Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Dasar istri katrok! Kampungan! Malu-maluin aja!"
Aku menyentak kasar pegangan Diana. Sebal. Bisa-bisanya ia mempermalukanku di depan teman-teman kantor. Kupikir mendandaninya saja bisa mengcover sedikit sifat kampungannya itu. Ternyata aku salah. Ia tak berubah. Diana tetap kampungan. Bayangkan saja. Ia melepas sendalnya saat masuk aula pesta. Belum lagi saat menaiki lift. Ia menjerit ketakutan. Mengundang gelak tawa teman-temanku. Bodohnya aku yang tak berpikir dua kali untuk mengajak Diana datang kemari.
Aku malu! Istri orang-orang berkelas masa iya kampungan begini? Kalau saja bukan karena Ibu. Mana mau aku nikah sama Diana! Huh!
"Bajunya terlalu terbuka, Mas," ucap Diana sambil menutupi bagian pahanya. Sengaja kupilihkan gaun yang cukup mini dan ada belahan di bagian tengah. Diana itu cantik, tubuhnya bagus, tapi sayang tak pernah dipamerkan. Oh, ayolah. Lihat istri teman-temanku yang tanpa malu memamerkan body goal mereka. Sesekali, aku pun ingin pamer milikku.
"Terbuka apanya sih? Wajar aja kok. Kamu tuh harus bisa menempatkan diri. Masa iya diundang pesta, kamu datang kayak ibu-ibu mau pengajian. Halah!"
"Tapi nggak gini juga, Mas. Aku risih!"
"Udah, deh. Jangan manja dan lebay. Kamu begini malu-maluin suami tauk!"
"Mas, aku risih. Orang-orang melihatku begini. Aku nggak nyaman."
"Makanya jaga sikap! Huh! Menyebalkan!"
Aku membuang napas kasar. Tahu gini, mending bawa Susan aja, sekretarisku di kantor.
"Mas ..."
Diana terus merengek. Sia-sia mencoba berbicara padanya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi. Tak ada orang. Hanya beberapa petugas catering yang membawai piring. Sengaja kubawa Diana ke halaman belakang gedung.
"Sudahlah, kamu tunggu di mobil saja. Balik ke parkiran sana. Aku mau ke dalam. Malu dilihat teman-teman," ucapku.
Diana menggeleng.
"Takut nyasar, Mas. Aku juga takut kalau sendirian."
"Lah kamu di dalam malu-maluin. Udah sana! Jangan banyak protes!"
Aku membalik badan. Berjalan meninggalkan Diana. Kucoba abai dan terus berjalan.
"Mas ... Mas ..."
Diana menarik ujung jas yang kukenakan. Tepat di anak tangga bagian belakang. Nyaris saja aku jatuh. Kesal, kudorong Diana hingga ia terjerembab ke belakang. Biarlah ia yang jatuh. Bukan aku. Nasib apes sebenarnya punya istri model begini!
"Astagfirullah, Pak! Bapak keterlaluan!"
Seorang pria dengan tergesa berjalan mendekat. Dari pakaian yang ia kenakan. Kentara sekali bahwa ia adalah pegawai catering yang bertugas di sini. Konyolnya lagi, ia bak pahlawan kesiangan, membantu Diana berdiri.