Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
AKU PELAKOR
5.0
Komentar
960
Penayangan
40
Bab

Arum menjadi saksi saat sang ayah menjatuhkan talak untuk Ibunya dan memilih pergi bersama istri barunya. Arum menjadi saksi saat sang Ibu berjuang untuk membesarkan dan menyekolahkannya tanpa nafkah dari ayahnya. Arum menjadi saksi saat sang Ibu terpaksa menikah dengan seorang pemabuk karena fitnah. Selain itu, Arum juga harus menghadapi rasa sakit yang membuatnya frustasi dan hampir memilih bunuh diri. Kesakitan-kesakitan itu, tertancap kuat dalam relung hati Arum hingga menimbulkan dendam untuk wanita itu. Wanita yang telah merebut ayahnya dan membuatnya melupakan tanggung jawab terhadap anak kandungnya.

Bab 1 PENGHIANATAN HISYAM

Bab 1

PENGHIANATAN HISYAM

Tin tiiin ....

Terdengar suara klakson dibunyikan panjang. Sekar bergegas menuruni tangga.

"Bun, Sekar berangkat dulu, ya! Sudah dijemput!" pamit Sekar.

"Iya, Nduk. Hati-hati!" sahut Ibunya.

"Bunda istirahat saja. Gak usah ngerjakan apa-apa. Biar Mbok Nah saja."

"Bunda bosen, Nduk, kalo gak boleh ngapa-ngapain," sahut Ibunya.

"Bunda kan, baru sembuh. Jadi, gak boleh terlalu capek."

"Iya, Nduk. Udah sana berangkat. Kasihan bosmu nunggu lama."

"Iya, Bun. Assalamualaikum," ujar Sekar sembari mencium tangan Ibunya.

"Waalaikumsalam," sahut Ibunya.

Sekar segera meninggalkan rumahnya. Rumah minimalis yang dibeli dari hasil catering Bundanya.

"Halo, sayang! Maaf, ya, nunggunya lama!" ujar Sekar setelah masuk ke dalam mobil.

"Gak papa. Disuruh nunggu berapa lamapun aku siap, kok! Apapun buat kamu, sayang!"

"Ish ... pagi-pagi sudah gombal. Udah ah, ayo, berangkat!"

"Oke, sayang!"

Aldi, atasan sekaligus kekasih Sekar segera melajukan kendaraannya. Aldi merupakan direktur utama di perusahaan tempat Sekar bekerja. Sedangkan Sekar adalah sekretarisnya.

Sekar mengawali karir di perusahaan tersebut sebagai staf administrasi. Berkat kelihaiannya, dalam waktu tiga tahun dia sudah naik jabatan menjadi sekretaris pribadi sekaligus kekasih gelap sang bos. Ya, hanya kekasih gelap karena sang bos telah memiliki seorang istri.

"Istri kamu gak curiga kamu sering pulang telat dan berangkat pagi-pagi gini?" tanya Sekar.

"Gaklah! Dia itu percaya sekali sama aku," sahut Aldi.

"Masak sih?"

"Beneran. Lagian, aku beralasan sama dia kalau kantor lagi ada masalah serius."

"Ha ... pinter banget kamu!" sahut Sekar.

"Iya, dong! Harus itu!" sahut Aldi.

*************************

Di rumah, Bunda Sekar menangis sedih. Jujur, dia tidak rela dengan jalan yang ditempuh Sekar. Namun, segala kesakitan yang pernah Sekar alami selama ini, mengobarkan api dendam di dalam dadanya.

Semua itu bermula pada kejadian dua puluh tahun yang lalu. Saat itu, Sekar berusia tujuh tahun.

*******

Dua puluh tahun yang lalu

"Bun, Ayah mana?" tanya Arum. Sekar kecil biasa dipanggil Arum. Sekar Arum Wardani, nama yang diberikan oleh sang ayah kepadanya.

"Maaf, Rum. Hari ini, Ayah ada pekerjaan yang gak bisa ditinggalkan," sahut Bundanya.

"Tapi, Bun, kan Ayah sudah janji. Pas hari ulang tahunku yang ketujuh, Ayah mau ngajak Arum jalan-jalan," rengek Arum.

"Iya, Sayang! Maafkan Ayah, ya! Begini saja, bagaimana kalau jalan-jalannya sama Bunda saja? Arum mau kemana?"

"Gak asik, Bun! Arum maunya sama Ayah juga!" rengek Arum lagi.

"Iya, Bunda faham. Perginya sama Ayah lain kali saja. Hari ini pergi sama Bunda. Bagaimana?" rayu Bundanya.

"Iya, deh, Bun! Arum mau. Kita ke kebun binatang, ya!" ujar Arum.

"Iya, sayang! Ya udah, yuk, kita siap-siap!"

Setelah selesai bersiap, mereka berdua segera berangkat naik sepeda motor. Walaupun sedikit kecewa, namun Arum tetap gembira bisa pergi jalan-jalan ke kebun binatang.

Setibanya di lokasi, Irma segera membeli dua buah tiket. Kemudian, mereka segera memasuki area kebun binatang. Hal yang pertama yang dilihat Arum adalah aneka burung. Berbagai jenis dari beberapa negara ada di situ. Arum merasa takjub dengan banyaknya jenis burung.

Selanjutnya, mereka menuju area binatang mamalia. Pertama, mereka melihat harimau. Ada empat ekor harimau yang tampak, dua ekor induk dan dua ekor masih anak-anak. Selanjutnya,mereka melihat singa, jerapah, gajah, dan lain-lain.

Setelah puas melihat-lihat, mereka menuju restoran yang ada di dalam lokasi.

"Bun, itu kan ayah?" tunjuk Arum. Irma mengikuti arah telunjuk putrinya.

Deg. Disana, tampak suaminya sedang menggandeng wanita hamil sekitar lima bulan dan menggendong seorang gadis kecil seusia Arum. Irma tampak terkejut.

Tanpa sengaja, pandangan mereka bersiborok. Ayah Arum pun tampak terkejut. Langkahnya terhenti. Dengan menggandeng putrinya, Irma melangkah mendekati mereka.

"Siapa mereka, Mas? Kenapa Mas Hisyam bisa sama mereka? Ini yang namanya ada urusan penting kantor?" tanya Irma beruntun.

"Irma, tolong jangan emosi dulu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik," sahut Hisyam gugup.

"Ayah bohong! Katanya Ayah kerja, makanya gak bisa ngajak Arum jalan-jalan. Ini malah jalan-jalan sama mereka," ujar Arum marah.

"Arum sayang, maafkan Ayah, ya! Irma, tolong kamu bawa Arum pulang dulu! Setelah ini, aku akan menyusul!" ujar Hisyam.

Tanpa banyak kata, Irma segera meninggalkan lokasi tersebut. Di sepanjang jalan, air matanya tak berhenti menetes. Dia berharap, perkiraannya salah. Dia berharap, mereka bukan siapa-siapa dan hanya kebetulan bertemu saja. Namun, semakin dia berharap, hatinya semakin sakit. Karena apa yang dilihatnya, sudah tampak jelas.

"Bun, Arum lapar," ujar Arum.

Irma segera menghapus air matanya. Dia teringat, tadi sebelum bertemu suaminya, mereka memang berencana makan siang.

"Kita beli Kent*ky saja, ya?" sahut Bundanya.

L

"Iya, Bun."

Irma menghentikan sepeda motornya di sebuah restoran cepat saji.

"Bunda gak makan?" tanya Arum.

"Gak, Bunda gak lapar. Arum saja yang makan," sahut Bundanya.

"Gak boleh! Kata Bunda, kita harus makan tepat waktu agar gak gampang sakit! Kita bagi dua ya, makanannya?" ujar Arum.

Irma merasa terharu dengan perhatian putrinya.

"Gak usah. Ini buat Arum saja! Bunda pesan lagi saja, ya!" sahut Bundanya.

"Oke, Bun!"

Setelah menyelesaikan acara makan siangnya, mereka segera pulang.

"Arum, segera sholat dhuhur, habis itu tidur siang ya!" perintah bundanya.

"Siap, Bun!"

Irma segera menuju ke kamarnya. Setelah menunaikan sholat dhuhur, dia menunggu suaminya pulang. Sayang, yang ditunggu pun tak kunjung datang.

Hingga pukul 22.00, Ayah Arum baru menginjakkan kaki di rumah.

"Assalamualaikum!" ujarnya. Tak ada sahutan. Hisyam segera memasuki kamarnya. Dilihatnya, sang istri telah tertidur. Hisyam segera menuju ke kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan diri, dilihatnya istrinya sudah menunggunya disamping tempat tidur.

"Kamu memang belum tidur apa terbangun?" tanyanya.

Irma tak menanggapi. Hisyam duduk di sebelah istrinya.

"Ada yang ingin kamu jelaskan?" tanya Irma.

"Maafkan aku, Ir! Aku khilaf!"

"Siapa dia?"

"Dia juga istriku, Ir. Kami sudah menikah secara siri empat bulan yang lalu."

Tes ....

Airmata Irma menetes begitu saja. Hatinya begitu sakit. Sejak awal, dia sudah memperkirakan. Namun, mendengar sendiri dari bibir suaminya, hatinya terasa begitu sakit.

"Maafkan aku, Ir!" ujar Hisyam sembari menggenggam jemari istrinya.

Irma segera menarik tangannya. Dia tidak sudi disentuh oleh penghianat itu.

"Kamu jahat, Mas! Apa salahku?" ujar Irma tergugu.

"Kamu gak salah, Ir. Aku yang melakukan kesalahan. Tolong, maafkan aku!"

"Kamu tega, Mas! Apa kurangku selama ini?" tanya Irma masih tergugu.

"Kamu wanita yang sempurna, Ir."

"Bohong! Buktinya, kamu masih mencari kesenangan di luar!" ujar Irma sarkas.

"Maafkan aku, Ir. Aku siap menerima hukuman apapun, asalkan kamu mau memaafkan aku."

"Benarkah?" tanya Irma sangsi.

"Tentu saja."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Rara Qumaira

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku