Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Enggak usah pulang! Nginep aja sekalian!” Begitu pesannya tiap kali aku telat pulang. Kami berkenalan dalam waktu dekat, lalu memutuskan menikah dalam kurun waktu 4 bulan. Dulu sebelum menikah tuturnya lembut dan santun. Namun, lambat laun semua berubah.
“Aku pulang jam 12 malam.”
“Sekalian enggak usah pulang,” balasnya lagi. Ini tahun kelima kami menikah. Dia selalu mengekang. Tidak ada lagi kebebasan juga kenyamanan dalam rumah. Hari-hari berlalu begitu. Dia yang hanya sibuk dengan anak-anak, juga ibu serta adikku yang selalu menuntut di belikan barang yang harganya fantastis. Dilra tak banyak bicara saat kami bertemu, mungkin sungkan dengan ibu. Bagaimanapun memarahi seorang anak di depan ibunya, mungkin dia tak berani. Saat marah dia akan mendiamkan seharian, hari demi hari sikapnya semakin menjadi. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi. Seingatku sebelum melahirkan istriku tak begitu menuntut menemani di samping. Namun, setelah ada anak sikapnya benar-benar berubah. Kadang muak. Mengingat perjuangannya saat melahirkan Dion, hati ini luluh kembali.
“Mau kamu apa? Kalau ada masalah dibicarakan baik-baik, aku juga capek kerja banting tulang, sampai rumah kamu diamkan aku, enggak jelas!” Aku sedang di bengkel, dan dia malah mengirimkan pesan lagi.
“Kalau enggak mau pulang, aku bunuh anak-anakmu sekarang juga.”
Gila, bagaimana aku tak panik. Setibanya di rumah beruntung tak ada yang terjadi Dilra malah duduk murung di pojok kamar seraya memeluk lutut, sedang anakku tertidur dengan pulas. Gegas kuperiksa deru nafasnya masih hidup. Syukurlah Dion masih bernafas.
“Kamu gila Dilra!” Dia justru makin terisak.
“Mana Ibu biar kuberikan anak-anak sama Ibu!” Aku segera menggendong Dion, tetapi Dilra langsung berdiri, dengan cepat merebut bayi itu.
“Kembalikan!” katanya.
“Kamu kalau mau mati, mati saja sendiri! Enggak usah bawa-bawa anak, dasar gila!” Aku kalap waktu itu, hingga tak sadar mengucapkan kalimat yang terlampau tajam.
“Kembalikan!” katanya seraya bersiap merebut Dion. Aku kembali menepis. Bagaimana bisa memberikan bayi ini pada orang yang jelas berniat membunuhnya. Sudah kurasakan ada yang tak beres dengan Dilra. Sejak dulu harusnya aku menyadari lebih awal.
“KEMBALIKAAAAAN, ITU ANAKKU!!!” Aku terenyak tanpa sadar bayi Dion telah berpindah ke tangannya. Untuk pertama kalinya Dilra berteriak. Bukan hanya itu, entah dapat kekuatan dari mana. Dia mampu mendorong tubuhku dengan kasar hingga keluar kamar. Tiba-tiba saja pintu kamar dibanting dengan keras. Dion tak lagi menangis. Aku yang panik kembali masuk ke dalam.
“Kamu apakan anakku?” Dilra hanya menatap datar, sementara itu bayi Dion tengah menghisap ASI. Usia Dion masih 4 bulan. Seharusnya Dion anak ke tiga kami, tetapi Tuhan berkehendak lain. Kedua anak kami telah menghadapnya lebih dulu. Dilra keguguran dua kali. Mengingat soal kegugurannya aku mulai mengaitkan peristiwa demi peristiwa. Dia sering menangis setelah keguguran yang kedua. Aku sempat menyalahkan atas kecerobohannya, bayangkan saja sudah dua kali kami kehilangan calon buah hati.
Hari itu kata Ibu, istriku jatuh dari motor, sudah kubilang padahal jangan pergi naik motor, tapi dia tetap nekat. Dia tak banyak protes waktu itu hanya diam dan sesekali menangis saat malam. Sejak saat itu dia jadi makin menutup diri, setahuku dia punya arisan setiap dua minggu sekali dengan tetangga tapi belakangan dia tak pernah ikut berkumpul lagi, puncaknya saat acara makan-makan dengan tetangga, ia memilih tinggal katanya tak enak badan padahal setahu dia baik-baik saja.
“Kalau ada masalah bisa enggak sih dibicarakan baik-baik.”
“Maaf.” Satu kata yang membuatku muak. Kutinggalkan dia sendiri. Tentunya setelah memastikan Dion tertidur dengan pulas. Hari ini kebetulan Ibu dan Mia tak ada jadi pasti berani berbuat kasar. Seraya menyesap batang rokok. Mencoba menetralkan pikiran yang mulai runyam. Dilra itu baik, tak menyangka dia berubah drastis macam sekarang. Keesokan paginya aku dibangunkan Ibu, nyatanya aku ketiduran di Sofa.
“Kenapa kamu tidur di sini?”
“Oh Galang ketiduran, Bu.”
“Istri kamu itu memang keterlaluan. Setiap Ibu keluar pasti ribut. Harusnya kamu tegur! Biar tahu cara menghormati suami.”
“Iya nanti aku tegur.”
“Sekarang ke mana dia, kenapa enggak ada di kamar?”
“Ke warung paling.”
“Baguslah, sini Ibu mau ngomong serius!”
“Kenapa, Bu?”
“Sini duduk, Lang!” ajak Ibu menyuruh duduk mendekat padanya.
“Kamu punya istri kurang ajar kayak gitu mending pisah!” kata Ibu. Lagi-lagi bayangan Dilra yang menahan sakit saat melahirkan wajah pucatnya aroma amis darah semua masih terekam jelas di benakku. Sudah kali ke tiga sejak menikah ibu selalu saja menyarankan kami untuk pisah. Aku tak banyak menanggapi tetapi kali ini agaknya Dilra sudah keterlaluan. Di bengkel pikiranku benar-benar kacau, apa harus kupertimbangkan permintaan ibu kali ini.
“Kenapa? Gelisah amat ?” sapa Ardi teman sekaligus partner bisnisku.
Kami membangun bengkel mobil ini berdua.
“Gue mau pisah.”