/0/28969/coverbig.jpg?v=e2667e0f3676b243d8721eb0c8a0c167&imageMogr2/format/webp)
Lina hanya bisa menahan sabar setiap kali mendengar ocehan suaminya, Randi. Pria itu bekerja sebagai kuli bangunan, berangkat pagi buta dan pulang dengan tubuh penuh keringat. Namun, yang paling membuat Lina sesak bukanlah lelahnya hidup miskin, melainkan kenyataan bahwa setiap hari dia hanya dijatah uang dua puluh ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Harga-harga yang semakin naik membuat Lina sering kebingungan. Beras menipis, sayur tak terbeli, dan anak-anak butuh uang sekolah. Randi memang baik, tapi keras kepala dan gengsinya tinggi. Ia menolak jika Lina ingin membantu mencari penghasilan tambahan. Hingga suatu hari, godaan itu datang tanpa Lina sadari. Di rumah sebelah tinggal pasangan Damar dan Rina. Damar bekerja sebagai teknisi listrik di perusahaan besar, gajinya tentu jauh lebih besar dibanding Randi. Awalnya, Lina hanya memperhatikan Damar diam-diam - cara pria itu berbicara sopan, penampilannya rapi, dan tatapannya yang tenang. Namun, siapa sangka, Damar ternyata juga sering memperhatikan Lina. Pandangan-pandangan singkat itu perlahan berubah menjadi percakapan kecil, lalu pertemuan-pertemuan diam-diam. Mereka saling memberi perhatian, sesuatu yang sudah lama tak dirasakan Lina dari suaminya sendiri. Sejak dekat dengan Damar, kehidupan Lina berubah. Entah bagaimana, uang belanja yang dulu pas-pasan kini selalu cukup. Ia bisa membeli lauk yang lebih layak, pakaian baru untuk anak-anaknya, dan sesekali menikmati makanan yang dulu hanya bisa dibayangkan. Namun setiap kali memandangi wajah Randi yang tertidur lelah sepulang kerja, hati Lina mulai terasa berat. Ia tahu, semua yang ia nikmati kini tak sepenuhnya benar. Tapi di sisi lain, ia juga merasa tak sanggup lagi hidup dalam kekurangan yang tiada akhir.
Pagi itu matahari baru saja naik ketika Lina sudah berdiri di dapur sempit rumah kontrakannya. Dapur yang catnya mulai mengelupas, dengan meja kayu yang sudah retak di ujungnya, dan kompor gas tua yang api birunya sering berubah jadi kuning. Aroma kopi hitam menguar, bercampur dengan bau minyak goreng dari wajan yang mulai gosong di pinggirannya.
Di atas meja hanya ada dua butir telur dan segenggam sayur kangkung yang layu. Lina menatapnya cukup lama sebelum menarik napas panjang.
"Dua butir telur buat empat orang... ya, paling aku kasih buat anak-anak aja," gumamnya pelan.
Ia mengaduk kopi di gelas kecil, kemudian meletakkannya di atas meja ruang tamu yang sederhana. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki berat dari kamar-Randi, suaminya, keluar dengan wajah masam dan rambut acak-acakan.
"Belum siap juga makanannya, Lin?" suaranya agak tinggi, meski belum sepenuhnya marah.
Lina menoleh cepat, menahan diri agar tidak menjawab dengan nada yang sama. "Sebentar, aku lagi masak, Mas. Telurnya tinggal digoreng."
Randi mendengus kecil. Ia duduk di kursi plastik dekat pintu, membuka dompet lusuhnya, lalu mengambil selembar uang dua puluh ribu. "Ini buat belanja hari ini."
Lina menatap uang itu tanpa bergerak. "Cuma ini, Mas?"
"Cuma itu," jawab Randi datar. "Kemarin upahku baru cair separuh, sisanya minggu depan. Jangan banyak tanya, Lin. Uang nggak bisa tumbuh sendiri."
Lina menggigit bibirnya. Rasanya ingin sekali menjawab bahwa dua puluh ribu tidak cukup untuk membeli beras, sayur, minyak, dan kebutuhan anak-anak yang harus sekolah. Tapi ia tahu, percuma berdebat. Ujung-ujungnya hanya akan membuat Randi tersinggung.
"Baik, Mas," jawabnya pelan sambil menerima uang itu.
Randi berdiri, meminum kopinya seteguk, lalu mengenakan topi lusuh dan jaket kusamnya. "Aku berangkat dulu. Nanti sore pulangnya agak malam, ada lembur di proyek."
Lina hanya mengangguk. Begitu suara motor suaminya menghilang di tikungan, ia duduk di kursi ruang tamu dan menatap uang dua puluh ribu itu lama sekali.
"Bagaimana aku bisa cukupin semuanya..." bisiknya, lirih sekali.
Siang hari, Lina pergi ke warung langganannya membawa uang itu. Ia membeli beras sekilo, minyak goreng setengah liter, dan sedikit tahu tempe. Uang di tangannya nyaris habis, bahkan tanpa sempat membeli kebutuhan anak-anak. Ia menatap sisa koin di telapak tangannya dengan getir.
Saat ia berjalan pulang melewati halaman rumah tetangga, matanya tak sengaja bertemu dengan seorang pria yang sedang memperbaiki kabel di depan rumahnya. Pria itu tinggi, berkulit sawo matang, dan memakai seragam berwarna oranye bertuliskan PLN.
"Pagi, Bu Lina," sapa pria itu sambil tersenyum ramah.
Lina terkejut sedikit. "Oh, Pak Damar... pagi. Lagi perbaiki listrik, ya?"
"Iya, kabelnya korslet sejak semalam," jawab Damar santai. "Istri saya sudah teriak-teriak tadi malam, takut kulkasnya rusak."
Lina tertawa kecil. "Bu Rina memang cerewet, tapi baik."
"Iya, itu betul," jawab Damar sambil tersenyum lebar. Pandangannya sempat menatap Lina sedikit lebih lama dari seharusnya, sebelum ia kembali fokus pada pekerjaannya.
Tatapan itu membuat dada Lina berdebar aneh. Ia buru-buru berpaling, melanjutkan langkah pulang. Namun entah kenapa, senyum ramah Damar itu terus terbayang di kepalanya.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa-atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Tapi dalam diam, ada sesuatu yang mulai berubah di dalam hati Lina.
Setiap kali Damar lewat di depan rumahnya, ia merasa ada kehangatan yang aneh, sesuatu yang membuatnya ingin menyapa. Kadang Damar sekadar melambaikan tangan, kadang hanya tersenyum kecil. Tapi perhatian sekecil itu sudah cukup membuat Lina merasa... dilihat.
Suaminya, Randi, hampir tak pernah bertanya bagaimana harinya berjalan. Pulang kerja hanya untuk makan, mandi, lalu tidur. Setiap keluhan Lina soal kebutuhan rumah tangga selalu dijawab dengan dingin.
"Kalau kurang, ya dihemat. Aku juga capek kerja tiap hari, Lin," kata Randi suatu malam sambil menatap layar ponsel bututnya.
Lina tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah suaminya yang semakin asing. Lelaki itu dulu begitu hangat di awal pernikahan mereka. Tapi sekarang, seolah antara mereka hanya ada kewajiban, bukan kasih.
Dan di saat seperti itu, Damar datang seperti angin segar yang membawa kehangatan yang sudah lama hilang.
Suatu sore, ketika Lina sedang menjemur pakaian di halaman, Damar datang menghampiri pagar rumahnya.
"Bu Lina, boleh pinjam ember? Ember di rumah bocor, Rina lagi nyuci," katanya sambil tersenyum.
"Oh, tentu boleh. Tunggu sebentar ya," jawab Lina. Ia mengambil ember biru dari dapur dan menyerahkannya lewat pagar.
"Terima kasih, Bu Lina. Kalau nggak ada ibu, repot juga saya," ujar Damar dengan nada sedikit bercanda.
Lina tersenyum malu. "Ah, biasa aja, Pak Damar. Tetangga kan harus saling bantu."
"Betul," jawab Damar, lalu menatap Lina dengan lembut. "Tapi nggak semua tetangga sebaik Ibu."
Kalimat itu membuat Lina terdiam. Ia tahu Damar tidak bermaksud apa-apa, tapi cara tatapannya membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Malam itu, ia memikirkan kata-kata Damar berkali-kali. Ada rasa bersalah yang mulai tumbuh, tapi juga ada rasa yang tak bisa ia tolak.
Beberapa minggu kemudian, Lina mulai sering bertemu Damar tanpa sengaja. Kadang di warung, kadang di jalan saat sama-sama mengantar anak ke sekolah. Mereka berbincang ringan, lalu tertawa kecil. Semuanya tampak sederhana... tapi di balik kesederhanaan itu, ada getaran yang makin sulit disembunyikan.
Rina, istri Damar, bekerja di toko pakaian dan sering pulang larut malam. Sementara Randi semakin sibuk dengan proyek barunya. Keadaan itu memberi ruang bagi mereka berdua untuk saling melihat-dan akhirnya, saling mencari.
Suatu hari, hujan turun deras ketika Lina sedang pulang dari pasar. Ia berteduh di teras rumah Damar yang kebetulan paling dekat. Damar yang baru saja pulang kerja melihatnya dan langsung menawarkan masuk.
"Masuk aja dulu, Bu Lina. Hujannya deras banget," katanya sambil mengambil handuk kecil.
Lina sempat ragu. Tapi hujan begitu lebat dan pakaiannya sudah basah kuyup. Ia pun mengangguk dan melangkah masuk ke ruang tamu rumah itu.
"Terima kasih ya, Pak Damar. Saya ganggu aja."
"Ah, nggak apa-apa. Rina belum pulang, anak-anak juga di rumah ibunya. Cuma saya sendiri," jawab Damar sambil menuang teh hangat ke cangkir.
Suasana menjadi canggung sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar di luar.
Lina menatap foto keluarga Damar di dinding. Rina tampak bahagia dalam foto itu, memeluk dua anak kecilnya. Ada rasa iri yang tiba-tiba menyelusup ke dada Lina-sesuatu yang tak seharusnya ia rasakan.
"Keluargamu kelihatan bahagia," katanya pelan.
Damar tersenyum tipis. "Bahagia itu kadang cuma di foto, Bu Lina. Nyatanya nggak sesederhana itu."
Lina menoleh, menatap wajah Damar yang tampak letih. Tatapan mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti sesaat. Ada keheningan panjang yang tak nyaman tapi juga tak ingin diputus.
Sampai akhirnya, Damar memalingkan wajah dan berkata lirih, "Kadang kita cuma butuh seseorang buat didengar. Bukan dihakimi."
Lina tidak tahu kenapa hatinya bergetar saat mendengarnya. Ia tahu percakapan itu berbahaya, tapi entah kenapa terasa begitu hangat.
Malam itu menjadi awal dari hubungan yang berbeda. Setelah kejadian itu, mereka mulai sering bertukar pesan singkat. Awalnya hanya sapaan biasa, lalu menjadi obrolan panjang setiap malam. Mereka mulai curhat, saling mengeluh tentang pasangan masing-masing, dan perlahan... saling menenangkan.
Beberapa bulan berlalu, dan perubahan dalam hidup Lina mulai terlihat. Ia tidak lagi kebingungan soal uang belanja. Ada saja alasan setiap kali ia bisa membeli sesuatu yang sebelumnya mustahil.
Ketika Randi pulang membawa nasi bungkus dari warung murah, Lina sudah menyiapkan lauk ayam goreng dan sambal terasi yang menggoda. Randi sempat heran, tapi tidak menanyakan lebih jauh. Ia hanya berpikir mungkin istrinya mendapat tambahan uang dari saudara.
Namun bagi Lina, setiap suap makanan kini terasa seperti dosa yang manis. Ia tahu sumbernya bukan dari kerja keras suaminya, melainkan dari pertemuannya yang makin sering dengan Damar.
Kadang Damar memberinya uang "pinjaman" untuk alasan sederhana-membeli susu anak, memperbaiki atap bocor, atau sekadar mengganti sandal anaknya yang putus. Tapi Lina tahu, tidak ada pinjaman tanpa maksud. Ia tahu, ia telah melewati batas.
Malam-malamnya sering diisi penyesalan, tapi setiap kali Randi kembali dengan wajah letih tanpa senyum, hatinya justru merasa semakin dingin.
"Kalau aja kamu mau berubah, Mas," bisiknya suatu malam sambil menatap punggung suaminya yang tertidur. "Aku nggak akan sejauh ini..."
Hari demi hari, perasaan bersalah itu tumbuh bersama ketergantungan. Lina tak bisa berhenti bertemu Damar, meski hatinya tahu itu salah. Damar pun semakin berani. Kadang ia datang membawa makanan, kadang uang belanja, dan selalu dengan alasan yang terdengar logis.
Sampai suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, Rina-istri Damar-melihat sesuatu dari balik jendela rumahnya. Lina dan Damar sedang berbincang terlalu lama di depan rumah Lina, terlalu dekat, terlalu akrab.
Tatapan Rina menajam, bibirnya mengepal. Ia tidak bicara apa pun malam itu. Tapi sejak hari itu, tatapannya kepada Lina tak lagi sama.
Sementara Lina, tanpa sadar, telah menanam benih kehancurannya sendiri.
Di malam yang sunyi, Lina duduk sendirian di ruang tamu. Di tangannya, ada uang beberapa lembar yang baru diberikan Damar sore tadi. Ia menatapnya dengan pandangan kosong, lalu menunduk.
Tangannya bergetar, hatinya gemetar. Ia tahu ia sedang bermain api yang bisa membakar seluruh hidupnya kapan saja. Tapi ketika bayangan wajah Randi melintas di pikirannya-wajah lelah, dingin, tanpa perhatian-ia justru merasa hampa.
"Setidaknya... aku merasa dihargai," bisiknya lirih, seolah membenarkan kesalahannya sendiri.
Namun jauh di dalam dirinya, ia tahu, tidak ada kebahagiaan yang benar-benar lahir dari kesalahan. Hanya waktu yang menunggu untuk membongkarnya.
Bab 1 Dua butir telur buat empat orang
24/10/2025
Bab 2 jangan kirim pesan
24/10/2025
Bab 3 mendengar ocehan suaminya
24/10/2025
Bab 4 Ia sudah menangis sampai lelah
24/10/2025
Bab 5 lingkungan rumah
24/10/2025
Bab 6 mereka masih dirundung ketakutan
24/10/2025
Bab 7 Kita hadapi bareng-bareng
24/10/2025
Bab 8 takut terseret dalam gosip
24/10/2025
Bab 9 kelelahan
24/10/2025
Bab 10 Hari ini ibu akan nemenin kalian
24/10/2025
Bab 11 kita nggak bisa lari
24/10/2025
Bab 12 mereka bakal nyakitin kita
24/10/2025
Bab 13 masih ada kekhawatiran yang tak mau pergi
24/10/2025
Bab 14 kafe yang dulu mereka rahasiakan
24/10/2025
Bab 15 haus akan kebenaran
24/10/2025
Bab 16 Dua bulan setelah penangkapan
24/10/2025
Bab 17 menantang perusahaan
24/10/2025
Bab 18 Jangan coba laporkan ke siapa pun
24/10/2025
Bab 19 Iqbal belum kembali
24/10/2025
Bab 20 matanya tetap penuh kewaspadaan
24/10/2025
Bab 21 menghilang
24/10/2025
Bab 22 Mereka mengawasi
24/10/2025
Bab 23 Kau pikir menang kemarin cukup
24/10/2025
Bab 24 pengkhianatan
24/10/2025
Bab 25 Semua yang kau lakukan akan terungkap
24/10/2025
Bab 26 pengalihan
24/10/2025
Buku lain oleh Aprilia Krisnawati
Selebihnya