Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
184
Penayangan
24
Bab

Memutuskan pergi dari rumah karena menolak perjodohan yang diatur ayahnya membuat Ranaya Arabella Raharja (24 th) kalang kabut. Terbiasa hidup bergelimangan harta orang tua, Rana mendadak kaget dengan situasi yang terjadi, sang ayah mencabut seluruh fasilitas anak semata wayangnya yang tidak mau menuruti permintaan ayahnya. Sedangkan ia tidak memiliki simpanan sama sekali untuk sekedar menyewa sebuah apartment mewah, hasil jerih payahnya selama ini ia gunakan untuk bersenang-senang. Sekarang Rana tidak tahu harus pergi kemana, teman kerjanya rata-rata sudah berkeluarga, dan teman kuliahnya, ia sudah hilang kontak dengan mereka. Namun ditengah kebingungannya, Aiden Saka Bumi (28 th) atasannya itu datang menawarkan sebuah bantuan dengan memperbolehkan tinggal di apartment lelaki itu. Apakah Rana menerima tawaran tersebut mengingat Aiden sangat menyebalkan selama ini? *** "Kamu boleh tinggal di apartment saya jika mau" "Ha?" "Tapi ingat, tidak ada yang gratis di dunia ini" ***

Bab 1 1│Part 1

"Rana enggak mau, yah. C'mon, ini bukan jaman siti nurbaya yang main jodoh-jodohan"

Rana menatap tidak terima Pramono, yang duduk santai di sofa memandang anaknya yang berdiri. Ayahnya tiba-tiba mengatur perjodohan dengan anak rekan bisnisnya seenaknya. Dan ia tidak suka masalah percintaannya diikut campuri.

"Nak, usia ayah sudah tua. Lagipula kamu itu sekarang sudah 24 tahun, dan tahun depan sudah 25 tahun-"

"Kenapa memangnya kalau tahun depan Rana berusia 25 tahun? Aku tahu alasan ayah menikahkan aku untuk merger perusahaan kan, bukan masalah umur?"

Pramono menghela nafas, anaknya itu mirip sekali dengan istrinya yang keras kepala. Dan tebakan putrinya juga dirinya tidak bisa mengelak, itu memang kenyataannya.

"Kalau ayah tetap maksa aku untuk melakukan perjodohan dengan lelaki yang tidak aku kenal. Maka siap-siap ayah akan kehilangan aku. Aku akan pergi dari rumah ini" ucap Rana dengan berani.

"Kamu yakin?"

Dahi Pramono mengernyit, meragukan jawaban anaknya.

"Iya. Kenapa enggak? Toh yang dipikirkan ayah selama ini cuma perusahaan" ketus Rana.

Lama Pramono terdiam, kemudian dalam satu tarikan nafas, "Baiklah"

Kini gantian Rana yang bingung jawaban ayahnya. "Baiklah apa? Ayah tidak jadi melanjutkan perjodohan konyol ini?" Tanya Rana mati-matian menahan diri untuk tidak mengulum senyum.

"Bukan-"

"-maksud ayah, baiklah jika kamu menolak perjodohan ini. Kamu bisa pergi dari rumah ini" koreksi Pramono tenang.

Rana menganga tidak percaya. Ia terkejut dengan jawaban tidak terduga ayahnya. Rana terkekeh, ia tidak salah dengar kan?

"Ayah serius?" tanya Rana membulatkan matanya.

"Loh bukannya itu yang barusan kamu bilang kan? Lagipula, ayah yakin kamu tetap memilih melanjutkan perjodohan ini, karena ayah tahu kamu tidak bisa hidup tanpa kemewahan dan nama besar ayah"

Mata Rana membelalak tidak terima mendengar tuduhan ayahnya yang dilayangkan padanya.

"Jadi ayah meragukanku? Oke! Kalau gitu aku pergi malam ini juga!" putus Rana kesal menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Hal itu pun tidak luput dari penglihatan Pramono yang masih setia duduk di sofa tanpa berniat merubah posisinya.

Tidak lama, Rana kembali turun kebawah membawa koper berukuran cukup besar, yang dibawanya dengan kesusahan dan berhenti dihadapan ayahnya.

"Ini kan yang ayah mau?"

"Itu kemauan kamu sendiri, nak"

Rana mencebik, kemudian pamit "Aku pergi. Jangan coba-coba cari aku! Kecuali kalau ayah berniat membatalkan perjodohan ini!"

"Memangnya kamu bisa hidup tanpa semua ini?" tanya Pramono enteng.

"Bisa!"

Tangan Rana meraih kopernya dan menariknya perlahan. Baru beberapa langkah Rana terhenti saat Pramono memanggilnya.

"Rana"

Rana berbalik menatap ayahnya yang kini berdiri "Kenapa? Ayah berubah pikiran?"

"Bukan-"

"ATM, kartu kredit, kartu debit dan kunci mobil kamu, itu semua yang ayah berikan. Ayah sita seluruh fasilitas itu" papar Pramono menyodorkan tangannya menunggu anaknya memberikan apa yang ia sebutkan barusan.

Pegangan Rana pada kopernya terlepas. Lemas. Apa?! Seluruh fasilitas nya diambil?

"Yah!" seru Rana tidak terima

"Kenapa? Kali ini kamu yang berubah pikiran?"

Rana mendengus kasar, bukan Rana namanya jika menyerah semudah itu. Ia kemudian merogoh tas selempangnya mengambil kunci dan dompetnya. Membukanya, mengambil kartu kehidupannya kedepan, rencananya. Dan memberikan barang-barang tersebut pada Pramono dengan enggan.

Pramono yang menerima sembari berujar "Kamu masih yakin dengan keputusan kamu? Engga menyesal?"

"Enggak. Rana pergi!"

Setelah mengatakan itu, Rana benar-benar melenggang pergi meninggalkan ruang tamu menuju keluar tanpa menoleh kebelakang. Ia kesal bukan main malam ini.

Sedangkan Pramono yang ditinggalkan sedirian menatap kepergian sang putri, menggelengkan kepalanya kemudian menghela nafasnya pasrah.

Pramono berjalan memasuki kamarnya dan duduk dipinggiran ranjang, mengambil sebuah figura foto disana. Wajah istrinya yang sedang tersenyum begitu teduh membuat hatinya menghangat.

"Anak kita benar-benar seperti kamu, sayang. Keras kepala. Dina, aku sangat rindu padamu"

🍀🍀🍀

Pukul 08.30 malam, Rana menggeret kopernya berwarna silver dengan kesal. Ia tidak tahu sekarang tujuannya kemana. Ia tidak memiliki apartment, uang hasil kerjanya selama dua tahun ini ia gunakan untuk bersenang-senang. Rana mendengus, seharusnya ia sedikit menyisihkan uang hasil kerjanya untuk ditabung, tidak untuk dipakai semuanya. Ah, sudahlah nasi telah menjadi bubur. Tapi, ayahnya juga sangat menyebalkan. Apa itu perjodohan? Dikamusnya, menikah itu hanya dengan orang yang ia cintai dan balik mencintainya, bukan karena bisnis dan perjodohan. Klise sekali.

Melewati jalanan yang sepi dimalam hari dengan berjalan kaki, baru pertama kali Rana lakukan dalam hidup. Ia sudah mendial beberapa nomor temannya karena Rana tidak memiliki banyak teman, apalagi yang masih sendiri. Rana bisa saja meminta bantuan pada Anna, tetapi sahabatnya itu sudah menikah sekarang. Jadi tidak mungkin ia mengerecoki sahabatnya dimalam hari. Dan Wanda, perempuan itu sedang pulang kampung. Dua teman kuliah yang ia hubungi juga satu tidak mengangkatnya, satunya sedang ada acara di rumah nya. Sehingga ia membatalkan niatnya untuk sekedar menebeng menginap semalam dirumah keduanya. Teman kerja yang dekat dengannya, rata-rata sudah menikah, jadi ia enggan untuk meminta bantuan. Ck! Bagaimana nasibnya malam ini?

Rana masih terus berjalan melewati trotoar dengan cahaya yang remang-remang. Ayahnya benar-benar jahat mengambil mobil dan segala macam isi di dompetnya. Dan membiarkan dirinya lontang lantung tidak jelas seperti ini. Apakah ia akan menjadi gelandangan mulai malam ini? Memikirkan itu saja membuat Rana bergidik ngeri.

Langkah Rana terhenti, sebuah ide terlintas dipikirannya. Ia tersenyum dengan ide brilian yang barusan masuk dalam otak cantiknya. Kantor. Sepertinya, bermalam dikantor bukanlah sesuatu yang buruk.

Rana menyetop sebuah taxi untuk mempercepatnya sampai di kantor. Tidak apa-apalah uang semata wayangnya, penunggu dompet ia relakan untuk naik taxi malam ini. Karena jika berjalan, jarak kantor dari rumahnya lumayan jauh. Ia bisa sampai tengah malam nanti jika harus berjalan kaki.

Rana menghembuskan nafas lega, melihat kondisi kantor dalam kondisi sepi. Setidaknya itu memudahkan ia menyelinap.

Rana melangkah perlahan, memastikan bahwa pos satpam tidak ada orang. Namun salah, bersamaan Rana mengecek bersamaan pula dirinya terpergok oleh sang satpam.

"Loh neng Rana, malam-malam begini mau ngapain?"

Rana meringis dalam hati, ia gugup, niat hati ingin diam-diam masuk. Tetapi malah ketahuan.

Rana berusaha memutar otak mencari alasan yang masuk akal hingga ia diperbolehkan masuk.

"Oh ini pak, barang saya ada yang ketinggalan dikantor dan itu barang penting. Besok kantor kan libur, jadi saya ingin mengambilnya sekarang" alibi Rana.

Sang satpam mengangguk, ber'oh'ria. Rana berusaha tersenyum kemudian pamit, namun langkahnya kembali tertahan tertahan saat satpam tersebut bersuara.

"Itu kopernya ditinggal saja neng di pos, dan neng nya ambil saja barang yang tertinggal di kantor"

Rana tersenyum menggeleng, "Engga usah pak, justru barang saya yang tertinggal akan saya masukkan dalam koper"

Entah seperti mendapat angin segar, Rana berhasil berkilah dengan begitu lancar dan berakhir diizinkan masuk ke dalam kantor. Hanya masuk kantor saja, ia harus berusaha hingga panas dingin.

"Mari pak" pamit Rana yang dibalas anggukan.

Dengan segera Rana masuk kedalam kantor menuju lantai paling atas, rooftop. Sepertinya bermalam di rooftop bukan hal yang buruk. Rooftop di kantornya bukan seperti rooftop terbengkalai dan menyeramkan. Justru kebalikanya, yang terurus dengan sangat baik, dan biasa digunakan untuk para karyawan seperti dirinya untuk beristirahat sekedar minum kopi pada saat jam makan siang jika tidak keluar atau pergi ke kantin.

Rana menekan tombol lift. Ia mengernyit bingung, biasanya lift langsung terbuka jika tidak ada orang, tetapi kini terasa lama. Tidak ambil pusing, sembari menunggu ia mengawasi situasi sekitar yang sepi karena memang waktu bekerja sudah berakhir pada pukul lima sore tadi.

Pintu lift akhirnya terbuka, tubuh Rana mematung seketika melihat siapa yang ada di depannya saat ini, di dalam lift tersebut, sedang menatapnya datar.

"P-pak Aiden" pekik Rana pelan yang masih dapat didengar.

Rana tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya melihat pria itu masih dengan balutan jas, menatapnya kemudian beralih pada barang yang berada di samping Rana, kopernya. Genggaman di handle kopernya semakin mengencang, bahkan tubuhnya enggan untuk bergerak, sekedar maju masuk dalam lift. Kenapa hanya ditatap, tubuhnya menjadi panas dingin.

"Kamu- ngapain disini?"

🍀🍀🍀

TBC

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku