Alisia Eryana Fadhilah adalah seorang gadis yang sangat berani mengungkapkan perasaannya pada pria yang ia cintai dan sayangi termasuk bosnya sendiri, Jayden Naufal Febrian. Tok ... Tok... Tok... Pintu ruangan CEO terbuka dan masuklah sang sekretaris. "Mau apa lagi kamu kemari. Alisia?" tanya Jayden dengan nada tegasnya. "Saya mau mengganggu Anda," balas Alisia dengan senyuman khasnya. "Saya tidak punya waktu untuk melihat tingkahmu itu," ujar Jayden, "Lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu." "Tidak mau," ujar Alisia. Jayden menatap tajam Alisia. "Kembalilah, Alis. Aku tidak ingin berbuat kasar padamu," ujar Jayden dengan nada lembut. "Aku mau di sini menemani kamu," ujar Alisia. Jayden menghela nafas panjang lalu pergi meninggalkan Alisia. "Nyebelin banget sih dia." Alisia pun mengikuti ke mana perginya Jayden. Kisah ini mengisahkan tentang seorang gadis yang berprofesi sebagai sekretaris dari Perusahaan JNF. Corporation yang mencintai bosnya sendiri. Mampukah Alisia mencairkan sifat dingin bosnya? Mampukah Alisia menghadapi setiap tantangan kehidupan? Apakah kisah Jayden dan Alisia akan berakhir dengan sangat bahagia?
Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan mencintai seorang pria yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Aku merasakan hati yang berdebar-debar. Sebelumnya diriku tidak pernah merasakan hal terindah seperti ini, mencintai seorang pria pun tidak pernah. Aku dibuat jatuh cinta pada pandangan pertama karena dirinya, pria asing yang memiliki kulit putih bersih tanpa noda sedikit pun.
Pria yang mampu membuat hatiku berbunga-bunga saat menatapnya. Meskipun sifat pria itu lebih dingin dan tidak tersentuh, percayalah bahwa aku sangat mencintai dirinya dalam diam.
Aku, Alisia Eryana Fadhilah. Seorang gadis berusia 21 tahun yang dulunya tidak pernah mengenal cinta kini berubah menjadi Alisia yang sedang jatuh cinta pada pria asing.
***
Di sebuah Mansion mewah yang terletak di kota New York, Amerika Serikat, tampak seorang gadis berusia 21 tahun sedang merajut baju hangat untuk orang tersayangnya, gadis itu adalah Alisia Eryana Fadhilah.
"Nak. Makan dulu!" perintah sang ayah dengan nada yang sangat tegas.
"Ya Ayah. Nanti aku akan makan," sahut Alisia.
Pria paruh baya itu hanya menghela nafas panjang dan mendekati putri kesayangannya.
"Kamu sedang apa nak?" tanya sang ayah.
"Aku sedang merajut baju hangat untuk keluarga kita," balas Alisia dengan nada lembut.
Pria paruh baya itu mengusap lembut bahu putrinya, ia tidak menyangka putri kecilnya sudah remaja.
"Putriku sudah besar dan tumbuh dengan sangat cantik dan manis," batin pria paruh baya itu.
"Ayah mau menemani bundamu dahulu," ujar pria paruh baya.
Alisia hanya mengangguk dan tersenyum lalu pria paruh baya itu pun pergi.
London, Inggris...
Seorang pria muda berdiri dengan angkuh di ruang rapat tertutup. Mata tajamnya menatap nyalang para pengawal yang tampak menunduk ketakutan.
"Kalian bodoh!" bentak pria itu dengan nada tinggi, membuat siapa pun yang mendengarnya terjungkal karena terkejut.
Para pengawal itu hanya diam, jika mereka bicara maka konsekuensinya nyawa mereka akan melayang.
"Apa kalian tidak bisa mencari informasi tentang Gea?" tanya pria muda itu, matanya masih saja menatap nyalang para pengawal yang hanya diam membisu.
Pria muda itu sangat kesal karena para pengawalnya hanya diam saja dan tidak bicara.
"Apakah kalian tidak punya mulut?" tanya pria muda itu.
Pria itu tersenyum menyeringai.
"Baiklah. Jika kalian tidak mau menjawab pertanyaan dariku," ujar pria muda itu.
Pria muda itu pun pergi meninggalkan para pengawalnya yang sangat ketakutan.
"Aku rasa ada hal yang tidak beres dengan kepergiannya tadi."
"Apa kita akan dihukum?"
"Entahlah, aku pasrah saja."
"Kita akan mati."
"Ya kau benar. Tuan pasti akan membunuh kita."
Pengawal yang lainnya hanya diam tidak ikut berbicara seperti pengawal itu.
Kembali ke London, Inggris...
Pria muda itu sedang menunggu kliennya di sebuah Cafe bernama Blower.
"Cepat sekali kau datang, Jayden."
Pria bernama Jayden itu hanya menghela nafas panjang.
"Ada masalah apa sehingga kau ingin menemuiku, Erick?" tanya Jayden dengan wajah datarnya.
Erick hanya tertawa geli melihat wajah datar milik sahabatnya.
"Kenapa kau tertawa, Erick?" tanya Jayden dengan nada kesal.
"Kau lucu sekali," balas Erick.
Jayden tersenyum masam, ia benar-benar tidak habis fikir dengan perkataan Erick. Jayden mengenal Erick sejak masih sekolah dasar, Erick yang dulu memiliki sifat yang dingin dan datar kini berubah menjadi sosok yang sangat berbeda.
"Apa kau salah makan, Erick?" tanya Jayden, "Apa kau sedang demam?"
Erick menatap datar sahabatnya itu.
"Apa yang ingin kau sampaikan padaku?" tanya Jayden.
"Devon kembali membuat kekacauan di Markas Rangga," balas Erick.
"Apa!" teriak Jayden yang membuat Erick hampir terjungkal.
"Bisakah kau tidak berteriak sekencang itu, Jayden. Kamu membuatku sangat terkejut," ujar Erick.
"Hm."
Jayden hanya menatap datar sahabatnya.
"Apa yang Devon lakukan?" tanya Jayden.
"Dia membakar markas gudang persenjataan legal milik Rangga," balas Erick.
"Kita temui Rangga sekarang," ujar Jayden.
Erick dan Rangga pun pergi.
Kembali ke New York, Amerika Serikat...
Alisia telah selesai merajut pakaian hangat yang ia buat sendiri dengan kedua tangan mungilnya.
"Aku akan memberikan pakaian hangat ini kepada Ayah dan Bunda. Mereka pasti sangat senang dengan hadiahku ini," ujar Alisia.
Alisia pun bangkit dari kursi favoritnya lalu masuk ke dalam Mansion milik Ayahnya.
Alisia mulai menelusuri penjuru Mansion, ia tidak menemukan kedua orang tuanya.
"Ayah sama Bunda ke mana ya?" tanya Alisia dengan raut wajah bingung.
Alisia menatap sebuah surat yang diletakan begitu saja di sebuah meja berbentuk hati.
"Apa ini surat untuk Ayah? Kenapa juga Ayah tidak membukanya?" tanya Alisia.
Alisia pun mengambil surat itu dan membukanya. Setelah membaca surat itu, tubuh Alisia mendadak lemah, air mata tidak sanggup lagi ia bendung. Ia telah mengetahui semua kebenarannya, ternyata dirinya bukanlah anak kandung dari kedua orang tua yang merawatnya. Alisia kembali terkejut saat isi surat itu mengatakan bahwa kedua orang tua yang merawatnya saat ini adalah orang yang tega memisahkannya dengan orang tua biologisnya.
"Ayah, Bunda. Aku tidak menyangka bahwa kalian tega memisahkanku dengan kedua orang tua asliku," lirih Alisia.
Rasanya ia tidak mampu lagi untuk berdiri dengan tegak, hatinya telah dihancurkan oleh kedua orang tua palsunya.
"Kalian tega memisahkanku dengan kedua orang tuaku. Maka, aku bersumpah akan memisahkan kalian dari orang yang kalian sayangi," ujar Alisia dengan nada tegas.
Alisia menatap sendu baju hangat yang telah ia rajut dengan tangannya sendiri.
"Aku akan meninggalkan Mansion ini malam ini juga," ujar Alisia.
Alisia pun pergi ke kamarnya dengan air mata yang masih mengalir dari bola mata ke wajahnya.
Sesampainya di kamar...
Alisia mengambil koper dengan ukuran yang sangat besar.
"Aku tidak akan mengambil apa pun barang-barang yang ada di Kamar ini kecuali pakaian dan perlengkapan khususku," ujar Alisia.
Alisia membuka lemari pakaiannya dan mulai menyusun pakaian-pakaian miliknya ke dalam koper besar itu.
Setelah selesai menyusun pakaiannya ia mulai memasukkan perlengkapan mandi dan juga alat-alat kecantikan alami miliknya.
Alisia menutup kembali kopernya.
"Sebaiknya aku membersihkan diri dahulu," ujar Alisia.
Alisia pun masuk ke dalam kamar mandi.
Beberapa menit kemudian...
Alisia telah selesai mandi, ia memakai setelan levis panjang tidak ketat berwarna biru muda cerah.
"Aku harus kuat. Alisia tidak boleh lemah," ujar Alisia.
Alisia tersenyum dan mulai menyisir rambut hitam legam yang panjang. Meskipun tinggal di Eropa, ia tidak suka mewarnai rambutnya. Ia sangat mensyukuri apa yang telah Allah SWT ciptakan untuknya. Setelah selesai menyisir rambut miliknya, Alisia mengambil sepatu dan memakainya.
"Aku melupakan sesuatu," ujar Alisia.
Alisia membuka kembali lemarinya dan mengambil sepuluh celengan kaca miliknya.
Alisia mulai memecahkan semua celengannya.