dan memulai semua treatment yang mereka sediakan.
'Ternyata libur sangat menyenangkan. Kapan lagi aku bisa menikmati hidup seperti ini?' pikirku dalam hati.
Sangat menyenangkan hidup bebas seperti ini. Aku akan lebih berusaha untuk menghancurkan rumah bordil itu agar aku bisa bebas terus seperti ini.
Setelah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menikmati semua proses treatment. Tiba-tiba, perutku yang kosong terus berdemo meminta makan. Aku pun mencari sebuah restoran yang akan membuatku tergoda untuk mencicipinya.
Saat perjalanan mencari restoran, aku melihat seorang anak laki-laki yang menangis kebingungan mencari papanya. Namun dia terlihat enggan didekati oleh orang-orang yang ingin membantunya.
Aku mendekatinya perlahan dan mengeluarkan permen yang biasa aku simpan di dalam tas. Anak itu sedikit takut ketika aku dekati. Namun, aku mencoba tersenyum kepadanya dan itu sedikit membuatnya tenang.
"Adik kecil kenapa menangis?" tanyaku lembut.
"Huhuhuhu.. p-p-pa-pa-ku h-h-hilang t-tante," jawab anak kecil itu sesenggukan.
"Sudah, anak laki-laki tidak boleh menangis dong," rayuku.
"Ini Tante punya permen," tawarku sambil menyodorkan permen tadi.
"T-tapi p-p-papa-ku m-melarang-ku untuk m-menerima se-suatu dari o-orang yang be-lum di-kenal," jawab anak itu polos dan masih sesenggukan.
"Nama Tante Daisy, nama kamu siapa?" tanyaku sambil tersenyum menenangkan.
"Je-sen Tante," jawabnya sudah mulai sedikit tenang.
"Sekarang kita sudah kenal kan? Berarti sudah gak masalah dong kamu terima permen ini. Tenang ini permen aman, Tante gak akan nyakitin kamu. Kalau kamu tidak mau biar buat Tante aja ya?" godaku sambil membuka bungkus permen itu.
Anak itu langsung merebut permen yang pura-pura akan aku makan. Sungguh anak ini sangat menggemaskan. Selama ini belum pernah aku berinteraksi dengan anak kecil.
Ternyata semenyenangkan ini bisa merayu anak kecil, yang terlihat sangat jujur dan polos. Setelah itu, aku membantunya berkeliling untuk mencari papanya. Kami mengobrol disepanjang perjalanan.
Namun, setelah cukup lama mencari perutku kembali berdemo. Kulihat Jesen juga sudah kelelahan karena kita mencari sudah setengah jam lebih.
Akupun mengajak Jesen ke bagian informasi untuk melaporkan anak hilang. Dan mengatakan kalau kami akan menunggu Papanya di restoran seberang meja informasi itu berada.
"Apa aku boleh memesan apa saja, Tante?" tanya Jesen ragu.
"Tentu. Kamu boleh pesan apapun yang kamu inginkan. Tante juga ingin makan banyak karena sudah sangat lapar," jawabku sambil memegang perutku yang terus berbunyi.
Jesen tampak sangat senang. Kami berdua memesan makanan yang lumayan banyak karena rasa lapar dan lelah. Kita makan dan mengobrol dengan asyik, karena kepolosan Jesen yang membuatku menjadi sering tertawa.
Jesen sering menceritakan papanya yang galak menurutnya, tapi tidak menceritakan tentang mamanya sekalipun. Aku sedikit penasaran dan menanyakan kepada Jesen secara perlahan agar dia terpancing untuk menceritakannya.
"Jesen dari tadi kamu cerita tentang papa, bagaimana dengan mama kamu?" tanyaku dengan lembut.
"Emmmm...," dia terlihat ragu untuk menjawab. "Jesen tidak punya Mama Tante," jawabnya sedih dengan kepala yang tertunduk.
"Maafin Tante ya, Tante gak bermaksud membuat Jesen sedih," jawabku sedikit tidak enak melihatnya yang menjadi murung.
"Gak apa-apa kok Tante. Kata Papa, mamanya Jesen ninggalin Jesen dari kecil. Tandanya mama tidak sayang Jesen, jadi Jesen tidak boleh sedih karena masih punya papa yang sayang sama Jesen," jawab Jesen panjang lebar.
Jawabannya itu membuatku merasa sangat bersalah, karena sudah menanyakannya. Dia bahkan terlihat lebih dewasa dibandingkan usianya yang masih anak-anak.
"Bener kok kata Papa Jesen. Masih banyak yang sayang sama Jesen, jadi Jesen harus jadi anak yang kuat dan bahagia. Mamanya Jesen pasti nyesel sudah ninggalin anak yang hebat seperti Jesen," kataku menenangkannya.
Jesen menjawab dengan anggukan, dia terlihat sangat tegar dibandingkan diriku. Aku pun mencari topik lain agar Jesen lupa dengan Mamanya, dan kami pun kembali bercanda dan tertawa bersama membahas berbagai hal.
Sangat disayangkan Mamanya meninggalkan anak yang lucu dan menggemaskan seperti Jesen. Aku jadi teringat orang tuaku sendiri yang sudah menjualku.
Jesen kembali bercerita tentang Papa nya yang terkadang galak kepadanya. Jadi Jesen jarang berbicara berdua dengan Papanya. Selama ini dia juga tidak terlalu dekat dengan Papanya, karena kesibukan Papanya bekerja sampai malam.
"Waktu itu sempat Jesen makan Snack malem-malem, papa langsung melotot kayak gini Tante sambil marah-marah," kata Jesen polos sambil memperagakan matanya yang melotot. Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengar celotehan anak kecil di depanku ini.
Akupun merasa sangat bahagia dan merasa bebas walaupun dua bodyguard itu masih selalu mengikuti.
'Ini jauh lebih baik dari pada aku pergi entah kemana, lebih baik aku menghabiskan waktu dengan mendengarkan celotehan polos anak kecil ini yang membuat dadaku lega karena tertawa,' pikirku dalam hati.
Tak terasa makanan yang kami berdua pesan tadi sudah kandas tidak bersisa. kami terlalu banyak bercerita hingga tidak sadar makanan yang sangat banyak tadi habis hanya dalam waktu sepuluh menit.
Kami berdua berlomba memamerkan perut kami yang membuncit karena kekenyangan
Melihat timbunan makanan di dalam perut kami membuat kami tertawa terbahak-bahak.
Aku merasakan kecocokan diantara kami, padahal baru sebentar kami kenal satu sama lain. Mendengar cerita Jesen, membuatku malu dengan diriku sendiri dalam menyikapi segala hal. Jesen mengelus tanganku seperti mengerti apa yang sedang aku pikirkan, dia menghiburku bak orang dewasa yang membuatku sangat nyaman ketika bersamanya.
Semua kesenangan itu berhenti ketika aku melihat Jesen yang kaget ketika melihat ke arah belakang dari arah tempatku duduk. Kemudian ekspresi senang kembali terpancar dari raut wajahnya.
"Papaaaa....!" teriak Jesen sambil berlari ke arah orang itu.
Bersambung...