Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Find Me In Your Memory

Find Me In Your Memory

Eunoia

5.0
Komentar
2.4K
Penayangan
31
Bab

Pertemuan Pertama Sessil dengan Andrew berakhir dengan hubungan romantis di dalam resort. Setelah mereka melewati malam dengan penuh gairah, Andrew tiba-tiba menghilang keesokan paginya. Setahun berlalu, mereka kembali bertemu, tetapi Andrew tidak mengenalnya dan berstatus sebagai tunangan kakak sepupunya. Lalu, tiba-tiba sang kakak meninggal, dan Andrew memilihnya untuk menjadikannya sebagai istri. Apa yang terjadi? Apakah mereka bisa melewati pernikahan terpaksa ini?

Bab 1 1 - Tiket menuju Cinta

Pernahkah seseorang mengalami cinta kilat?

Tidak, bukan cinta pandangan pertama, tapi cinta yang terjadi dalam sehari karena sesuatu hal. Mungkin, ini dinamakan soulmate?

Seseorang pernah mengalaminya. Dan itu terjadi saat dia menggenggam sebuah keberuntungan.

"Mau ikut sama gue, nggak?" tanya gadis berambut sebahu yang bernama Vanya.

"Gue sibuk," jawab Sessil, tanpa menoleh, matanya terfokus pada layar komputer, dan tangannya dengan lincah mengetik di keyboard. "Ajak pacar lo aja."

"Ngeledek lo?" sahut Vanya merengut. "Gue kan nggak punya pacar."

Oya! Sessil bergidik karena telah menyinggungnya dan membuat Vanya marah. Ia alihkan pandangannya sejenak, lalu tersenyum lebar. "Gue lupa. Ya udah, ajak mantan lo, atau teman lo yang lain gitu?" sarannya, berbicara dengan hati-hati.

Bibir Vanya malah semakin dimanyunkan. Kalau soal memberi saran, Sessil memang payah sekali! "Mantan? Lo tau sendiri kalau hubungan gue sama Dodi berakhir buruk."

"Ya, habis. Jadi cewek nyolotan mulu," celetuk Sessil sambil memutar kursinya kembali ke depan layar komputer. "Makanya, hubungan lo sama dia selalu nggak akur."

"Berisik!" Vanya menutup telinganya, tak mau mendengar masa lalunya yang penuh drama itu. "Kita nggak perlu bahas itu! Pokoknya, lo harus ikut sama gue! Wajib! Bukan sunnah! Fix!"

Tapi, Sessil tetap tidak mau. Ia akan menolaknya, hanya saja Vanya keburu kembali ke meja kerjanya yang jaraknya jauh darinya. Napasnya terhela, mau tidak mau pasrah.

Liburan ke Lombok gratis memang sebuah kesempatan langka buatnya. Vanya mendapatkan tiket liburan itu karena iseng mengikuti sebuah kuis di internet. Namun, Sessil itu orang yang selalu malas pergi ke mana-mana, apalagi tempatnya jauh sekali.

Meskipun begitu, kedua gadis berusia 25 tahun itu akhirnya berangkat juga ke Lombok tiga hari kemudian. Musim kemarau yang panasnya menyengat kulit, meluapkan semangat Vanya. Namun, berbanding terbalik dengan Sessil.

Setelah pesawat mendarat di bandara Lombok, Vanya bergegas keluar dari bandara duluan. Sessil menyeret kopernya dengan jalan lambat dan terlihat lemas. Vanya menoleh, baru menyadari bahwa Sessil berdiri jauh darinya.

"Sil! Ngapain berhenti di sana?" tanya Vanya, berseru.

Sessil jadi jengah melihat kelakuan sahabatnya. Ia mendengus, lalu menggerutu pelan. "Apaan sih, teriak-teriak gitu? Norak banget?"

"Cepatan sini!" teriak Vanya sambil melambai.

"Iya, sabar!" sahut Sessil jengkel, menyeret kopernya dengan tidak niat dan malas-malasan.

Jalan-jalan ke luar kota tidak lengkap kalau tidak diabadikan. Vanya akan memenuhi akun media sosialnya dengan foto-foto selama di Lombok lewat kamera digital yang dibelinya tahun lalu.

Sessil mengambil kamera itu dari tangan Vanya, berdiri di tempat yang pas untuk memotret. Vanya mulai berpose, dan Sessil memotretnya dengan asal.

"Coba gue lihat?" pinta Vanya, tak sabar melihat hasilnya.

Sessil memberikan kembali kamera itu. Bodo amat dengan hasilnya, ia ingin buru-buru berteduh dari terpaan teriknya matahari. Namun, sepertinya harapannya itu tidak terwujud dalam waktu singkat, setelah melihat ekspresi tak senang Vanya. Sessil menghela napas.

"Apaan nih? Jelek ah! Ulang lagi fotonya," keluh Vanya.

"Nggak ah! Nanti aja foto-fotonya. Panas banget nih!" tolak Sessil.

"Mana bisa gitu. Gue mau foto di bandara, mau kasih tahu followers gue, kalau gue udah sampai di Lombok. Nanti gantian deh, gue yang fotoin lo."

Nyatanya bujukan Vanya tidak mempan. Sessil tetap berkelit. "Buat apaan foto? Gue nggak punya medsos."

"Ya udah, fotonya nanti dipajang aja di status WA," sahut Vanya gemas, malas berlama-lama. "Udah buruan fotoin! Lo mau cepat-cepat ke resort, 'kan?"

Ya memang, tapi Sessil malas melakukan hal itu di siang hari yang panas, dan dilihatin orang yang berlalu lalang pula. Untungnya, Vanya cuma melakukan dua pose saja, dan ia juga puas dengan hasil fotonya.

"Nah, ini baru bagus!" puji Vanya, tersenyum senang. "Sekarang giliran lo yang gue foto."

"Nggak!" Langsung ditolak keras oleh Sessil. "Lo udah janji mau ke resort habis ini, 'kan?"

Sepertinya, Vanya tidak mengindahkan ucapan Sessil. Bahkan, ia memanggil seorang pria yang kebetulan lewat sambil menenteng sebuah tas hitam di pundaknya. Hati Vanya bertambah senang karena melihat kamera yang dikalungkan pria itu di lehernya. Ia berpendapat kalau dia pasti seorang pemotret yang andal.

"Mas! Bisa tolongin saya?"

Pria berkacamata hitam itu berhenti melangkah dan menoleh. Merasa kalau memang dirinya yang dipanggil oleh wanita asing itu, lantas ia menghampiri.

Sessil merasa segan dengan tindakan sahabatnya itu. Sambil menyikut lengan Vanya ia berbisik, "Ngapain sih lo panggil dia?"

Vanya mendekati wajahnya sedikit, membalas dengan bisikan juga. "Biar aja. Gue rasa dia pro deh soal photografi. Lihat aja kamera yang dibawanya? Pasti hasilnya bagus?"

Pria itu sampai di hadapan kedua gadis cantik itu. Vanya langsung menjauhkan wajahnya, lalu tersenyum padanya. Sessil menatap kurang suka padanya. Si pria cemberut, sama sekali tidak ada senyum ramah di bibirnya, padahal Vanya bersikap ramah padanya. Kayaknya, pria itu keberatan jika Vanya meminta tolong dipotret.

"Maaf, ya, Mas. Bisa tolong fotoin kita berdua, nggak?" kata Vanya, cukup hati-hati bicaranya. Sepertinya, dia menyadari sikap kurang ramah pria itu.

"Mana kameranya?" Pria itu mengulurkan tangan.

Sessil melongo. Meski nada bicaranya agak dingin, tetapi pria itu bersedia melakukan permintaan Vanya. Berkembanglah senyuman di bibir Vanya, bersemangat berpose setelah memberikan kameranya pada pria itu.

Foto pertama, hanya Vanya yang berfoto. Lalu, foto yang kedua, potret Sessil dan Vanya meski Sessil rada malas berpose. Seperti yang prediksi Vanya, pria itu memang pandai mengambil foto yang bagus. Vanya begitu puas dengan hasil jepretannya.

"Terima kasih, ya, Mas." Vanya tersenyum senang.

Pria itu tak mengatakan apa pun, langsung pergi begitu saja. Sessil memperhatikannya tanpa mempedulikan Vanya yang sedang mengoceh kegirangan sambil melihat-lihat hasil foto. Ia mencibir di dalam hati, begitu sombong perangai pria itu. Senyumnya mahal kali, ya?

"Sil, kita ke resort, yuk-" Ucapan Vanya menggantung karena menyadari Sessil sedang melihat ke arah lain. Ia jadi penasaran, dan ikut melirik ke arah yang sama. "Lagi lihat apa sih lo? Mata lo sampai mau copot gitu."

"Nggak," jawab Sessil salah tingkah. Di dalam hati, Sessil merasa waswas. Semoga saja Vanya tidak tahu kalau ia sedang melihat pria itu. Bisa dikira yang tidak-tidak sama dia.

"Gue tahu!" tebak Vanya, setengah berseru. "Lo pasti habis lihat bule ganteng, ya? Ih! Kok nggak ngajak-ngajak? Pergi ke mana tuh bule?"

Syukurlah, Vanya tidak tahu. Tapi, ia tetap jengkel karena wanita itu tetap menggodanya. Malas menanggapinya, Sessil menyeret kopernya. Vanya berseru keras karena main ditinggal begitu saja, padahal ia ingin sekali melihat bule. Siapa tahu kalau keberuntungan berpihak padanya, ia bisa berkenalan dengan bule itu.

Mau bule ataupun Lombok, Sessil tidak tertarik. Sejak awal, ia tidak mau membuang energi dengan pergi berlibur ke luar kota. Oke, ia akan ikut ke sini, tapi tidak menjamin akan beranjak dari resort untuk menikmati keindahan pulau ini.

Tiket liburan yang didapat oleh Vanya bukan hanya sekadar akomodasi perjalanan dengan pesawat pulang-pergi, tapi juga menginap selama 5 hari di resort yang pemandangannya bagus, lalu menikmati perjalanan dengan kapal pesiar.

Entah berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh pihak penyelenggara kuis, mereka mendapatkan masing-masing kamar untuk mereka beristirahat. Sessil langsung masuk kamar setelah mendapatkan kunci kamar, cepat-cepat melangkah menuju ranjang bersprai putih, lalu menghempaskan diri di atasnya.

Sessil menghela napas dan memejamkan mata. Akhirnya, bisa juga ia beristirahat dan menikmati sejuknya AC di ruangan ini. Tangan dan kakinya yang lelah, digerak-gerakan selama beberapa kali, lalu ia membuka matanya.

"Mandi dulu kali, ya?" gumamnya.

Tapi, ini masih sore, terlalu tanggung untuk tidur sekarang. Habis mandi, rencananya Vanya mengajaknya makan malam di restoran yang ada di resort. Hanya saja, perutnya sudah berorkestra ria sekarang. Apa cari camilan dulu? Sessil mempertimbangkan semua itu sambil duduk. Dan ujung-ujungnya ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Padahal, ia sudah membawa perlengkapan mandi, ternyata malah tergoda pakai sabun dan sampo yang disediakan oleh resort. Alasannya, karena sayang sekali kalau semua itu tidak dipakai, padahal ia tergoda dengan aroma dari sabun dan sampo itu.

Segar juga habis mandi. Lantas Sessil mengganti baju, memakai riasan tipis, dan keluar dari kamar untuk mencari makanan ringan di sekitar resort. Namun, camilan di sini mahal, bahkan untuk sekadar seporsi salad buah.

Sessil menghela napas, kemudian diliriknya pintu resort sejenak. Mau tidak mau, ia berjalan keluar untuk mencari camilan murah. Entah pergi ke mana, lagian ia tidak takut tersesat karena memiliki GPS di ponselnya.

Entah sudah berapa meter ia berkeliling dengan berjalan kaki, akhirnya ia menemukan gerobak pedagang gorengan. Ia semringah, menyebrang jalan menuju gerobak itu. Takjub, dikira tidak ada pedagang camilan di sekitar resort. Padahal, ia hampir menyerah tadi.

"Mas, beli bakwan, tahu, pisang goreng, sama selebihnya risol," kata Sessil sambil memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah pada pedangang itu.

Pesanan Sessil langsung diambilkan oleh pedagang dan dimasukkan dalam kantong plastik putih. Sudah dapat camilan, sekarang waktunya balik ke resort. Namun, tidak disangka ia berpapasan dengan seorang dua pria bule yang sedang menikmati liburannya di sini. Sessil tidak tahu apa ini disebut keberuntungan atau hal yang meresahkan. Pasalnya, ia sedang tidak ingin berkenalan dengan orang asing saat ini.

"Hi, girl," sapa salah satu dari kedua pria itu, tatapan matanya membuat Sessil risi. "Can i know your name?"

Bukan hanya tatapan, mereka bahkan juga menyentuh tangannya. Sessil mengernyit kesal. Mau apa kedua pria ini? Mereka memaksanya untuk ikut dengan mereka.

"Sorry, i must go-" tolak Sessil, akan pergi. Namun, salah satu pria menahannya dengan memegang lengannya. Tentu Sessil tersinggung, refleks menepis tangan kurang ajar itu.

Tidak ada gunanya berbicara baik-baik dengan kedua pria ini. Ia harus mencari sebuah ide, dan itu datang saat ia melirik tanpa sengaja pada pria asing yang diminta Vanya untuk memfotonya.

"Beb!" serunya kencang sambil melambaikan tangan. "Beb, i'm here!"

Tadinya, pria itu tengah mengambil pemandangan bukit Mandalika. Namun, ia terpaksa berhenti, menoleh pada Sessil. Ia menelengkan kepala, heran, seakan ekspresinya terbaca: "Dia panggil gue?"

Sessil terus melambai dan berpura-pura tersenyum sambil berharap idenya ini berhasil. Tapi, sepertinya memang begitu, pria asing itu menghampiri Sessil meski masih bingung. Sementara kedua pria bule itu, perlahan menjauh darinya. Kesempatan ini langsung Sessil gunakan untuk melepaskan diri dari mereka.

Sessil pun menghampiri pria asing itu dengan setengah berlari, pura-pura tersenyum girang, lalu merangkul lengannya. "Beb, ke mana aja sih dari tadi? Aku nyariin kamu lho."

Untuk memastikan bahwa mereka sudah pergi, Sessil membuka kamera depan di ponselnya, lalu mengarahkannya pada dua pria bule tadi. Huh, leganya! Mereka sudah pergi. Namun, tanpa disadarinya, ia masih berjalan dengan pria asing itu sambil menggandeng lengannya.

"Mereka udah pergi, 'kan? Bisa lepasin tangan saya, nggak?" kata pria itu, nada bicaranya dingin.

Sessil melirik lengannya yang melingkar pada lengan pria itu. Oya, lupa! lantas ia spontan melepaskan gandengannya dan menjauhkan tubuhnya. Aduh, malu sekali! Sessil menunduk gugup dan canggung. Hal yang dipikirkannya adalah, kecemasan akan dugaan macam-macam yang ada di dalam pikiran pria itu tentangnya.

"Sori, Mas. Tapi, terima kasih, ya, karena udah membantu saya," kata Sessil, kikuk dan tersipu.

Dengan acuh tak acuh dan sambil memotret, pria itu bergumam, "Iya. Tapi lain kali, jangan pernah libatkan saya soal ini."

Ya, kalau karena bukan terpaksa, Sessil juga ogah minta bantuan sama pria menjengkelkan ini. Habis, siapa lagi yang bisa diandalkan? Hanya ada pria itu yang lewat di sekitar tempat itu. Meskipun mereka baru bertatap muka sekali, setidaknya ia yakin kalau pria itu mau membantunya.

Pria itu berhenti memotret, lalu melirik Sessil yang sedang melahap tahu goreng dengan sinis. "Kenapa kamu masih di sini?"

"Hah?" Sessil tertegun sejenak, kemudian sadar kalau ia sedang berjalan berdampingan dengannya. Ia memejamkan mata, lagi-lagi ia melakukan hal yang memalukan! "Oh, aku...."

Sudah kepalang tanggung, mau alasan apalagi? Masa bodo! Pria cuek kayak begitu mana mau mendengar ucapan gadis asing sok kenal. Ya sudah, memang lebih baik ia kembali ke resort. Namun....

Sessil celingak-celinguk ke segala arah. Gawat! Ia tidak tahu arah kembali resort. Bahkan, ia sendiri juga tidak tahu ada di mana. Lalu, ia coba mencari lokasi di GPS ponselnya. Sial! Sinyalnya lemah parah. Huft! Bagaimana caranya ia bisa balik ke resort?

Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Sessil melirik pria di sampingnya. Sangsi, apa ia boleh minta tolong lagi padanya? Tapi, harga dirinya akan jatuh karena pria itu pasti akan mencemoohnya dengan sindiran dinginnya.

Sepertinya, pria itu membaca gerak-gerik Sessil, tapi tetap bertanya untuk memastikannya. "Kenapa? Nggak tahu arah pulang?"

Sessil menoleh takjub. Peka juga pria ini. Nah sekarang, apa yang harus dijawabnya? Apa ia harus memberikan jawaban jujur? Sepertinya sia-sia saja kalau ia berbohong.

"Aku kan turis, jadi nggak tahu daerah sekitar sini." Akhirnya, dengan terpaksa mempertaruhkan rasa gengsinya, Sessil memilih jujur.

"Apa nama resort-nya?" tanya pria itu sambil memeriksa hasil foto jepretannya.

"Resort Sari Lombok."

Langkah pria itu terhenti, tatapannya mengarah pada Sessil, membuat gadis itu jadi gugup dan salah tingkah. Namun, pria itu memperhatikannya bukan karena terpana oleh kecantikannya, melainkan karena sedang berpikir.

"Aku akan mengantarkanmu. Tapi, kalau kamu bersedia ikut bersamaku," katanya.

Mata Sessil membulat takjub. Ikut dengannya? Maksudnya jalan-jalan berdua dengan pria itu seharian? Ya, ampun! Rencana mau istirahat setelah beli camilan, malah kaki dibuat pegal. Ah, sudahlah! Daripada tersesat dan ketemu sama orang aneh, mending ikut dia saja. Sessil setengah berlari menghampiri pria itu, yang sudah berjalan duluan meninggalkannya. Mereka akan menuju ke pantai.[]

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku