Dalam waktu tiga hari Christian harus membawa kekasih ke rumah, atau dia harus menerima perjodohan. Sang kakek terus mendesak segera menikah. Dalam perhimpitan waktu, Christian mengejar wanita penjaga toko bunga. Berupaya membawa wanita itu pulang ke rumah. Sayangnya wanita itu menolak. Hingga akhirnya Christian tak dapat bertemu dengannya kembali, menghilang dalam waktu cukup lama. Mau tak mau, Christian menerima perjodohan dari sang kakek. Wanita bernama Calista Madison, pilihan dari sang kakek. Christian terpana. Wanita incarannya kembali dengan penampilan berbeda. Di hadapan Chris, wanita itu angkuh dan dengan tegas menolak perjodohan. Hati Christian tercubit. Merasa harga dirinya hancur. Dia memiliki rencana untuk menjebak wanita itu. Christian ingin Calista tak lagi kabur kembali. Rencana apakah yang sedang dirancang Christian? Akankah perjodohan tetap berlangsung?
"Daddy tidak menerima penolakan, Chris. Apa yang ingin kau debatkan? Sudah jelas kau tak memiliki kekasih, Chris, tidak usah mengelak dari perjodohan. Mau tidak mau, kau harus menerima perempuan itu."
Seorang pria muda perlahan memijat keningnya suara itu kembali terngiang di telinganya. Helaan napasnya berembus kasar, bersamaan pandangan matanya beralih ke luar jendela. Mobil yang ditumpangi berhenti di lampu merah, tepat di depan sebuah toko bunga.
"Cantik." Seutas senyuman terbit di bibir Chris tanpa sadar.
Wanita berambut cokelat sebahu menata beberapa bunga di etalase kaca. Memakai celemek merah muda dengan noda hitam di bagian bawah. Seluruh gerak-gerik wanita itu seakan tak lepas dari pandangan mata Chris.
"Sebentar, Sean. Aku ingin membeli bunga," ucap Chris.
"Bunga? Untuk siapa?" tanya Sean, asisten yang merangkap menjadi sopir.
Chris menoleh, mengedipkan mata. "Apa syarat membeli bunga harus memiliki kekasih? Aku rasa semua orang bebas membeli bunga, tanpa harus memiliki kekasih."
Selalu ada kerusuhan yang Chris lakukan, Sean berdecak kesal. "Hei, Chris! Kau ada jadwal pertemuan dengan Tuan Arson. Jangan membuang waktu, Bro!"
"Lupakan sejenak, aku ingin mengistirahatkan pikiranku. Tunggu sebentar, aku tak lama."
Pria tampan berbalutkan jas berwarna hitam dengan wajah tegas begitu menawan, membuat seluruh perhatian mata tertuju padanya. Begitu pula dengan wanita yang menghentikan pekerjaannya, menghampiri kedatangan pembeli.
"Halo, selamat pagi, Tuan! Ada yang bisa kami bantu?"
Chris menatap seluruh etalase yang memiliki jajaran berbagai jenis bunga. Semerbak wangi terasa memabukkan. Hingga kedua matanya tertuju pada mawar merah merekah, cukup membius pandangan.
"Bisa kau tunjukkan bunga terbaik yang kalian miliki?" tanya Chris.
"Bunga di toko kami selalu memiliki kualitas terbaik, Tuan. Setiap hari akan selalu ganti dengan yang baru. Kalau boleh tahu bunga apa yang ingin dibeli, Tuan? Biar kami siapkan yang terbaik."
"Aku tidak tahu." Ekor mata pria dua puluh tahun itu sesekali melirik wanita yang berdiri tak jauh darinya.
"Untuk siapa bunga ini, Tuan? Akan aku beri rekomendasi paling menarik." Wanita itu tersenyum.
Chris terdiam sejenak. "Em ..., untuk kekasihku. Tolong, carikan bunga paling terbaik untuk perempuan cantik dan manis."
"Waw, beruntung sekali perempuan itu memiliki pasangan semanis anda, Tuan." Penjaga wanita memandangi etalase, menimang bunga paling pas sesuai dengan penampilan pembelinya. "Ah, mungkin bunga mawar merah unggulan di toko kami. Aku rasa kekasih anda menyukainya."
"Mawar merah? Apa kamu yakin semua perempuan menyukai bunga itu?" tanya Chris, berusaha meminta penjelasan.
"Tentu saja, Tuan. Semua perempuan menyukai pemberian dari orang yang dia sayangi."
Kerutan dahi Chris dalam, sesaat berpikir seluruh ucapan penjaga wanita itu. "Apa kau juga menyukai bunga mawar merah?"
Wanita itu mengangguk. "Tentu saja. Bunga yang paling aku sukai adalah mawar merah. Dan aku berani bersumpah bila bunga di sini adalah yang terbaik. Aku berharap kekasihmu menyukainya."
Seperti sihir, pandangan mata Chris berbinar mendengar seluruh jawaban penjaga toko itu. Pria itu menggelengkan kepalanya, mengusir pemikiran anehnya. Tak ingin terlalu mengulur waktu, Chris menyetujui bunga mawar merah itu sebagai pilihan.
"Terima kasih," ucap penjaga wanita dengan tersenyum. "Jangan lupa membeli bunga di toko kami kembali, Tuan."
"Tentu saja."
Langkah Chris terhenti, dia menoleh kembali. "Boleh aku tahu namamu. Em ..., aku hanya ingin memanggil nama agar lebih akrab."
"Oh tentu saja, Tuan, aku Lily."
Chris mengangguk perlahan, melanjutkan langkahnya dengan senyuman lebar di bibirnya. Setangkai mawar merah berbalutkan kotak bening berada ditentengan tangan Chris.
"Apa yang kau beli?" tanya Sean penasaran, matanya menyipit melihat bunga mawar merah cantik dan segar di tangan Chris. "Wow, seleramu cukup bagus. Aku tidak menyangka kau akan membeli bunga mawar merah."
"Ini bukan pilihanku, pilihan dia." Chris tak mengalihkan pandangannya dari bunga di pangkuannya itu.
Dahi Sean terlipat hingga bertumpukan. "Dia, siapa? Kau 'kan tak memiliki kekasih, Chris."
Wajah Chris sumringah, seperti membayangkan seseorang. Hormon endorfin dalam tubuh pria itu naik dengan cepat. Asistennya heran, perubahan suasana hati yang berubah derastis.
"Belum, nanti akan menjadi kekasihku. Aku akan membawanya datang ke rumah."
"Siapa? Kau tak pernah cerita denganku." Sean sedikit kesal dengan Chris yang menyembunyikan rahasia dari dirinya.
Chris menoleh, melirik wanita yang bercengkerama dengan pembeli lain. Kedua matanya puas mengagumi keindahan makhluk ciptaan Tuhan. Jantungnya turut berdetak tak beraturan memandang senyuman Lily, meski bukan untuk dirinya.
"Perempuan yang baru saja ku temui, Sean. Dia cantik dan menyukai mawar merah. Aku yakin dia adalah jodohku," jawab Chris.
Sean memukul bahu bosnya. Bila dibiarkan terlalu lama akan semakin tak beraturan. Pedal gas diinjak kuat, mengalihkan pandangan Chris dari toko bunga itu.
"Kau semakin aneh, Chris. Apa karena perjodohan itu kau jadi menganggap perempuan cantik adalah jodohmu? Aku tidak habis pikir dengan jalan otakmu. Bagaimana bisa kau berpikir untuk memperkenalkan perempuan asing ke hadapan keluargamu?" tanya Sean. Lirikan tajam telah mengintimidasi pria yang duduk di bangku sampingnya.
Alih-alih marah, Chris justru tersenyum dan mengangguk, menjawab seluruh pertanyaan dengan satu jawaban.
"Yang benar saja, Chris. Bila perempuan asing yang kau perkenalkan sebagai kekasih palsu. Mengapa tak mencoba membuka hati untuk calon tunanganmu? Kau dan dia hanya butuh waktu untuk saling mengenal," saran Sean.
"Aku tidak mau," jawab Chris singkat. Raut wajahnya berubah datar dan dingin.
"Kenapa? Lagi pula kau belum tahu siapa dia, Chris. Kau hanya tahu dari namanya saja." Sean berusaha mengimbangi perdebatan.
Chris menggeleng. "Memang benar, aku belum kenal. Aku hanya tahu namanya. Tetap saja aku tidak mau dijodohkan dengan perempuan mana pun."
"Bagaimana kalau dia cantik? Kau yakin menolak?" tanya Sean dengan mengangkat satu alisnya.
"Tetap saja aku tidak mau, Sean. Aku tak bisa mencintai perempuan asing," jawab Chris.
"Lalu bagaimana dengan perempuan penjual bunga? Bukankah sama saja ... perempuan asing?"
Chris memilih diam. Tak berniat memperpanjang perbincangan dengan topik perjodohannya. Membiarkan kabin kemudi lengang, Sean pun memahami bila dirinya membutuhkan waktu berpikir.
***
Dari kejauhan suara riuh menyinggung nama Christian Franklin, pemilik nama itu menghela napas sejenak. Keluarga besar telah berkumpul di kediamannya, posisi dirinya segera tidak aman.
"Hei, Chris. Kau telah pulang?" sapa William, kakak sepupunya. Chris menjawab dengan sebuah anggukan kepala.
"Kemari, Chris. Kau mau ke mana?" tegur Jonathan, ayah Chris.
"Aku harus mandi," jawab Chris singkat.
"Chris ..., duduklah. Temani kakek makan."
Tatapan teduh Marlino Franklin berhasil meluluhkan hati Chris yang membeku. Pria itu tak bisa menolak seluruh permintaan Marlino. Mau tak mau, Chris mendekati Marlino, menarik kursi di sampingnya.
"Kau sudah dengar tentang perjodohan itu bukan? Bagaimana tanggapanmu?" tanya Marlino.
Chris mengangguk. "Aku sudah dengar dari Daddy. Dan aku tidak mau dijodohkan dengan perempuan mana pun."
Marlino menghela napas. "Kau harus menikahi putri Mr. Madison, Chris. Di sisa umur, kakek ingin melihat kamu menikah."
"Aku bisa menikah dengan perempuan pilihanku, Kek. Tidak perlu dijodohkan, aku masih bisa mencari perempuan sendiri." Chris berdecak kesal.
"Chris ..., kakek tidak suka dibantah. Kau tak memiliki pilihan lain, Chris. Secepatnya kau harus menikah dengan perempuan pilihan kami," ucap Marlino tegas dan tak mau dibantah. Bahkan pria itu melayangkan tatapan tajam pada cucunya yang menjadi CEO di Franklin Corporation, sebagai ganti dari dirinya dan Jonathan.
"Aku tidak bisa menuruti keinginan itu," jawab Chris.
"Chris!" teriak Jonathan.
"Tidak, Daddy, aku tidak bisa menikah dengan wanita lain sementara aku memiliki kekasih! Bahkan aku sendiri tidak kenal dengan wanita yang Daddy pilihkan!"
"Chris!" Wajah Jonathan berubah memerah, marah.
Tak ada jawaban, Chris menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya, lantas meneguk air putih yang tersedia, sebelum mengelap bibirnya dengan sehelai tisu.
"Chris," panggil Jonathan.
"Aku selesai. Aku harus istirahat," jawab Chris. Melenggang pergi meninggalkan ruang makan.
Tangan pria lima puluh tahun itu mengepal kuat, marah besar dengan tingkah laku putranya, tidak sopan di hadapan keluarga besar.
Bab 1 Pandangan Pertama
04/07/2023
Bab 2 Mencari Informasi
04/07/2023
Bab 3 Jatuh Sakit
04/07/2023
Bab 4 Percobaan
04/07/2023
Bab 5 Pasrah
04/07/2023
Bab 6 Bermasalah
04/07/2023
Bab 7 Pertemuan
04/07/2023
Bab 8 Janji Bertemu
04/07/2023
Bab 9 Sebuah Janji
04/07/2023
Bab 10 Rasa Bahagia
04/07/2023
Bab 11 Janji adalah Jebakan
20/10/2023
Bab 12 Tergoda
20/10/2023
Bab 13 Penyatuan
20/10/2023
Bab 14 Selesai itu
20/10/2023
Bab 15 Ambisi
20/10/2023
Bab 16 Kabur
20/10/2023
Bab 17 Terobsesi
20/10/2023
Bab 18 Meminta Bantuan
20/10/2023
Bab 19 Pencarian
20/10/2023
Bab 20 Bertemu
21/10/2023
Bab 21 Tak Menyerah
04/11/2023
Bab 22 Takut Kehilangan
04/11/2023