Janji Kita Hanyalah Debu

Janji Kita Hanyalah Debu

Aprilia Krisnawati

5.0
Komentar
Penayangan
25
Bab

Malam itu, Rania duduk di ruang tamu yang sepi, menatap jam dinding yang berdetak pelan. Ketika Farel, suaminya, akhirnya pulang, wajahnya tampak tenang, seolah tak ada yang perlu dijelaskan. Rania hanya menunduk, menyembunyikan badai di dadanya. Ia sudah terlalu lelah mencari alasan untuk tetap bertahan. Dalam diam, Rania memutuskan untuk pergi. Ia teringat janji yang pernah ia ucapkan pada dirinya sendiri bertahun-tahun lalu - sekali disakiti, aku akan pergi tanpa menoleh ke belakang. Sejak malam itu, ia mulai menyiapkan segalanya dengan hati-hati: berkas-berkas penting, tabungan yang diam-diam ia kumpulkan, hingga surat gugatan cerai yang disimpannya di laci meja rias. Rania memberi waktu tiga puluh hari untuk dirinya sendiri. Tiga puluh hari untuk menutup bab yang telah lama membuatnya berdarah. Ia menghitung mundur, setiap hari terasa seperti detik terakhir dari cinta yang pernah ia perjuangkan sendirian. Di hari ulang tahun Farel, Rania datang diam-diam ke kantornya. Ia membawa kue, balon kecil, dan senyum yang dipaksakan. Ia ingin mengucapkan selamat, mungkin untuk terakhir kalinya. Namun langkahnya terhenti di depan pintu ruang kerja Farel. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, ia melihat sesuatu yang meremukkan seluruh hatinya - Farel sedang memeluk dan mencium Alena, mantan kekasih yang dulu pernah membuat Rania cemburu bertahun-tahun lalu. Kue di tangannya gemetar, senyumnya runtuh bersama air mata yang tak terbendung. Saat itu juga, Rania tahu... tak ada lagi alasan untuk bertahan.

Bab 1 menenangkan bagi sebagian orang

Malam itu, hujan turun perlahan. Tetesannya jatuh di kaca jendela, menciptakan suara ritmis yang menenangkan bagi sebagian orang, tapi tidak bagi Rania. Di ruang tamu yang temaram, ia duduk memandangi jam dinding yang berdetak lambat, seolah sengaja mempermainkan waktu. Sudah lewat pukul sebelas malam. Suaminya belum juga pulang.

Layar ponselnya berkali-kali menyala, bukan karena pesan dari Farel, tapi dari notifikasi toko online dan grup keluarga yang sedang membahas rencana liburan. Ia menatap nama suaminya di daftar kontak. Jemarinya ingin menekan tombol panggil, tapi segera ia urungkan. Sudah terlalu sering ia bertanya, "Kamu di mana?" dan terlalu sering pula jawaban itu datang dingin dan terburu-buru - "Masih rapat."

Namun Rania tahu, rapat itu hanya alasan. Ia tak sebodoh dulu. Ada sesuatu yang berubah dalam rumah tangga mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, tapi jelas terasa oleh hati.

Suara pintu terbuka pelan membuat Rania menegakkan tubuh. Ia mendengar langkah kaki yang dikenalnya. Farel masuk tanpa rasa bersalah sedikit pun, mengenakan jas yang masih rapi dan aroma parfum mahal yang bukan miliknya.

"Belum tidur?" suara Farel terdengar datar, bahkan cenderung acuh.

Rania tersenyum tipis. "Menunggu kamu."

"Kenapa? Besok juga bisa ngobrol. Aku capek banget," jawabnya sambil melepas dasi, berjalan menuju kamar tanpa menatap istrinya sedikit pun.

Rania mengikutinya dengan pandangan kosong. Tak ada lagi pelukan hangat, tak ada tanya kabar. Rumah ini seperti hanya diisi dua orang asing yang kebetulan tinggal di bawah atap yang sama.

Di kamar, Farel langsung menaruh ponselnya di meja, kemudian beranjak ke kamar mandi. Rania sempat melihat notifikasi yang muncul di layar - sebuah pesan dari nama yang sudah lama ia hapus dari ingatan: Alena.

Pesannya singkat:

"Hati-hati di jalan, aku masih kangen."

Rania menelan ludah, tangannya bergetar. Ia menatap pintu kamar mandi yang tertutup, lalu memalingkan wajah ke arah jendela. Ia tahu apa arti pesan itu. Ia tahu arti kebohongan yang sudah terlalu sering terdengar manis di bibir suaminya.

Malam itu, Rania tidak menangis. Ia hanya duduk di ujung ranjang, menatap kosong ke lantai, sementara pikirannya berkelana ke masa lalu - masa ketika cinta mereka begitu hangat dan sederhana.

Dulu, Farel adalah sosok yang lembut, penuh perhatian. Ia datang dalam hidup Rania seperti hadiah yang tidak pernah diminta tapi sangat dibutuhkan. Mereka berjuang bersama dari nol. Rania masih ingat bagaimana mereka makan mi instan di teras kontrakan kecil sambil menertawakan masa depan yang belum pasti.

Namun, setelah karier Farel naik, semuanya berubah. Farel menjadi orang asing. Waktu yang dulu ia berikan tanpa batas kini hanya sisa-sisa, serpihan yang tidak lagi cukup untuk menumbuhkan cinta.

Malam itu juga, Rania memutuskan sesuatu.

Ia akan pergi.

Bukan karena ia tidak mencintai Farel, tapi karena ia sudah terlalu sering disakiti atas nama cinta.

Ia teringat janji yang pernah ia buat pada dirinya sendiri saat ibunya dulu meninggal karena disia-siakan oleh ayahnya.

"Kalau aku menikah nanti, sekali aku dikhianati, aku akan pergi. Aku tidak akan seperti Mama."

Air mata menetes perlahan. Ia mengambil buku catatan kecil dari laci, menulis tanggal hari itu di halaman pertama.

Hari ke-1: Aku mulai menghitung mundur. Tiga puluh hari untuk berani pergi.

Hari demi hari berlalu dengan keheningan yang menyakitkan. Farel tetap dengan rutinitasnya - berangkat pagi, pulang larut, kadang mabuk, kadang pura-pura sibuk.

Rania mulai menyiapkan semuanya diam-diam. Ia memindahkan sebagian uang dari rekening bersama ke rekening pribadinya, mengumpulkan berkas-berkas penting, dan menulis surat gugatan yang belum ia tandatangani. Ia ingin memastikan dirinya siap, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.

Satu malam, Rania sedang melipat pakaian ketika Farel masuk kamar dengan wajah kesal.

"Kamu kenapa sering diam akhir-akhir ini?" tanya Farel tiba-tiba.

Rania menatapnya, bingung apakah pertanyaan itu sungguh tulus atau hanya basa-basi.

"Tidak apa-apa," jawabnya pelan.

Farel mendengus. "Kalau ada masalah, bilang. Jangan diem-diem kayak gini. Aku capek kalau harus nebak."

Rania ingin tertawa mendengarnya. Capek? Bukankah selama ini justru ia yang paling lelah mencoba memahami seseorang yang bahkan tidak ingin dipahami?

Ia hanya menatap Farel, lalu berkata lirih, "Aku cuma sedang belajar berhenti berharap."

Farel menatapnya sekilas, tak mengerti. "Maksud kamu apa?"

Rania tersenyum, menatap mata suaminya yang dulu ia kagumi. "Kamu tidak akan paham, Farel."

Hari ke-15.

Rania duduk di teras rumah sambil memandangi hujan sore. Ia baru saja mengantar adiknya, Livia, pulang setelah berbagi cerita singkat. Livia sempat curiga melihat wajah kakaknya yang tampak semakin tirus dan mata yang sembab.

"Mbak, kamu kenapa? Kak Farel nggak ada masalah, kan?" tanya Livia waktu itu.

Rania hanya menjawab dengan senyum hambar. "Aku baik-baik saja, Liv."

Tapi sesungguhnya ia tidak baik. Setiap malam ia masih mendengar suara notifikasi ponsel Farel, dan setiap kali, nama Alena muncul di sana. Kadang pesan manis, kadang hanya emoji hati. Tapi itu sudah cukup untuk menghancurkan semua sisa harapan yang pernah ada.

Ia tidak ingin menjadi wanita yang terus menunggu seseorang yang tidak ingin kembali.

Hari ke-25.

Rania menemukan tiket hotel di dalam jaket Farel. Dua malam, satu kamar. Di bawahnya tertulis nama: Alena Putri.

Kakinya lemas. Ia terduduk di lantai, menggenggam tiket itu erat-erat.

Kali ini, tidak ada lagi keraguan.

Ia membuka laptop, mengetik surat gugatan dengan tangan bergetar. Air matanya jatuh membasahi keyboard, tapi ia terus menulis.

Setiap kata seperti pisau yang memotong ikatan lama di hatinya.

Setelah selesai, ia mencetak surat itu dan menyimpannya di amplop cokelat.

Ia menulis nama Farel di depannya, dengan catatan kecil di bawahnya:

"Terima kasih sudah membuatku belajar arti kehilangan."

Hari ke-30.

Hari ulang tahun Farel.

Sejak pagi, Rania sudah menyiapkan segalanya. Ia membeli kue cokelat kesukaan Farel, membungkusnya dengan pita biru. Ia juga membeli balon kecil bertuliskan Happy Birthday, Love!

Meski hatinya hancur, ia ingin menutup semuanya dengan cara yang elegan - tanpa amarah, tanpa teriak, tanpa air mata yang ingin ia tunjukkan. Ia ingin pergi dengan tenang, membawa martabatnya yang utuh.

Siang itu, Rania pergi ke kantor Farel tanpa memberi tahu. Ia mengenakan dress sederhana warna krem dan menyemprot sedikit parfum favoritnya. Wajahnya tampak tenang, tapi dalam dadanya, jantung berdebar kencang.

Sesampainya di kantor, resepsionis mengenalinya.

"Oh, Bu Rania! Lama tidak ke sini. Mau ke ruang Pak Farel, ya?"

Rania tersenyum sopan. "Iya, saya mau kasih kejutan."

"Wah, pas banget, Bu. Soalnya Pak Farel lagi di ruangan, tapi-" resepsionis itu tiba-tiba terdiam, ragu melanjutkan.

"Tapi kenapa?" tanya Rania lembut.

"Ah... nggak apa-apa kok, Bu. Silakan saja ke atas."

Langkah Rania terasa berat saat menaiki tangga. Kue di tangannya semakin berat, seolah tahu bahwa langkah ini akan menjadi langkah terakhirnya sebagai istri.

Ketika sampai di depan pintu ruang kerja Farel, ia mendengar suara tawa. Lembut, namun asing. Lalu terdengar suara Farel... dan satu suara perempuan lain yang sangat dikenalnya.

Alena.

Rania menelan ludah, berdiri kaku. Ia ingin mundur, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia mendorong sedikit pintu yang tidak tertutup rapat, dan pemandangan di depannya menghancurkan segalanya.

Farel berdiri begitu dekat dengan Alena, tangannya melingkar di pinggang perempuan itu. Bibir mereka bersatu, lembut namun penuh hasrat.

Dunia Rania berhenti berputar.

Tangannya gemetar, kue di genggamannya hampir jatuh. Ia mundur selangkah, menutup mulutnya agar isakannya tidak terdengar.

Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dalam sekejap, semua kenangan bertahun-tahun bersama Farel berputar di kepalanya - tawa mereka, perjuangan mereka, janji-janji yang kini hanya tinggal debu.

Ia berjalan mundur perlahan, keluar dari gedung itu tanpa menoleh lagi.

Saat berdiri di bawah hujan, ia menatap langit yang kelabu dan berbisik lirih,

"Aku sudah menepati janjiku, Ma. Aku pergi tanpa menoleh."

Ia meninggalkan kue yang kini sudah basah oleh hujan di bangku taman depan kantor, lalu berjalan pergi, membawa luka yang mungkin tak akan sembuh dalam waktu dekat.

Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, langkah Rania terasa ringan.

Malamnya, Farel pulang ke rumah dengan wajah panik. Ia menemukan ruang tamu kosong, dan di meja makan hanya ada sebuah amplop cokelat dengan namanya.

Tangannya gemetar ketika membuka amplop itu. Di dalamnya ada surat gugatan cerai dan sebuah catatan kecil bertuliskan tulisan tangan Rania:

"Aku pernah mencintaimu dengan seluruh hatiku. Tapi ternyata, hatiku tidak cukup untuk dua orang. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu."

Farel terdiam lama, matanya mulai basah. Ia berlari ke kamar, memanggil nama Rania, tapi rumah itu sunyi.

Tak ada lagi aroma kopi buatan Rania di pagi hari. Tak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya. Yang tersisa hanya keheningan - dan penyesalan.

Di sudut kamar, masih tergantung gaun yang dulu Rania kenakan di hari pernikahan mereka. Putih, sederhana, tapi sarat makna. Kini, warnanya tampak pudar.

Farel menatapnya lama, menunduk, lalu menangis untuk pertama kalinya dalam hidupnya.

Namun semuanya sudah terlambat.

Rania sudah pergi. Dan kali ini, ia tidak akan kembali.

Pagi itu, udara di kota terasa lebih dingin dari biasanya. Matahari belum benar-benar muncul, tapi Rania sudah duduk di pinggir ranjang kecil di kamar kontrakannya yang baru. Dindingnya tipis, catnya sedikit mengelupas, dan hanya ada satu jendela kecil yang menghadap ke gang sempit. Namun entah kenapa, tempat ini terasa lebih menenangkan dibanding rumah besar yang dulu ia tinggali bersama Farel.

Di hadapannya tergeletak koper besar berisi pakaian, beberapa dokumen penting, dan sebuah album foto yang belum berani ia buka. Di sudut meja, ada setangkai bunga mawar kering yang dulu Farel berikan di hari ulang tahunnya - satu-satunya kenangan yang masih ia simpan, bukan karena rindu, tapi sebagai pengingat bahwa cinta bisa layu kapan saja.

Rania menarik napas panjang. Sudah tiga hari sejak ia meninggalkan rumah itu. Tiga hari tanpa pesan, tanpa telepon, tanpa tangisan di depan orang lain. Hanya diam yang menemaninya.

Ia mengaduk kopi instan di cangkir kecil, menatap uap yang perlahan naik. "Mulai hari ini, aku harus belajar hidup lagi," gumamnya pelan.

Telepon genggamnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya bergetar - Livia.

"Haloo, Mbak? Kamu di mana? Kak Farel ke rumah orang tua, dia nyari kamu terus!" suara Livia terdengar cemas di seberang.

Rania tersenyum tipis, meski hatinya menegang. "Aku baik-baik aja, Liv. Jangan kasih tahu dia aku di mana."

"Tapi Mbak, Kak Farel keliatan nyesel banget. Dia-"

"Livia." Suara Rania tegas tapi tenang. "Aku nggak butuh dia datang untuk minta maaf. Aku cuma butuh tenang. Tolong ya, jangan kasih tahu siapa pun."

Ada jeda hening beberapa detik sebelum Livia akhirnya menjawab lirih, "Baik, Mbak. Tapi kalau kamu butuh apa pun, aku siap."

"Terima kasih."

Rania menutup panggilan itu dan menatap ponselnya lama. Ia tahu Livia hanya ingin membantu, tapi kali ini, ia ingin menyelamatkan dirinya sendiri.

Siang itu, Rania keluar mencari kerja. Ia dulunya sempat berhenti dari pekerjaannya di perusahaan desain interior karena Farel ingin ia fokus mengurus rumah. "Aku pengin kamu istirahat, nggak usah capek-capek kerja," kata Farel dulu, yang ternyata hanya ingin membuatnya bergantung sepenuhnya pada dirinya.

Sekarang, Rania sadar betapa mahalnya harga kebebasan.

Ia mendatangi beberapa kafe dan butik kecil di sekitar kota, meninggalkan CV seadanya yang ia perbarui semalam. Banyak yang menolak halus, tapi satu kafe kecil di sudut jalan memberi harapan.

Pemiliknya, seorang perempuan paruh baya bernama Bu Retha, menatap Rania dengan mata lembut. "Kamu bisa mulai besok kalau mau. Kita butuh orang buat bantu di kasir dan nyusun stok bahan. Nggak berat kok."

Rania mengangguk, menahan air mata bahagia. "Terima kasih, Bu. Saya benar-benar butuh pekerjaan ini."

Bu Retha tersenyum, menepuk bahu Rania. "Nggak usah sungkan. Semua orang berhak mulai lagi, Nak."

Kalimat sederhana itu terasa seperti pelukan hangat setelah badai.

Malam harinya, Rania duduk di lantai, menatap jendela kontrakan yang berembun. Ia menulis di buku catatannya:

Hari ke-3 setelah pergi.

Rasanya campur aduk. Aku takut, tapi juga lega. Aku kehilangan seseorang, tapi menemukan diriku sendiri lagi.

Ia menutup buku itu, menatap ke langit-langit, lalu tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa tidur tanpa harus mendengar bunyi notifikasi pesan dari perempuan lain.

Hari-hari berikutnya berjalan perlahan tapi pasti. Rania mulai bekerja di kafe kecil bernama Kopi Lembayung. Setiap pagi, ia membuka pintu toko, menyalakan lampu gantung, dan menyiapkan mesin kopi sambil menikmati aroma biji kopi yang disangrai. Ada sesuatu yang menenangkan dalam rutinitas sederhana itu.

Di sana, ia bertemu beberapa rekan kerja baru - Dira, barista muda yang cerewet tapi baik hati, dan Gilang, pelayan laki-laki yang sering menggodanya dengan candaan konyol.

"Rania, kamu tuh kayak karakter film. Diam, manis, tapi matanya kayak menyimpan cerita," kata Gilang suatu hari sambil menuang susu ke dalam cangkir.

Rania tertawa kecil. "Kamu nonton film terlalu banyak."

"Serius. Aku bisa tebak, kamu habis patah hati, ya?"

Dira langsung menyikut Gilang. "Eh, jangan asal nebak. Nanti dia baper!"

Rania hanya menggeleng sambil tersenyum. "Aku nggak patah hati, Gilang. Aku cuma baru sembuh dari luka yang panjang."

Gilang terdiam sejenak, lalu mengangkat cangkir. "Kalau gitu, untuk kesembuhanmu, cheers!"

Rania tertawa, mengangkat cangkirnya juga. "Cheers."

Suasana kecil seperti itu perlahan menyembuhkan luka yang dulu terasa mustahil.

Namun malam selalu menjadi waktu tersulit. Saat semua orang tertidur, kenangan datang seperti hantu yang mengetuk pintu hati.

Kadang Rania bermimpi tentang Farel - tentang mereka yang dulu tertawa bersama di dapur, tentang pelukan hangat yang dulu terasa begitu nyata. Tapi setiap kali terbangun, ia hanya menemukan kesepian.

Satu malam, ia tak sengaja membuka album foto yang ia bawa. Di halaman pertama, ada foto mereka berdua di pantai, dengan tulisan kecil di bawahnya: "Untuk selamanya."

Rania menatap tulisan itu lama, lalu menutup album dengan perlahan.

"Selamanya itu ternyata cuma sampai dia bosan," bisiknya pelan.

Ia menatap ke langit malam di luar jendela dan menutup mata. "Tapi aku janji, aku akan baik-baik saja."

Sementara itu, di tempat lain, Farel hidup dalam penyesalan.

Rumah besar yang dulu hangat kini terasa seperti makam yang sunyi. Di setiap sudutnya, ada jejak Rania - aroma parfumnya di bantal, lukisan kecil di dinding yang ia buat sendiri, bahkan sendok kayu yang masih tergantung di dapur.

Farel duduk di ruang kerja, memandangi surat cerai yang sudah ditandatangani Rania. Ia membaca ulang kalimat terakhir di surat itu:

"Aku pernah mencintaimu dengan seluruh hatiku. Tapi ternyata, hatiku tidak cukup untuk dua orang."

Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari apa pun.

Ia mencoba menelepon Rania berkali-kali, tapi nomor itu sudah tidak aktif. Ia mendatangi orang tua Rania, tapi mereka hanya mengatakan bahwa Rania baik-baik saja dan tidak ingin diganggu.

Farel kehilangan arah. Bahkan Alena pun pergi setelah tahu Rania benar-benar meninggalkannya. "Aku nggak mau jadi penyebab orang hancur, Farel. Maaf," katanya waktu itu.

Kini, Farel benar-benar sendiri.

Sementara itu, Rania semakin betah dengan kehidupannya yang baru. Ia menyewa kamar yang sedikit lebih luas di lantai dua, menambah beberapa pot tanaman kecil di jendela, dan mulai menabung sedikit demi sedikit dari gajinya.

Suatu sore, Dira menghampirinya dengan semangat. "Rania, minggu depan ada pelatihan barista gratis dari komunitas kopi, mau ikut nggak? Aku daftar bareng kamu, ya!"

Rania sempat ragu. "Aku kan cuma kasir, Dir."

"Justru itu! Biar kamu bisa naik level. Aku yakin kamu cepat tangkap."

Setelah berpikir sejenak, Rania tersenyum. "Oke, aku ikut."

Pelatihan itu menjadi awal perubahan baru. Ia belajar membuat latte art, mengenal berbagai jenis biji kopi, dan belajar menghadapi pelanggan dengan percaya diri.

Bu Retha sering memperhatikannya dari jauh dan tersenyum bangga. "Kamu punya potensi besar, Rania. Kamu bukan cuma pekerja keras, tapi juga punya hati yang kuat."

Kata-kata itu membuat Rania menunduk malu. "Saya cuma pengin hidup saya berarti lagi, Bu."

Hari berganti minggu. Musim mulai berganti. Rania mulai terbiasa melihat dunia tanpa bayangan Farel di belakangnya. Ia bahkan mulai tertawa lebih sering.

Namun, kehidupan tak selalu mulus. Suatu hari, Farel muncul di depan kafe tempat Rania bekerja.

Rania yang sedang melayani pelanggan menegang saat melihat sosok itu berdiri di luar kaca jendela. Rapi, tapi wajahnya lelah.

Dira yang melihat ikut berbisik, "Ran... itu kayaknya-"

"Aku tahu." Suara Rania pelan, tapi tegas.

Farel melangkah masuk. Suasana kafe seketika hening. Ia menatap Rania dengan mata penuh penyesalan.

"Rania..." suaranya serak. "Aku cuma mau ngomong sebentar."

Rania menatapnya tanpa ekspresi. "Aku sedang kerja, Farel. Kalau mau bicara, tunggu sampai aku selesai."

Farel mengangguk, duduk di pojok ruangan. Waktu seakan berjalan lambat. Setelah Rania menyelesaikan pesanan terakhir, ia menghampiri meja tempat Farel duduk.

"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyanya datar.

Farel menatapnya lama, lalu menunduk. "Aku salah, Rania. Aku bodoh. Aku kehilangan kamu karena kesalahan aku sendiri."

Rania hanya diam.

"Aku nggak bisa tidur sejak kamu pergi. Aku nyesel banget. Aku cuma pengin minta maaf, meski aku tahu mungkin kamu nggak akan maafin aku."

Hening beberapa saat. Rania menarik kursi, duduk di depannya, menatap mata yang dulu pernah ia cintai sepenuh hati.

"Maaf, Farel. Tapi aku bukan perempuan yang bisa disakiti dua kali."

Farel menunduk, suaranya lirih. "Aku tahu."

Rania tersenyum, tapi matanya berkaca. "Aku sudah memaafkan kamu, tapi bukan untuk kembali. Aku memaafkan supaya aku bisa hidup tenang."

Farel menatapnya, air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu bener-bener udah nggak cinta aku?"

Rania menggeleng perlahan. "Cintaku udah selesai di hari kamu mencium perempuan lain. Sekarang yang aku cintai cuma diriku sendiri."

Kalimat itu menjadi akhir percakapan mereka. Farel bangkit, menatap Rania sekali lagi, lalu pergi.

Rania menatap kepergiannya tanpa air mata. Tidak ada lagi sakit, hanya lega.

Malamnya, Rania menulis lagi di buku catatannya:

Hari ke-47 sejak aku pergi.

Hari ini aku menatap masa laluku untuk terakhir kalinya. Aku tidak membencinya lagi. Aku cuma bersyukur akhirnya bisa berani.

Hidupku mungkin tak sempurna, tapi aku bebas.

Ia menutup buku itu, tersenyum kecil. Angin malam masuk melalui jendela yang terbuka, membawa aroma kopi dari kafe di bawah.

Rania menatap langit malam, menatap bintang yang muncul satu per satu.

"Aku akan baik-baik saja," bisiknya lembut. "Terima kasih sudah mengajarkanku arti kehilangan."

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Rania benar-benar percaya pada kata-katanya sendiri.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Aprilia Krisnawati

Selebihnya
Aku Tak Butuh Suami, Aku Butuh Keadilan

Aku Tak Butuh Suami, Aku Butuh Keadilan

Romantis

5.0

Lina hanya bisa menahan sabar setiap kali mendengar ocehan suaminya, Randi. Pria itu bekerja sebagai kuli bangunan, berangkat pagi buta dan pulang dengan tubuh penuh keringat. Namun, yang paling membuat Lina sesak bukanlah lelahnya hidup miskin, melainkan kenyataan bahwa setiap hari dia hanya dijatah uang dua puluh ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Harga-harga yang semakin naik membuat Lina sering kebingungan. Beras menipis, sayur tak terbeli, dan anak-anak butuh uang sekolah. Randi memang baik, tapi keras kepala dan gengsinya tinggi. Ia menolak jika Lina ingin membantu mencari penghasilan tambahan. Hingga suatu hari, godaan itu datang tanpa Lina sadari. Di rumah sebelah tinggal pasangan Damar dan Rina. Damar bekerja sebagai teknisi listrik di perusahaan besar, gajinya tentu jauh lebih besar dibanding Randi. Awalnya, Lina hanya memperhatikan Damar diam-diam - cara pria itu berbicara sopan, penampilannya rapi, dan tatapannya yang tenang. Namun, siapa sangka, Damar ternyata juga sering memperhatikan Lina. Pandangan-pandangan singkat itu perlahan berubah menjadi percakapan kecil, lalu pertemuan-pertemuan diam-diam. Mereka saling memberi perhatian, sesuatu yang sudah lama tak dirasakan Lina dari suaminya sendiri. Sejak dekat dengan Damar, kehidupan Lina berubah. Entah bagaimana, uang belanja yang dulu pas-pasan kini selalu cukup. Ia bisa membeli lauk yang lebih layak, pakaian baru untuk anak-anaknya, dan sesekali menikmati makanan yang dulu hanya bisa dibayangkan. Namun setiap kali memandangi wajah Randi yang tertidur lelah sepulang kerja, hati Lina mulai terasa berat. Ia tahu, semua yang ia nikmati kini tak sepenuhnya benar. Tapi di sisi lain, ia juga merasa tak sanggup lagi hidup dalam kekurangan yang tiada akhir.

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku