Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Hamil dengan Mantan Bosku
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Suamiku Nakal dan Liar
"Kenapa ayah selalu bohongi kita Bu," tanya Wilma, mukanya ditekuk dan tampak kesal, gadis kecil berusia lima tahun itu kecewa karena ayahnya gagal pulang.
Raisa, wanita berusia 23 tahun itu menatap iba wajah putrinya. Azizur, suami Raisa semalam mengabarkan bahwa hari ini akan pulang dan berjanji akan mengajak mereka jalan-jalan, setelah seminggu suaminya itu keluar kota karena urusan pekerjaan dari kantornya.
Wilma yang ceria membayangkan berbagai macam mainan baru, pagi sudah bersiap menunggu kepulangan ayahnya harus kecewa untuk kesekian kalinya setelah mendengar obrolan orang tuanya yang mengabarkan bahwa ayahnya gagal pulang.
"Pekerjaan ayah belum selesai Nak, nanti kalau sudah selesai ayah pasti pulang," Raisa berusaha menjelaskan kepada Wilma.
"Ayah bohong! Ayah nggak sayang sama Wilma!" seru Wilma sambil menangis terisak-isak, gadis kecil itu berlari masuk kembali ke kamarnya tanpa memperdulikan ibunya yang sedang berusaha membujuknya.
"Sabar sayang, ayah pasti pulang kok, kita keluar jalan- jalan berdua yuk?" Raisa membujuk Wilma yang semakin keras tangisnya.
Ddrrtt-ddrrrttt.
Deringan telepon mengurungkan gerakan tangan Raisa untuk memeluk putrinya. Dalam hatinya berharap panggilan itu dari suaminya dan memberi kabar baik untuk dirinya dan Wilma.
"Hallo, selamat pagi, apakah benar ini keluarga pak Azizur?" sebuah panggilan yang ternyata dari salah satu rumah sakit di kotanya membuat seluruh sendi Raisa seakan terlepas, badannya lemas ketika mendengar kabar bahwa suaminya mengalami kecelakaan.
Raisa baru saja sampai di depan ruang UGD ketika pintu ruangan tersebut dibuka.
"Ada keluarga bapak Azizur di sini?" tanya suster yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.
" Ya, saya Sus,saya ist..."
" Silakan masuk Bu, beliau ingin ketemu keluarganya, dan mengenai istrinya, satu jam yang lalu sudah melahirkan bayinya dengan selamat," ujar suster bernama Diva itu memotong kalimat Raisa.
"Mma-maksud suster, istrinya?" tanya Raisa terbata-bata, dia menatap suster itu dengan tatapan tajam dan minta penjelasan.
"Benar Bu, bapak Azizur mengalami kecelakaan karena terlalu laju mengemudikan mobilnya, mungkin setelah menerima panggilan dari kami, karena istrinya meminta kami untuk menghubunginya," jelas suster Diva, dan kemudian pamit pergi karena ada tugas lain.
Tubuh Raisa lemas mendengar penjelasan suster Diva, lantai yang dipijaknya seolah berputar, tubuhnya oleng dan untung saja ada seseorang dengan sigap menangkap tubuh kurus Raisa, lalu menuntun dan mendudukkannya di salah satu kursi yang berada di dekatnya.
"Minum dulu Mbak," ujar wanita paruh baya yang duduk di sebelah Raisa sambil menyodorkan sebuah botol kecil yang berisi air mineral. Raisa tak bergeming, pandangannya kosong.
"Mbak?" Raisa tersentak ketika wanita itu memegang pundaknya dengan lembut.
"Mbak kenapa, siapa yang sakit?" tanya wanita itu dengan ramah dan lembut.
"Su-suami saya Bu," jawab Raisa lirih, tangisnya pecah saat itu juga.
"Keluarga bapak Azizur, silakan masuk!" mendengar nama suaminya disebut Raisa baru sadar kalau dari tadi suaminya sudah menunggunya di dalam.
Raisa menghela nafas dalam-dalam, lalu berdiri dan beranjak dari tempat duduknya, dan sebelum pergi Raisa tak lupa mengucapkan terima kasih kepada wanita paruh baya berjilbab biru yang menolongnya tadi.
Raisa terpaku di dekat tempat tidur, di mana suaminya terbaring tak berdaya. Kepalanya diperban, wajah penuh luka dan lebam membuat Raisa hampir tak mengenalinya.
Amarah yang meluap mendadak sirna, beberapa pertanyaan yang hendak dilontarkan dia singkirkan karena iba melihat keadaannya.
"Mas Aziz," Raisa memanggil suaminya dengan lirih. Air matanya tak terbendung lagi. Dia meraih tangan suaminya, diusapnya telapak tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya selama enam tahun itu dengan lembut.
"Ic-Ica," Raisa tersentak mendengar suara suaminya. Ica adalah nama panggilannya sejak kecil.
"Iya Mas, ini aku di sini," sahut Raisa pelan, dia mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya.
"Wil-Wilmma ma-na?" tanya Azizur terbata-bata. Tampak gurat kesedihan dan penyesalan di wajahnya karena rasa bersalah.
"Wilma aku titipkan di rumah mbak Salina," jawab Raisa, Salina adalah kakak sulung Azizur yang rumahnya tak jauh dari rumah sakit.
"Mma-maafkan maaass," ucap Azizur tersendat-sendat, air matanya mengalir membasahi pipinya.
"Kata dokter jangan banyak bicara dulu, mas harus istirahat biar cepat pulih," tutur Raisa dengan lembut, diusapnya air mata yang mengalir di pipi suaminya dengan pelan.
"Tol- tolong ambil, am-mbil," dengan bibir bergetar Azizur berkata sambil menunjuk sesuatu di atas meja kecil yang terletak di sebelah tempatnya berbaring. Mata Raisa mengikuti arah yang ditunjuk suaminya, ada ponsel suaminya di atas meja kecil tersebut.
Dengan tangan gemetar Azizur memegang benda pipih berwarna hitam miliknya, dan gemetar jari-jemari tangannya semakin ketara ketika membuka sebuah aplikasi di benda pipihnya itu.
"Hes-Hesti," Azizur menunjukkan sebuah foto pernikahan dirinya dan seorang wanita dengan tangannya yang semakin gemetar. Bibirnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, dan hanya kata HESTI yang mampu terkeluar dari bibirnya.