Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Billionaire And The Secret Girl

Billionaire And The Secret Girl

Shova Nst

5.0
Komentar
45
Penayangan
5
Bab

Adrian Alexander memiliki standar gadis idaman yang tidak biasa. Jika kebanyakan pria akan memilih gadis cantik dan seksi, maka tidak dengannya. Pemalu, penakut, pendiam dan lembut, Adrian mematokkan kriteria gadis impiannya seperti itu. Selain itu, gadis yang akan menjadi kekasihnya juga harus memiliki prinsip yang sama dengannya, percintaan bukan sebuah permainan. Itulah mengapa hingga berusia 26 tahun Adrian belum juga memiliki kekasih. Pertanyaan 'Sudah punya pacar?' dan 'Kapan menikah?' menjadi pertanyaan yang paling dibenci dan dihindari oleh Adrian. Batinnya begitu tertekan setiap kali adik, teman dan keluarganya bertanya demikian. Untuk menyudahi tekanan mental yang ia rasakan, Adrian lantas meminta bantuan Edwin untuk mencarikannya seorang gadis yang sesuai dengan kriterianya. Hingga akhirnya, Adrian dipertemukan dengan Riana Arrastia dan Abella Arrasyi. Dua gadis yang memiliki kelebihan dan keistimewaan masing-masing. Semakin mengenal mereka, Adrian semakin menyadari kalau ada sesuatu yang tidak beres dan sebuah rahasia besar yang disembunyikan oleh kedua gadis itu. Adrian mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya dua gadis yang sudah mengambil hatinya tersebut?

Bab 1 Permintaan Aneh

Adrian menggerutu pelan mendengar deringan ponselnya yang terus saja berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Entah sudah berapa panggilan yang ia lewatkan dari seseorang yang belum juga jera sekalipun ia sudah mengabaikan panggilan tersebut. Tidak lagi tahan mendengar suara nyaring ponselnya, Adrian lantas menyambar benda pipih itu dengan kesal setelah selesai mengenakan pakaian dan merapikan penampilannya.

"Ada apa?" tanyanya malas pada seseorang yang langsung terkekeh mendengar suara juteknya.

"Ayolah, Adrian. Ini masih pagi, kau tidak berniat memarahiku di pagi buta seperti ini kan?" Atalla Alexander, adik perempuan Adrian kembali menertawakan kakak laki-lakinya tersebut saat mendengar Adrian kembali berdecak kesal.

"Atalla, kau sendiri tahu kan kalau ini masih pagi, jadi jangan mencari masalah denganku. Katakan saja apa yang kau inginkan. Tidak perlu mengajakku berdebat lebih dulu, karena aku pasti akan memberikan apapun yang kau minta." Adrian meletakkan ponselnya di atas nakas setelah menambah volume suaranya, lalu mengecheck kembali penampilannya dan memakai jam tangan hitam yang harganya paling mahal di dunia.

"Aku mau Kakak Ipar. Apa kau bisa memberikannya padaku sekarang juga? Sadarlah kakakku yang tampan, kau itu sudah tua. Tidak lama lagi wajahmu akan keriput dan tubuhmu akan bungkuk. Kau akan segera memakai tongkat seperti Grandpa Samuel. Mau sampai kapan kau hidup tanpa pendamping seperti ini? Lihat temanmu si Edwin itu, sekarang dia sudah punya kekasih yang cantik dan seksi, kalau tidak salah namanya Shandy. Beruntung sekali dia bisa mendapatkan Bidadari seperti itu. Sekarang hanya kau yang masih hidup menjomblo tanpa kekasih. Kasihan sekali kau ini. Ah, tidak, aku lebih kasihan pada Mommy dan Daddy karena memiliki putra yang tidak laku sepertimu." Atalla berceloteh panjang lebar di seberang sana. Dari suaranya, kentara sekali kalau ia sedang geram kepada Adrian yang tidak juga mengindahkan keinginannya.

Adrian menahan napas selama beberapa saat sebelum menghembuskannya kasar. Lagi-lagi Atalla menelponnya hanya untuk membahas hal yang sama. Kekasih? Kakak Ipar? Apa adiknya itu pikir mendapatkan kekasih semudah smembeli Ferrari? Lelucon yang sangat tidak etis dan itu merusak harga dirinya sebagai pria yang lebih tampan dari Edwin.

"Itu Edwin, bukan aku. Jangan pernah bandingkan aku dengan pria playboy sepertinya. Satu lagi, kakakmu yang tampan ini masih mudah dan segar, belum bungkuk dan masih kuat. Kau pikir usiaku berapa sehingga mengira aku akan segera memakai tongkat seperti Grandpa Samuel? Perlu aku ingatkan kembali, para gadis di luar sana bahkan sangat memuja dan berlomba-lomba untuk menjadi kekasihku kalau kau lupa." Ketus Adrian setelah merampas ponselnya dari atas nakas. Atalla kembali berhasil melukai harga dirinya. Adiknya itu seperti tidak pernah bosan bertengkar dan mengolok-olok dirinya.

Beranjak dari depan cermin berukuran besar yang memperlihatkan seluruh pantulan tubuhnya, Adrian melangkah lebar keluar dari kamar dengan ekspresi kesal yang begitu kentara. Hari masih begitu pagi dan awalnya Adrian ingin menyambut paginya dengan senyuman dan hati yang gembira. Namun, semua itu lenyap dalam sekejap hanya karena ucapan Atalla yang tidak pernah disaring lebih dulu. Adiknya yang bermulut pedas itu sepertinya perlu dibelikan saringan teh agar bisa menjaga kosa katanya. Lihat saja, ketika Atalla pulang nanti, ia akan membelikan benda aneh itu untuknya. Kalau perlu, ia akan membeli seribu saring teh yang besar.

"Aku tahu, kau memang bukan Edwin si playboy cap tupai, tapi seharusnya kau sedikit mencontoh kepandaiannya dalam hal mencari wanita. Jangan hanya pandai mencari uang, Adrian. Memangnya mau kau apakan uang yang banyak itu? Memangnya kau bisa menikah dengan uang, hah? Tidak kan. Karena itu, gunakan uangmu untuk mencari calon kakak ipar untukku. Aku sudah tidak sabar ingin dibuatkan keponakan yang imut dan menggemaskan. Kau seharusnya tau itu, Adrian." Langkah Adrian yang baru saja hendak memijak anak tangga pertama berhenti seketika. Kata-kata Atalla hampir saja membuatnya mati mengenaskan kalau saja ia tidak bisa menahan emosinya yang semakin tersulut. Tadi kakak ipar, sekarang keponakan? Gila! Apa Atalla pikir membuat keponakan semudah membuat proposal? Bagaimana mungkin ia bisa membuat keponakan kalau istri saja tidak punya. Pikiran adiknya itu benar-benar kacau. Ingin rasanya Adrian mengetuk kening Atalla dan mencuci otaknya hingga bersih sehingga tidak mengatakan hal-hal yang aneh dan membuatnya semakin bertambah pusing lagi.

Kembali menarik napas dan menghembuskannya perlahan, Adrian sebisa mungkin untuk bersabar menghadapi adiknya yang begitu aneh bin ajaib.

"Jangan menuntutku untuk melakukan hal yang tidak-tidak, Atalla. Kau seharusnya tahu kalau aku tidak akan bisa memenuhi keinginanmu itu. Sepertinya pikiranmu mulai rusak karena kebanyakan bergaul dengan orang-orang di sana. Sudahlah, berhenti menggangguku dan cepat pulang ke rumah ini." Hardik Adrian, lalu kembali melangkahkan kakinya menuruni satu persatu anak tangga yang akan membawanya sampai ke lantai dasar sambil tetap mendengarkan sahutan adiknya di seberang sana.

"Sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu lagi, Adrian. Lihat saja, aku akan mengadu pada Grandpa kalau kau belum juga mau menikah. Aku akan katakan pada mereka kalau kau itu laki-laki tidak normal yang sama sekali tidak tertarik pada wanita." Atalla kembali mengeluarkan jurus ancamannya dan berhasil membuat Adrian membulatkan mata sempurna.

"Jangan menyebar hal yang tidak benar, Atalla, atau aku benar-benar akan marah padamu dan berhentilah mendebatku. Lebih baik kau packing sebelum aku memesan tiket pesawat untukmu." Adrian melewati seluruh anak tangga, kemudian berjalan menuju ruang makan dimana kedua orangtuanya berada. Ia harus segera mengakhiri obrolan yang begitu berat ini sebelum semakin dibuat kewalahan oleh Atalla.

"Tidak mau. Aku tidak mau pulang sendiri. Kau harus menjemputku, Adrian. Aku takut sendirian dikeramaian. Memangnya kau tidak khawatir kalau adikmu yang cantik jelitan ini dicuri oleh pria jahat, hah?" Tutt, tutt!

Adrian mengakhiri panggilan tersebut secara sepihak. Ia tidak ingin lagi mendengar rengekan dan celotehan Atalla yang tidak pernah ada habisnya. Semakin lama mengobrol dengan adiknya itu hanya akan semakin menambah beban pikirannya.

"Adrian, ada apa dengan wajahmu itu? Ini masih pagi, Nak. Jangan terlalu tegang begitu." Marcela yang pertama kali menyadari kedatangan Adrian mengernyit bingung melihat ekspresi putranya yang tampak cemberut. Wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu lantas mendekati sang putra dan menuntunnya duduk di kursi meja makan yang ada di sebelah kursinya.

"Apa seseorang mengganggumu, Adrian? Beritahu siapa orangnya supaya Daddy bisa memberi pelajaran kepada orang yang sudah berani membuat putra Daddy murung seperti ini." Barra yang duduk di kursi seberang Adrian dan Marcela ikut menimpali. Pria itu bahkan mengalihkan perhatiannya dari kertas koran yang sudah ia baca sejak beberapa menit yang lalu.

Adrian terseyum simpul sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku jas hitam yang kini ia kenakan. Kedua orangtuanya begitu penyayang dan perhatian. Perhatian mereka sama sekali tidak berubah sekalipun ia sudah dewasa dan berusia 28 tahun. Apa sebaiknya ia menceritakan kenakalan Atalla yang suka membullynya agar adiknya itu jera?.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku