Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Devil's In Sicily
5.0
Komentar
135
Penayangan
5
Bab

Adult Romance 21+ (Mengandung adegan dewasa secara eksplisit maupun implisit di beberapa bab). Areta Hadi Johnson merupakan satu-satunya wanita yang terpilih sebagai pemimpin klan mafia paling berpengaruh di Sicily. Di malam inaugurasi, Areta terlibat dalam baku tembak untuk menyelamatkan seorang Darell-dokter muda yang tanpa sengaja terlibat dalam pertikaian antar klan. Kembali ke tanah air, Areta dikejutkan oleh pertemuannya dengan sang dokter dengan status sebagai pasien. Akankah pertemuan pertama mereka yang begitu mendebarkan layaknya film action menjadi awal kisah baru di tanah air?

Bab 1 Pertemuan Pertama

Seorang wanita yang duduk menghadap balkon dengan dua ruas jari bergerak silih berganti, memutar bolpoin di tangannya. Pandangannya lurus, menatap ke luar jendela sembari menikmati semilir angin yang bertiup masuk dari celah pintu balkon.

"Bos, apa ada yang menganggu pikiran anda?"

Areta Hadi Johnson-CEO JH grup, menghentikan laju bolpoin di putaran terakhir. Ia berbalik, menatap Rafael-tangan kanannya.

"Tidak ada."

"Bagaimana dengan persiapan untuk hari ini?" Balasnya.

Rafael mengangguk paham. "Semua berjalan dengan baik. Acara akan dimulai dua jam lagi."

"Hmm." Areta melirik sekilas arloji di pergelangan tangan kanan. "Sebelum di mulai, aku mau ke suatu tempat."

Dia beranjak dari duduknya, mengenakan mantel lalu mengayunkan tangannya dihadapan Rafael. "Kunci."

"Anda mau ke mana, Bos?" tanya Rafael. Dia mengeluarkan kunci mobil dari saku mantelnya. "Biarkan saya mengantar-"

Areta mengangkat tangannya ke udara. Memberi kode agar Rafael tidak mengikutinya. "Aku bisa sendiri," putusnya tanpa ingin berdebat.

***

Areta menyusuri jalan setapak di kota Palermo, kota otonom tersibuk di pulau Sicily, Italia. Di sepanjang jalan, bangunan-bangunan tua ala Romawi abad pertengahan berjejer rapi, menambah keindahan sekaligus keunikan kota yang letaknya sangat strategis untuk menikmati indahnya pemandangan laut Mediterania .

Langkah Areta terhenti, senyumnya melebar begitu melihat food court yang menjual Cannoli, kudapan khas Sisily berbentuk tabung kecil dengan isian krim segar dengan dominasi rasa manis.

"Buon pomeriggio, dammi cinque Cannoli (Selamat siang, berikan aku lima Cannoli)," sapa Areta pada pemuda yang tengah melipat pastry berisi cream putih.

"Che gusto desidera, signora? (Rasa apa yang anda inginkan?)" Tanya si penjual. Pemuda itu dengan sabar menanti Areta memilih di depan etalase berisi puluhan potong Cannoli beraneka rasa.

"Dammi due cioccolatini, uno alla vaniglia e uno al pistacchio (Berikan aku dua cokelat, dua vanila dan satu pistachio)."

"Va bene, signora (Baik)."

Pemuda itu bergerak cepat menyiapkan pesanan Areta dan menerima kartu kredit yang diberikan lalu mengeseknya ke mesin EDC. Tak lama pemuda itu menyerahkan bungkusan serta kartu itu kembali.

"Grazie, buona giornata (Terima kasih, Semoga hari anda indah)," ucapnya ramah sekaligus salam perpisahan.

Areta mengangguk kecil lalu mengambil pesanannya. Ia tersenyum puas melihat bungkusan di tangannya. "Tunggu Mama, Baby. Mama membawakan makanan kesukaan mu," gumamnya lirih.

***

"Serahkan tas itu!"

Di sudut gang, jalanan kecil yang jarang terekspos oleh turis, dua orang pria dan seorang wanita mengenakan jas putih ala dokter, tengah di todong lima pria yang salah satunya memegang senjata laras panjang.

Mobil yang membawa dokter muda itu di hadang saat mengantarkan persediaan obat-obatan untuk klinik kecil di sudut kota. Tujuan lima pria bertampang gahar itu hanya satu, Morfin.

"Apa kalian tidak tahu? Kami dilindungi pemerintah. Kalau sampai terjadi hal buruk pada kami, pemerintah tidak akan tinggal diam," seru dokter berkacamata lingkar besar.

"Jangan banyak bicara! Cepat serahkan tas itu." Perintah pria paruh baya dengan bekas codet memanjang di pipi kirinya. Dia menunjuk tas berisi obat-obatan yang dipegang dokter pria lainnya.

"Tenanglah," ucap pria yang memegang tas, mencoba untuk bernegosiasi. "Di klinik banyak anak-anak yang terluka, mereka membutuhkan obat-obatan ini," jelasnya pada para mafia yang tampak sakau efek kecanduan narkoba.

"Dasar pecandu gila," umpat dokter berkacamata.

"Apa!" Wajah pria lain berkedut marah. Dia tersinggung mendengar kalimat dokter berkacamata. Dia mengokang senjata di tangannya dan melepaskan satu tembakan yang tepat mengenai perut atas dokter berkacamata.

"Alex!"

Dokter berkacamata itu roboh ke tanah bersamaan dengan teriakan ketakutan satu-satunya wanita yang ada disana. Wanita itu mundur dan meringkuk di balik tubuh rekannya.

Dokter yang memegang tas, mengenakan jas putih dengan label nama di dada kanan, Darell Mahendra. Bergerak ke depan, mencoba mendekati tubuh rekannya yang terkapar di tanah bersimbah darah.

"Hai, angkat tangan mu dan menjauh dari sana."

Pria bersenjata mengenakan topi fedora hitam dengan mantel berwarna senada, bereaksi keras begitu melihat pergerakan Darell. Senjata Heckler tipe G36C segera diarahkan pada tubuh dokter muda itu.

"Aku harus menolong teman ku, dia bisa mati!" sahut Darell tegas.

"Persetan! Mundur atau ku hancurkan kepala mu." Senjata mendekat, menempel tepat di pelipis sang dokter.

Darell bergeming. Meski mentalnya mulai goyah namun dia tidak bisa mengabaikan nyawa rekan kerjanya yang tergeletak begitu saja menunggu maut menjemput. Ini seakan melanggar sumpah Hipokrates yang diucapkannya di depan ribuan almamater.

"Izinkan aku menghentikan pendarahannya. Paling tidak dia tidak akan mati di sini dan menjadi tanggung jawab kalian."

Kelompok mafia jalanan yang beranggotakan lima orang itu saling bertukar pandangan hingga seorang diantara mereka yang lebih berkuasa memberi tanda berupa anggukan kecil sebagai persetujuan.

Darell segera menghampiri rekannya. "Alex, tetaplah sadar," panggil Darell sambil menepuk pipi rekannya berulang. "Sally, kemari. Bantu aku menekan luka." Teriaknya pada wanita yang masih meringkuk ketakutan.

"Apa yang kalian lakukan?"

Semua orang berpaling untuk mencari asal suara asing yang muncul secara tiba-tiba. Sesosok bayangan mengenakan mantel panjang berwarna gelap di tambah kacamata hitam bertengger di pangkal hidupnya, menambah kesan misterius dari bayangan yang muncul dari balik sudut gelap lorong.

"Apa yang kalian lakukan?" Ulangnya menanyakan pertanyaan yang sama namun dengan intonasi yang lebih berat dan dalam.

"Apa kalian lupa peraturan dasar? Dilarang menyakiti, anak-anak, wanita dan petugas medis."

"Diam kau wanita sialan. Berhenti ikut campur dan pergi dari sini, sebelum aku meledakkan kepala mu," sergah pria bercodet.

"Wilayah ini di kuasai Cosa Nostra. Berani sekali Mafiosi masuk dan membuat onar disini."

"Kau! Siapa kau?!" Cicit pria bersenjata. Matanya terpaku pada pin yang melekat di kerah mantel wanita misterius.

"Ahhh, peduli apa. Tembak saja, aku tidak tahan lagi." Teriak pria bermata cekung dari balik kerumunan teman-temannya. Ia bergerak gelisah dengan napas yang tidak teratur.

"Tikus sialan," desis sang wanita geram.

Tangannya bergerak cepat, menarik keluar SIG Sauer P226 dari balik saku mantelnya. Pistol mematikan yang di desain khusus hanya untuknya. Begitu di kokang, pistol langsung memuntahkan peluru yang melesat cepat menembus jantung pria bercodet. Bersamaan dengan ambruknya tubuh itu, kelompok mafia jalanan yang tersisa beringsut mundur dengan wajah takut.

"Kalau kalian masih sayang nyawa, segera angkat kaki dari sini."

"A, ka-kamu."

"Ah, jangan lupa sampaikan salam ku pada Camorra," pesan sang wanita misterius.

Empat orang itu berlari cepat meninggalkan tempatnya. Menyisakan dua tubuh pria yang terkapar di tanah dan seorang pria yang masih menatap kagum pada wanita yang menolongnya. Sedangkan di sudut tembok, wanita berambut coklat terang masih meringkuk ketakutan.

"Siapa kamu?" Tanya Darell.

"Turis," sahut sang wanita singkat. Ia mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Rafael, segera ke Via vittorio emanuele."

"Siapa namamu?" Tuntut Darell lagi. Dia meraih pergelangan tangan sang wanita, tak cukup puas dengan jawaban yang diberikan.

"Areta," sahut Areta canggung. Dia menarik lepas tangannya dan menatap tajam pria berseragam dokter itu. Pria yang berhasil menarik perhatian dengan kegigihannya melindungi tas obat dan kedua temannya.

"Maaf," sesal Darell. Sadar telah melewati batas.

"Apa dia baik-baik saja?" Alih Areta. Dia melirik Sally, kondisi wanita itu tampak mengenaskan dengan wajah pucat dan bibir membiru.

"Ah, Sally." Darell seolah tersadar akan keberadaan rekannya. Dia segera menghampiri wanita itu untuk memastikan kondisinya.

"Bos," Rafael berlari bersama beberapa pria berpakaian serba hitam, menghampiri Areta. "Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini."

"Bereskan ini." Perintah Areta pada anak buahnya lalu tanpa berpaling, masuk ke dalam mobil yang telah menunggu.

*****

TO BE CONTINUED ...

Hai! Bagi para pembaca setia yang ingin mengetahui jadwal update atau berinteraksi dengan Author, silahkan langsung cusss ...

IG @lazuardibianca

*****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh LazuardiBianca1

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku