Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Neng Ay
"Hmm ... Mbak, maaf Mbak ...."
Aku membantu Mbak itu berdiri, sambil cepat-cepat mengusap air mataku yang meleleh terus.
Di pesantren ini, aku tidak mengenal siapapun. Semua benar-benar terlihat begitu asing, begitu berbeda.
Aku lebih suka dengan Pondok Pesantrennya Uminya Gus Ammad. Yang meski harus sendiri, untuk tidur di kamar ndalemnya.
Namun aku, bagai menerima beribu ketenangan yang membuat aku bisa mendekat diri ke Allah dengan sholat sunahku.
"Iya tidak apa-apa, Dik. Mbak juga yang salah tadi tidak melihat kamu ...."
"Sakhsi ...."
Belum aku menjawab yang barusan dikatakan Mbak itu, dia sudah berlalu menghampiri seorang teman yang memanggilnya.
"Mas Ammad, kulo hanya ingin panjenengan ...."
Hatiku masih saja meronta memanggil nama yang sama, yaitu nama Mas Ammad. Bagaimana nama itu akan bisa terganti dengan nama Gus Wahyu? Aku bahkan seperti menduga, kalau nama Mas Ammad saja yang akan tetap ada.
Namun bagimana dengan masa depanku ini? Mau tidak mau, aku harus menggantikan nama Mas Ammad Menjadi nama Gus Wahyu.
Air mataku meleleh tiada henti, sementara kenangan itu selalu teringat dan datang tanpa mau pergi.
"Hari-hariku yang lelah, namun setiap kali aku melihatmu tersenyum ... maka hilanglah semua letihku."
Senyum Mas Ammad berasa terlihat di mana-mana.
Suara Mas Ammad menganggaung juga di mana-mana.
Kebersamaan yang tanpa sengaja itupun juga teringat dan mengalir terus di benakku.
Sunyinya malam yang syahdu membeku bersama ketakutan yang beradu di kala aku dengan Mas Ammad terjebak di ruangan itu. Hembusan angin yang terasa berbeda itu juga masih teringat jelas.
Aku ingin teriak namun tidak bisa. Mengeluh kepada siapa kah, aku?
Aku harus mengusap air mata ini, tidak ada yang boleh tahu kalau aku ini menangis mengingat Mas Ammad.
Karena aku di sini bukan hanya santri putri biasa namun aku adalah milik tunanganku.
Benar, Mas Wahyu.
Aku menuju tempat air wudhu dengan dada sesakku yang menahan tangis, lalu aku wudhu di sana.
Berasa semua air mataku tersapu bersama air wudhu itu, namun tetap saja menetes dengan deras kembali.
Selesai.
Aku mengambil mukenah, kemudian mendirikan sholat dan masih rokaat pertama hatiku berasa resah kembali. Air mataku malah semakin deras.
"Ya Allah, berikan ketenangan kepadaku. Semua ini begitu berat, aku seperti tiada kuat menjalani semua ini ...."
Aku bersujud dalam sholatku, membungkam tangisku di sana. Bersama air mata yang terus mengalir begitu saja.
Usai salam, aku melihat mukenah putih pemberian Mas Ammad yang di mana di bagian bawah dadaku basah penuh air mata.
Aku meraba mukenahku yang bagiannya tidak ada air mata, lalu mencium mukenahku itu.
Harum ini yang selalu mengingatkanku pada parfum Mas Ammad.
Mengingatkan kenanganku kembali. Kenangan yang bila mana aku samakan dengan kenangan-kenangan lain tidak akan dapat menyamai kenangan indah yang aku lalui bersama Mas Ammad.
"Aku mencintai Ay bukan karena nafsu, namun aku berharap dengan Ay aku bisa mengenal cinta yang Allah ridhoi."
Aku mengingat malam itu, suasananya begitu tenang. Begitu mendamaikanku. Aku tersenyum ketika pesan yang dikirim Mas Ammad itu aku membacanya ulang dan mencoba memahami maksud dari pesan itu.
Aku berasa malam itu bukanlah malam yang amat sepi tanpa kehadiran bulan.
Namun malam itu seperti malam panjang namun tidak pernah mengusik kata bahagia dalam hidup dan mimpiku.
Kalau memang Mas Ammad begitu mencintaiku dan Allah memang meridhoi hubungan cinta antara aku dengan Mas Ammad, lalu mengapa perpisahan ini haruslah terjadi?
Aku diam dengan ribuan air mata. Membisu dan mencoba menutupi luka-luka perpisahan yang terus merajamku. Di mana setiap pagi, siang dan malam menjalar bersama rinduku yang terus bersuara.