Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
"Iya, Kang, aku juga heran, kampung kita yang dulu adem ayem, kok sekarang sering ada yang ngeluh kehilangan uang."
"Apa mungkin, dugaan beberapa orang itu benar kalau Pak Bintang ngingu, (melihara) ya? Rasanya kok aneh. Padahal, setiap Jum'at dia rajin ke masjid kalau pas nggak dinas."
"Lha, Kang, ora kabeh ( tidak semua) orang yang melihara begituan nggak shalat, lah."
Kedua laki-laki yang tengah menyeruput kopi hitam dari cangkir keramik kecil itu mengangguk menanggapi pendapat temannya.
Begitulah, warung kopi di pojok gang Desa Karanglor itu selalu ramai pengunjung setiap malamnya. Beberapa laki-laki, seperti sudah menjadikan tradisi, selalu berkumpul di situ. Hanya sekadar minum secangkir kopi, menikmati sebatang rokok, dan sepiring gorengan sudah menjadi modal untuk membicarakan banyak hal hingga berjam-jam.
"Iya, kemarin Mbok Wedok (istriku) yo sambat (mengeluh) duitnya hilang lima puluh ribu. Katanya, mau buat arisan, malah amblas uangnya," celetuk seorang laki-laki bertubuh agak tambun sambil mengunyah tempe goreng.
"Barangkali, buat jajan anakmu, Kang? Kasihan tuyulnya kalau nggak ambil dituduh terus, fitnah itu!" sahut seorang pemuda dengan potongan rambut nyentrik berwarna biru, yang sedari tadi duduk di atas motor bersama beberapa teman sebayanya.
Laki-laki bertubuh tambun itu pun melemparkan sisa potongan tempe goreng ke arah pemuda yang hanya cengengesan.
"Hei, Farrel! Anakku nggak mungkin jajan, sehari habis lima puluh ribu," balasnya tak mau kalah.
Pemuda ganteng dengan tindikan di telinga kirinya itu hanya menggaruk pelipis.
"Ya, mana buktinya coba, duitnya Kang Sukir diambil tuyul? Nggak usah percaya begituan, Kang. Percaya tuh sama Allah dan Rasul-Nya."
Tak!
Sebuah jitakan mendarat di dahi pemuda yang sebenarnya berwajah tampan, yang sayangnya tengah tersesat itu.
Dia hanya meringis sambil melotot ke arah sahabatnya. "Celeng, sakit woi!" protesnya.
Temannya mencibir. "Lagian, sok agamis. Shalat saja cuma tiap Jum'at. Itu pun, karena malu kamu anaknya Pak Ustadz."
"Sialan, nggak usah bawa-bawa bapak aku, lah. Bapak ya Bapak, aku ya aku."
"Farrel, Farrel. Temanmu sudah pada gendong anak, lah kamu, masih saja menghabiskan malam keluyuran kayak gini tho, Le."
Farrel menoleh pada perempuan paruh baya berdaster batik, si pemilik warung yang membawa dua cangkir kopi di kedua tangannya.
"Iya, Budhe, nanti bikin anak dulu," sahut pemuda 24 tahun itu dengan asal yang membuat si pemilik warung malah memelototinya.
Suasana warung hening sejenak, ketika mendengar deru motor yang semakin mendekat. Beberapa lelaki berumur yang masih asyik membicarakan tuyul dan pesugihan atau sejenisnya, mendadak bungkam. Mereka saling melirik ke arah motor yang semakin mendekati teras warung.
Sedangkan, Farrel dan teman-temannya yang seperti umumnya anak muda, tak terpengaruh dengan isu mistis. Mereka memilih melanjutkan pembicaraan mengenai klub sepakbola favorit masing-masing yang tengah minim prestasi.
"Anjir, memang pelatihnya sampah, makanya jeblok."
"Begitulah, klub kalau berisi mafia," ejek salah satu dari mereka.
"Sok tahu!" seru Farrel tak terima.
"Ngomongin apa to Mas Din, Mas Farrel, serius banget?" tanya laki-laki yang turun dari motor maticnya sambil melepaskan helm.
"He he he biasa, Pak Bin, si Farrel lagi PMS," jawab Dino yang dibalas tinjuan gemas dari Farrel.
"Sialan, mulutmu!"
Laki-laki yang mengenakan jaket hitam itu pun, melangkah menuju ke pintu warung setelah menepuk pelan pundak Farrel yang mengangguk sopan padanya.Tatapan beberapa orang yang tadi membicarakan pesugihan dan sejenisnya, langsung tertuju pada laki-laki berwajah rupawan bernama Bintang yang berdiri di pintu warung.
"Assalamu'alaikum, Budhe. Masih ada gorengannya?" tanyanya santun.
"Waalaikumsalam, masih Mas. Mau apa ya, Mas?"
"Bakwan sama pisang goreng saja, Budhe."