CEO Dingin Itu Penyelamatku
Penulis:Dian Safitri
GenreMiliarder
CEO Dingin Itu Penyelamatku
Embun berdiri dengan terus memaku tatapannya pada sang suami, menantikan jawaban yang akan keluar dari mulut Putra dengan perasaan berdebar. Lama, hingga desau angin yang menerbangkan dedaunan di atas jalanan terdengar memenuhi pendengaran mereka.
"Jodoh," Cetus Putra membelah keheningan yang mendekap cukup lama di antara mereka.
"Jawabannya tentu saja karena jodoh. Aku dan dia tidak berjodoh dan kamulah yang ditakdirkan untuk mendampingi hidupku." Putra menjawab, lagi-lagi dengan pilihan kata yang sangat diplomatis.
Embun mendesahkan napasnya di udara. Suaminya ternyata jauh lebih pandai dibandingkan dengan apa yang dia pikirkan selama ini. Putra selalu saja memberikan jawaban tak terduga, membuat Embun terpaksa harus memeras otak lagi demi menggiring pertanyaan sebelum dia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Embun hanya tak ingin suaminya tahu kalau dia sudah mengetahui hubungan gelap lelaki itu di belakangnya, itu saja. Embun tetap akan merealisasikan rencananya, tapi tidak dengan cara yang mencolok.
"Kenapa kamu menanyakan hal yang sama sekali tidak penting begini?"
'Menurutmu, hal ini jelas penting bagiku karena aku harus tahu alasanmu menikahiku sementara hati dan cintamu milik orang lain.'
Tentu saja kalimat seperti itu hanya bisa diucapkan Embun dalam hati. Gadis itu menggeleng pelan.
"Hanya ingin tahu saja."
Embun terpekur saat Putra kembali mengayunkan kakinya, sampai pria itu kembali hanya untuk meraih tangannya yang masih bergeming dan mengajaknya melanjutkan sisa perjalanan menuju penginapan.
"Kenapa kamu tidak memilih untuk melanjutkan pendidikan sebagai seorang dokter saja seperti kakakmu? Kamu masih terlalu muda, nilai akademismu juga jauh diatas rata-rata. Meski jalan yang kamu pilih sekarang pun sudah membuat karirmu cukup bersinar, bukankah akan sayang sekali jika kamu tidak menggunakan kepintaranmu padahal kamu bisa menjadi berguna untuk banyak orang." Putra menyuara. Sengaja ia mengalihkan perhatian istrinya agar Embun tak lagi menjebaknya dengan pertanyaan yang sulit untuk dia jawab.
Suara itu terdengar lembut dan menjadi hal yang menyenangkan bagi Embun karena perangai Putra yang memang jarang berbicara, tapi itu dulu, sebelum Embun tahu lelaki itu terpaksa menikahinya.
"Mungkin aku bukan orang yang terpilih untuk itu, Kak. Kakak kan tahu betul kalau aku paling tidak tega melihat orang sakit, melihat luka atau banyak darah saja sudah membuatku pingsan." Embun menyahut, sesekali tatapannya tertuju pada tangannya yang masih berada dalam genggaman Putra.
"Menjadi dokter itu biasanya karena seseorang mendapatkan panggilan hati, ada juga yang dilatarbelakangi karena ingin bisa menyembuhkan orang yang dia sayangi, dan masih banyak alasan lain lagi. Sayangnya aku sama sekali tak terketuk untuk menekuni profesi menjadi dokter."
"Tidak masalah. Kakak dan suamimu ini dokter, termasuk kakak iparmu yang juga merupakan sahabatku. Kami semua akan memastikan kamu selalu dalam kondisi sehat."
Embun melirik sekilas. 'Manis sekali ucapanmu, kak,' batinnya. 'Sayang, aku tahu semua ini hanya sebuah kepura-puraan saja.'
"Oh ya, sepertinya kita harus sudah mulai memikirkan tempat mana saja yang akan kita kunjungi besok," Cetus Putra.
"Aku terserah Kakak saja."
"Tapi aku ingin mendengar pendapatmu. Kira-kira tempat mana yang akan kita kunjungi lebih dulu, kita harus menyusun rencana dengan baik agar jangan ada tempat yang terlewat. Termasuk oleh-oleh untuk orang rumah."
"Ya. Akan aku pikirkan nanti."
Senyuman yang terkembang tipis di bibir Putra, Embun tahu bukanlah senyuman tulus. Nalurinya berkata begitu. Mereka terus mengobrol, Embun mencoba bersikap biasa agar tak menimbulkan kecurigaan pada diri suaminya. Setiap jengkal tanah yang mereka tapaki membuat keduanya tiba di penginapan.
Putra membukakan pintu untuk Embun. Lelaki itu merebah di pembaringan ketika Embun berpamitan ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Degup jantungnya berlarian dengan cepat, Putra tak sanggup membayangkan akan melewati malam ini bersama Embun. Istrinya itu memang baru berusia dua puluh tahun, dan selalu Putra anggap sebagai anak kecil. Akan tetapi Embun memiliki bentuk tubuh yang tak kalah indah jika dibandingkan dengan Giska, atau perempuan lain. Sikap Embun juga terkadang terlampau agresif dan hal itu sanggup memicu gairah dalam diri Putra.
Sial!
Belum apa-apa, Putra sudah dibuat heboh sendiri membayangkannya. Siapa yang bisa menjamin kalau Embun tidak akan meminta haknya sebagai seorang istri malam ini?
Putra terus saja memikirkan cara agar dia bisa melepaskan diri dari Embun. Ya, sebaiknya dia akan berpura-pura tidur saja jadi begitu Embun keluar dari kamar mandi nanti, mau tidak mau Embun juga akan menyusulnya tidur. Putra baru saja merubah posisinya menjadi lebih baik agar dia nyaman dalam melakukan aktingnya, lalu berharap setelah itu dia akan benar-benar tidur.
Namun, tiba-tiba saja getaran halus yang bersumber dari benda pipih di atas nakas terdengar memenuhi ruangan. Putra meliriknya sekilas dan gegas meraih benda itu saat melihat nama wanita terkasihnya berkedip di layar.
"Sayang." Suara Giska terdengar manja menyapa indera pendengaran Putra, membuat lelaki itu gegas menarik diri dari ranjang.
"Kenapa kamu telepon malam-malam begini? Kita kan sudah membuat kesepakatan?" Putra menyuara dengan lirih.
"Persetan dengan kesepakatan itu, aku kangen banget sama kamu. Sejak kemarin sore kamu susah dihubungi, bahkan sampai nggak balas pesanku padahal jelas-jelas kamu sudah membacanya."
"Jangan nekat, Gis. Kamu mau Embun curiga sama kita terus rencana kita berantakan? Dia sudah curiga karena sejak kemarin aku sibuk balas pesan kamu terus. Tolong, hanya untuk beberapa hari saja," pinta Putra memelas.
"Menjengkelkan."
Dapat Putra dengar kekasihnya mendengus kesal di ujung telepon, tapi dia tak mau mengambil resiko. Rencananya bisa berantakan seandainya dia menuruti semua kemauan Giska.
"Dengar baik-baik, jangan dulu menghubungiku selagi aku di sini sama Embun, dia bisa curiga."
"Yakin kamu, takut Embun curiga atau takut akan ada yang gangguin malam pertama kalian?" Tuduh Giska.
"Apa-apaan sih kamu? Berapa kali harus aku bilang kalau aku nggak akan nyentuh dia, berhenti bicara omong kosong! Semakin bulan madu ini cepat berakhir maka akan semakin cepat kita bisa bertemu lagi."
"Kamu harus janji untuk nggak akan pernah jatuh cinta sama Embun, apa lagi sampai nyentuh dia."
"Iya. Aku janji. Kamu pikir untuk siapa aku melakukan ini? Aku sampai mengambil resiko besar jika sampai Satria sampai tahu kita ada main di belakang adiknya."
"Kangen. Cepat pulang ya," Rengek Giska.
Belum sempat Putra menjawab, derit pintu kamar mandi yang terdengar membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya. Kedua bola mata Putra seakan hendak loncat dari cangkangnya saat melihat Embun keluar dari sana, kemudian berjalan dengan gemulai ke arahnya. Gaun malam yang dikenakan Embun membuat Putra dapat dengan jelas melihat lekukan yang tercetak di balik kain tipis warna deep purple. Bahkan ujung dada Embun tampak mengintip dan mengundang untuk dijamah. Putra menelan salivanya kelat.
Seakan tersadar jika dirinya baru saja terbuai akan pesona istri kecilnya itu, Putra terkesiap saat samar ia dengar suara Giska memanggilnya. Beruntung Putra langsung menyadari jika panggilan telepon itu masih tersambung, dan dengan cepat Putra menekan lencana gagang telepon berwarna merah.
'Silakan lakukan saja apa yang kalian inginkan di belakangku, kita lihat saja nanti. Siapa yang pada akhirnya akan bisa memenangkan hati Kak Putra.' Embun membatin, ia merangkak naik ke pembaringan, pun dengan gerakan yang sangat hati-hati. Dan sialnya hal itu malah semakin mengundang gairah pria di sampingnya.
Jauh di luar dugaan Putra, istrinya sama sekali tak menggodanya atau mengatakan apa-apa padanya dan justru langsung merebah dengan posisi memunggunginya. Jakunnya naik turun tak karuan terlebih saat melihat Embun menyibakkan rambutnya ke samping, memperlihatkan bahu polos dan punggung mulusnya dengan jelas. Semakin tersiksa saja Putra dibuatnya.
'Sial! Kenapa aku bereaksi pada anak kecil begini. Tidak! Aku nggak boleh sampai terpancing. Hanya untuk Giska saja hati dan cintaku, aku nggak bisa melakukannya tanpa cinta. Ini tidak benar.' Putra terus berusaha mengingkari naluri yang mencoba menuntunnya menuju surga dunia yang nyatanya telah halal untuk dia cicipi.
Lama.
Putra kembali melirik istrinya, hal yang sejak tadi berusaha dia tahan karena semakin melihat Embun maka akan semakin menggila saja gairah yang kini berhasil menguasainya. Putra kira dengan memaksa untuk tidur dia bisa terbebas dari rasa yang menyiksanya, tapi jelas saja dia menjadi semakin gila. Miliknya kini sudah sangat menegang dan sesak di bawah sana dan itu sangat menyakitkan. Ia juga pria normal. Sejauh ini ciuman mungkin hal yang biasa dia lakukan dengan Giska, tapi melihat tubuh seorang wanita dalam keadaan sangat dekat seperti sekarang ini, itu sungguh menghancurkan kewarasannya.
Putra tak henti mengutuk dirinya dalam hati, lantas ia menyibak selimut yang menaungi tubuhnya, juga tubuh Embun. Dipegangnya bahu gadis itu dengan tangan bergetar, lalu membaliknya dengan pelan.
"Embun," Panggilnya dengan suara berat.
Embun berpura-pura menguap, ia membuat tampang sekesal mungkin seperti orang yang marah saat tidurnya terganggu, padahal sejujurnya sejak tadi Embun sengaja diam untuk menguji suaminya.
"Ada apa?" tanya Embun masih dalam mode pura-pura tentunya.
"Embun, sebenarnya aku ...,"
"Kakak butuh sesuatu?" Tanya gadis itu memotong perkataan Putra.
Tanpa kata, Putra menyambar bibir merah jambu Embun. Ia menjadi tak tahan saat melihat benda kenyal nan lembab itu terbuka ketika Embun berkata tadi.