Aku Tak Butuh Suami, Aku Butuh Keadilan
i ini, suasananya berbeda. Lina duduk di tepi ranjang, memandangi suaminya yang tertidur deng
, pesan dari
isa tidur, Lin. Kep
kirim pesan malam-malam b
ur. Aku cuma pengin
ukup lama, lalu mengetik baku juga
dalikan oleh sesuatu yang lebih kuat dari logika. Ia meletakkan ponsel di bawah bantal, lalu
h kopi untuk Randi, lalu menyiapkan bekal nasi dengan sambal dan telur goreng. Randi m
sok ada rapat orang tua di sek
atang aja. Tapi jangan minta
pelan. "Iya, M
p pintu yang baru saja ditutup suaminya. Perasaannya hampa, se
ar suara pesan masuk. Ponselnya
ah sebentar, Lin. Ad
erdetak cepat. Ia menoleh ke arah jende
kan seragam kerjanya yang bersih dan rapi.
enyerahkan bungkusan itu. "Sedikit sus
itu dengan gugup. "Aduh,
uma pengin bantu. Aku ta
lama. "Aku nggak mau orang salah paha
lah paham, apa pun yang kita lakuin bakal
aman - sekaligus takut. Aman, karena Damar memberinya perhatian yang tul
, Mas," bisik
elangkah pergi. Tapi langkahny
gang, di bawah pohon mangga besar yang sepi. Kadang hanya untuk berbicara, kadang untuk sekadar dudu
tahu gimana?" tan
pagi sampai malam. Aku bahkan jarang makan bareng dia. Kadang aku ber
ng ngerasa begitu sama Randi. Tapi
Kalau dua orang sama-sama terluka, tapi cuma bi
ya yang terdalam, ia tak bisa menolak logika lembut dari kata-kata itu.
ering merapikan diri sebelum berangkat kerja. Parfumnya lebih wangi, bajunya s
na menatapnya d
nget. Sering pulang malam juga
"Iya, banyak lembur.
itu. Tapi proyeknya kok kayaknya deket banget, ya? So
kecil. "Lah, kan rumah dia searah jalan ke pro
uga sih." Tapi dalam hatinya
pendiam dari biasanya. Kadang matanya menatap tajam tanpa alasan. Ia tak per
piring, Randi mendekat pelan. "Lin, akhi
"Enggak, Mas. P
Randi dingin. "Soalnya tadi aku li
galir. Suara itu terdengar menekan di teli
tulan. Aku mau beli s
Aku nggak mau nuduh, Lin. Tapi hati-hati. Orang bisa ng
nahan air mata. "
dan menangis diam-diam. Bukan karena takut, tapi karena merasa
tara. Damar mengusulkan itu demi kebaikan keduanya, agar tidak menimbulkan kec
asihan, kini berubah menjadi kebutuhan. Mereka mer
Damar meng
Lin. Rasanya ha
i. Kita udah sepak
gin lihat kamu sebentar aja.
sekali. Hatinya berperang. Ta
n di bawah pohon mangga besar, tempat biasa mereka bertem
emu," katanya lirih. "Soalnya tiap
"Kita nggak bisa terus begini.
epat. "Aku yang salahin diri sendiri. Aku yang minta m
nya menetes. "Mas jangan ngomon
gat dan kuat. "Aku nggak peduli apa kata
, sementara jari-jari mereka masih saling mengg
Lina. Ia mengetuk pintu dengan wajah tenang, tapi mata
apa ya?" tanyanya
mau ngasih tahu, Bu Lina. Hati-hati kalau bicara sama suami saya.
i tajam. Lina terpaku, ja
maksud apa-apa. Saya
n. Saya cuma peringatin aja. Kadang perempuan suka
pinya terbakar. Rina kemudian berb
duk di lantai. Tangannya menutup wajah.
isiknya. "Aku u
nomor teleponnya. Tapi Damar tidak menyerah. Ia menunggu di ujung gang, mengirim sura
ga. Suatu malam, ia memergoki Lina sedang membaca selembar kertas keci
uara Randi pel
elanja, Mas," j
inya, mengambil kertas it
ku masih nunggu. Aku nggak bi
emerah. Tangannya bergetar
iapa?" suaranya s
u bisa j
a pecah di ruang sempit itu. "Selama ini
laskan, tapi suaminya sudah
butuh diperhatiin, Mas... a
terhuyung, hampir jatuh. Randi memandangn
nting tulang tiap hari buat keluarga, ta
u..." Lina terisak, meme
membanting pintu kamar, dan meninggalk
jadinya. Ia tahu, semuanya sudah hanc
gkak. Dari jauh, Damar datang mendekat, tapi langkah
g terjadi?" sua
jawab Lina dengan suara parau.
"Aku... aku minta maaf. Aku
udah salah dari awal, Mas. Aku udah hancurin rumah
n mengangguk dengan mata basah
yang temaram. Hujan kembali turun rintik-rintik, dan Lina
nya, ia benar-bena
iling-dinding kusam, meja reyot, dan sisa kopi Randi di atas me
di kaca jendela, wajah dengan
ar..." bisiknya lirih. "Sedikit pe
n bukan alasan untuk berbuat salah. Karena tidak ada ken