Aku Tak Butuh Suami, Aku Butuh Keadilan
risi nasi sisa kemarin. Uap air mendidih dari teko di kompor gas kecil memenuhi udara lembap ruangan itu. Ia menghela napas panjang. Sejak pagi, Randi belum pulang dari proye
ahun, menarik ujung daster ibunya. "Bu,
tiba menggenang. "Iya, Nak. Ibu masak dulu, ya. Nanti mak
anan - minyak goreng, gula, dan bahkan sekilo daging ayam. Katanya, itu hanya titipan. Tapi Lina tahu, itu bukan titipan. It
il memotong bawang. Matanya pedih, entah karena
h menyala. Suara musik lembut terdengar, disusul tawa kecil. Entah mengapa, dada Lina terasa nyeri mendengarnya. Ada rasa iri yang tak b
pria itulah yang kin
ujan. Tanpa bicara banyak, ia langsung melempar sandal ke dekat pintu,
tanya Lina hati-hati samb
anyak-banyak. Uang tingga
ak ayam. Ada tetangga yang ng
ya curiga. "Te
"E... Bu Rina,"
er. Hati-hati aja, Lin. Jangan keseringan bergau
Dalam diam, Lina menatap punggung suaminya yang lelah. Ia tahu, pria itu bekerja keras, tapi entah mengapa, semua te
ng menemani. Di luar, petir menyambar sesekali, dan Lina diam-dia
ra motor berhenti di depan rumah. Ia menoleh. Damar turun dari motornya, masih mengenakan seragam
ina," sapa
awab Lina cepat, jantung
putus. Tapi sekalian, ini ada sedikit titipan," uc
bingung. "Tit
banyakan, katanya kalau dibagi-bagi ngga
tu dengan tangan gemetar.
rucap, sesuatu yang menggantung di udara. Damar akhirnya mengangguk pelan dan beranjak pergi. Tapi s
laman. Di tangannya, secangkir kopi yang mulai dingin. Rina
i, ya? Dia cerita tadi ke aku, katan
"Oh... nggak, cuma
dang kalau kerja suka kebanyakan ngomo
tawa. "Nggak, ko
kin menusuk. Ia tahu, semua ini salah. Tapi di sisi lain, setiap kali melihat Dama
amar. Mereka tidak pernah melakukan hal yang terlalu jauh, tapi kedekatan batin itu makin dalam. Pesan-pesan
n itu mulai berub
ina sedang menatap layar ponsel sambil tersenyum. "
apa-apa. Tadi Rina kirim pesan,
" suara Randi meni
Kok kamu ngom
Aku tahu kamu mulai banyak omong sama laki-laki itu. Hati-ha
am hatinya, ada ketakutan-bukan hanya karena ucapan Randi, tapi karena
erputar. Ia merasa seperti perempuan berdosa, tapi juga korban keadaan. Ia ingin berhenti, tapi
an acara ulang tahun anaknya. Di rumah besar itu, Lina disambut hangat. Rin
n, Pak?" tany
eh, tapi hati-hati ya, nanti kalau Rina
inya memanas. "Say
usah takut. Aku tahu semua ini salah, tapi a
berputar. Ia ingin berkata sesuatu, tapi tenggorokannya ke
ang tahunnya udah si
sibuk merapikan meja. Tapi dalam hati,
pulang. Damar mengantarnya sampai halaman. Lampu te
h bantu hari ini,
," jawab L
rdengar. Lalu tiba-tiba, Damar menggenggam tangan L
u butuh tempat buat cerita.
irinya yang justru menolak melepaskan genggaman itu. Tapi sebelum semp
Kamu di
ungnya berdegup kencang, bukan hanya karena takut ketahuan,
hilang di balik pagar. Hujan rintik-rintik mulai turun lagi malam itu
h tempat cerita, aku ada." Sesederhana itu, tapi terasa menembus relung hatinya yang paling
r bukan miliknya. Ia tahu, Rina tak pantas dikhianati. Tapi sema
dah aku lakukan?" bisikn
an mata basah. Ia tahu, Randi mungkin tak sempurna, tapi dulu pria itulah yang pertama
lam suara rintiknya, Lina tahu-hi
bahwa sesuatu yang berbahaya sedang tumbuh di
n jalanan yang basah licin. Lina duduk di teras, menatap cangkir kopi yang mulai mendingin, mencoba menenangkan pikirannya.
hat sepele, tapi bagi hatinya, itu ibarat pe
panggang memenuhi ruangan. Tapi Lina tidak berani menatapnya. Ia takut
" kata Randi sambil mele
lan. "Makasih, Mas
l yang berkeliaran di dapur tua mereka. Lina menelan l
emalam. Tangannya kotor, basah, tapi matanya sesekali melirik ke arah rumah Lina. Ia ta
sa tenang kalau nggak lia
tu yang tidak pernah ia rasakan di rumah sendiri. Rina... istrinya, baik, tapi dingin. Sejak awal pernikahan, Rina terlalu sibuk dengan
. Ia menyadari perubahan sikap Lina belakangan ini: senyumnya lebih jaran
al di meja. Ia tahu itu salah, tapi rasa curiga menuntunnya. Ia membuka layar ku
dari
rindu
gin melihatm
rumahmu, Lin. J
danya panas. Ia tahu, perasaannya campur aduk: marah, kecewa, bahkkeluar kemarin siang terbayang jelas di matanya. Ia tahu
, ia berjalan di antara genangan air, mencoba menjaga wibawa agar tidak basah kuyup. Tapi dari kej
irin dia?" gumam Damar, menatap Lin
dengan tetangga lain, Bu
bil menatap keranjang belanja Lina. "Eh, belanj
u. "Iya, Bu. Lagi
ngar-dengar kamu sering dekat sama Damar ya? Janga
nggak, Bu. Kami kan
nyelidik. "Kalau kamu bilang begitu... semoga aja, ya. Ta
ada. Kata-kata Bu Yuni membuat hatinya semakin gelisah
yang tertidur. Raka tidur di pangkuannya, sementara kakaknya, Nisa, sudah terlela
el bergetar. Pe
. Mau ngobro
ini berisiko. Tapi hatinya tetap ingin melihatnya. Ia me
alan. Hujan menetes di rambutnya, ta
ng?" tanya L
u nggak tenang kalau nggak tau k
nggak bisa terus gini. Kalau
ak bisa pura-pura nggak peduli sama ka
nya suara hujan ya
Lina. "Aku takut Randi tau. A
janji, aku bakal jaga. Aku nggak ba
. Lampu sorotnya menyinari jalan. Lina menatap deng
kan tangan Damar. "Mas...
dian melepaskan. "Aku pergi
el kamu," katanya sambil mengacungkan ponsel. "Aku nemuin ini
a tahu, semuanya sudah terbongkar. Tidak ada l
ku cuma... aku cuma butuh pe
turun. "Kamu... kamu selingkuh, Lina? Selama ini
Aku nggak bermaksud... aku cuma... aku lelah hidup k
eharusnya bilang, aku butuh perhatian...
si. "Kamu hancurin kepercayaan aku, Lina
ya kini berada di titik terendah. Tak ada yang bisa menolonra banyak, tapi tatapannya menusuk setiap kali Lina melintas. Lina beru
sudah terlalu berbahaya. Rina mulai curiga, tetangga mula
rkesudahan. Lina merasa sendirian, bersalah, dan hancur. Semua yang ia l
k ada lagi jalan untuk mundur. Semua harus dihadapi. Dan yang paling menyakitkan, ia harus menghad
sahi bantal, dan ia merasakan kehampaan yang begitu dalam. Ia tahu, hidup
a luka ini bisa sembuh, dan ia masih bisa men
dunia tetap berjalan, tidak pedu