Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kisah Aku & Dia

Kisah Aku & Dia

Minang KW

5.0
Komentar
2
Penayangan
37
Bab

Damar, dia seorang laki-laki yang pernah aku harapkan menjadi seseorang yang akan selalu mendampingiku dalam suka maupun duka. Dan aku, Rina, gadis yang akan selalu ada untuknya dalam sakit ataupun senang. Tapi kehidupan tak akan pernah sejalan dengan pemikiran dan keinginan, membuyarkan khayalanku, menghempaskan mimpi-mimpiku ke jurang terdalam, lalu pecah berderai di kerasnya kenyataan. Damar yang selalu memperlakukanku dengan baik, bahkan lebih dekat daripada keluarganya sendiri, ternyata sama sekali tak menaruh hati padaku. Perasaan yang terhempas ini tak pernah bisa kuungkapkan. Tidak pada orang tuaku, tidak pula pada Damar sendiri. Kusimpan segala sakit di dalam hati, sendiri, dan mendoakan yang terbaik baik bagi Damar sebab dia yang harus pindah, dibawa pergi oleh keluarganya ke luar kota.

Bab 1 Aku dan Damar

“Rin, lari Rin. Lari…!”

“Hah?!” Aku terkejut dan menoleh ke belakang. Seketika mataku membesar dengan kengerian yang langsung terbayang di depan mata. “Mar, lu berantem lagi?”

“Udah, buruan!”

Damar menyambar tanganku, memaksaku untuk ikut lari mengikuti langkahnya yang serabutan.

“Lari, Rin!”

“Oi, oi, Damar!” teriakku, tapi tetap saja, kakiku terus berlari. “Damar berengsek! Lu nggak ada kerjaan selain berantem, hah!?”

Cowok sialan itu justru tertawa-tawa, sesekali dia menoleh ke belakang. Entah apa yang ada di pikirannya.

“Udah, ih! Lari dulu yang penting!”

“Damar!”

“Woi, jangan lari lu, setan!” teriak seorang siswa sekolah lain dengan sebatang pipa besi di tangannya.“Jangan kabur lu!”

“Kejar dia!” teriak yang lainnya pula.

Aku menoleh lagi ke belakang di antara langkahku yang sudah tidak mungkin untuk kuhentikan lagi, sebab seragam SMA-ku sama persis dengan seragam SMA yang dipakai Damar, bisa-bisa anak-anak dari SMA lain itu malah memukuliku.

Napasku tersengal-sengal dan langkah kami selalunya terhalang ini dan itu, maklum saja, Damar dan aku lari di trotoar jalan yang sedang sibuk.

Yah, sibuk.

Trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki justru dipenuhi oleh para pedagang kaki lima, pengamen, pedagang asongan, apa pun.

“Minggir, minggir!” Damar mengibas-ngibaskan tangannya, berusaha membuka jalan bagi kami berdua. “Awas, woi!”

“Goblok!” teriak seorang pedagang bakso yang kursi-kursi dagangannya menjadi berantakan tersenggol langkah Damar dan langkahku. “Lihat-lihat kalo lari!!

“Maaf, Bang!” teriakku yang terus saja diseret oleh Damar. “Maaf, ada yang ngejar kami!”

Begitu si penjual bakso menoleh ke arah belakang, dia semakin kaget sebab lebih banyak lagi anak SMA yang muncul demi mengejar kami berdua, maksudku, Damar.

“Kejar!” teriak pemimpin geng SMA lain tersebut. “Kejar ampe dapat!”

Dan si Damar sialan ini masih saja terkekeh meskipun umpatan dan makian dari orang-orang yang kami lewati bak curah hujan.

Aku mati-matian mempertahankan lariku, sebab bila tidak, anak-anak dari SMA lain itu pasti juga akan memukuliku. Paling parah, mereka mungkin akan berbuat cabul kepadaku sebab aku seorang cewek.

“Rin, ke sini!”

Damar membawaku maemasuki sebuah gang kecil di tengah pasar.

Dan ya, lagi-lagi kata-kata kasar yang menghujani kami dari para pedagang dan para pengunjung pasar dengan segala aktifitas mereka yang terganggu oleh kami.

Aku bisa memahami itu.

Tapi napasku sendiri sudah terasa begitu dingin di dada, seolah-olah setiap detakan jantungku akan membuat paru-paruku semakin dingin dan bertambah dingin, lalu menjadi beku, dan pecah dalam sekali helaan napas berikutnya.

Jadi, aku tidak mungkin lagi menanggapi kesialan orang-orang pasar gara-gara kami, maksudku, Damar.

Keringat mengalir deras di wajah dan tubuh, tapi aku tidak peduli, atau lebih tepatnya, Damar lah yang tidak peduli sebab dia terus saja menyeret tanganku untuk mengikutinya.

“Ayo, ke sini!”

“Mar, jangan!” balasku. “Gang itu jalan buntu!”

“Ouh, shit!” Damar terkekeh dan kami kembali berbalik ke arah sebaliknya.

“Itu mereka!”

Aku mendengar lagi teriakan itu. Sialan, sepertinya hidung mereka cukup kuat juga untuk bisa terus menemukan kami.

“Ke sini! Ke sini!” teriakku pada Damar sembari menunjuk ke gang yang ada di kanan.

“Ape lu?!” Damar berteriak sembari mengangkat kepalan tangannya. “Sini lu semua kalo berani, sampah!”

“Bangsat lu, ya!” balas anak-anak SMA lain tersebut. “Kejar dia! Tangkap, jadiin perkedel!”

“Damar berengsek!” makiku sebab dia masih sempat-sempatnya berbalik dan meneriaki anak-anak SMA dari sekolahan yang berbeda dengan kami itu. “Lari, bodoh! Lari dulu!”

“Ayo, Rin. Olah raga lagi!”

“Olah raga pala lu pitak!” aku mendengus lagi.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Minang KW

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku