CEO Dingin Itu Penyelamatku
Penulis:Dian Safitri
GenreMiliarder
CEO Dingin Itu Penyelamatku
Embun melirik suaminya yang sejak beberapa hari lalu menampilkan wajah masamnya. Gadis itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepala terheran-heran. Hanya karena tak mendapatkan haknya, Putra menjadi sangat uring-uringan. Seharusnya itu tidak berlaku untuk seseorang yang mengaku tak memiliki rasa cinta, apa semua pria akan begitu? Memadu kasih tanpa adanya cinta, bukankah amat kentara jika pihak pria hanya menginginkan kehangatan tubuh si wanita saja?
"Sudah hampir sampai, Kakak nggak perlu masang muka jutek begitu lagi," seloroh Embun dengan nada menggoda.
Burung besi yang membawa mereka terbang bersiap mendarat dalam waktu beberapa menit lagi. Hanya empat hari sepasang suami istri itu menikmati indahnya liburan yang mengatasnamakan bulan madu sebenarnya. Embun yang memaksa mempercepat kepulangan mereka karena tahu suaminya tersiksa berada di sana.
Tempat indah yang memang diperuntukkan bagi pasangan yang tengah dimabuk cinta. Segala unsur keromantisan yang begitu intim tercipta di hampir seluruh sudut pulau. Sangat disayangkan jika mereka berdua hanya menghabiskan waktu tak berguna di sana. Embun merasa tempat itu sangatlah tidak cocok untuknya dan Putra.
Begitu juga dengan Putra. Dia sendiri tak habis pikir kenapa juga dia menjadi sangat marah lantaran tak bisa mencicipi manisnya madu pernikahan dengan Embun, padahal sejak awal dia bertekad untuk tidak pernah menyentuh gadis yang menurutnya sangat merepotkan itu.
Hanya sekali saja melihat setiap pahatan tubuh Embun yang begitu proporsional di setiap bagiannya, membuat Putra selalu terbayang-bayang. Jika bibir Embun saja sudah begitu candu dan membuatnya tergila-gila, Putra rasa dia akan semakin gila jika benar-benar disuguhkan dengan mahkota Embun. Ini baru awal. Putra sungguh dibuat stres karenanya. Sebegitu dahsyatnya.
"Ya habisnya sudah jauh-jauh pergi bulan madu, malah nggak ngapa-ngapain. Kalau cuma untuk rebahan, jalan-jalan sama cari makanan enak di sini juga bisa, Embun." Putra menjawab dengan nada ketus.
"Memangnya bulan madu itu ada ritual khususnya? Apa yang ingin Kakak lakukan saat bulan madu dan belum kesampaian sampai Kakak terlihat sangat kesal?"
"Tentu saja ber ...," Ucapan Putra tertahan, beruntung rem di lidahnya itu berfungsi dengan baik. Dia juga tak mau merendahkan harga dirinya di hadapan Embun dengan mengatakan kalau sebenarnya dia sangat ingin mencicipi apa itu surga dunia.
"Ah, sudahlah." Pria itu mengibaskan tangannya.
Embun terkikik geli. Suara merdu dari pengeras suara yang terdengar meminta para penumpang bersiap lantaran pesawat akan segera mendarat.
Putra menyeret koper sambil bersungut-sungut tak jelas. Ia mengabaikan ajakan makan siang dari Embun, dan memilih untuk langsung pulang ke rumah dengan dalih ingin segera istirahat. Keduanya meninggalkan bandara menaiki taksi karena memang sengaja tak mengabarkan berita kepulangan mereka pada keluarga. Mereka mencari jalan aman, lebih baik tak ada yang menjemput ketimbang nanti akan timbul banyak pertanyaan yang menganggu.
'Percuma juga punya istri kalau ujung-ujungnya aku harus menyelesaikannya sendiri. Apa gunanya menikah?' Putra terus menggerutu dalam hatinya.
Embun menyodorkan segelas air dingin yang langsung disambut oleh Putra. Gelas berembun itu pun tak menyisakan cairan di dalamnya saat Putra menaruh benda itu di meja.
"Rumahnya bagus, Kak. Minimalis tapi desainnya bagus." Embun mengedarkan pandangannya menyapu bangunan yang baru pertama kali ini ia pijaki.
Tampak luar bangunan memang terlihat mungil, tapi begitu memasuki rumah itu ternyata cukup luas. Ukuran kamar dan ruangan di setiap bagiannya luas dan aesthetik dengan dekorasi juga perabot yang mendiaminya. Harus Embun akui kalau pilihan suaminya sangat bagus.
"Kamu bisa lihat-lihat lagi nanti kalau kamu sudah nggak capek." Putra bangkit dari sofa. "Aku mau istirahat, mungkin untuk tiga hari ke depan kita harus hidup tanpa asisten rumah tangga karena dia baru akan datang senin depan. Kalau lapar pesan layanan antar saja, rumah biar aku yang bereskan," imbuhnya sebelum pergi.
Perkataan Putra jelas terdengar manis bagi orang yang melihat sekilas perlakuan pria itu pada istrinya, tapi hanya Embun saja yang tahu kalau apa yang dilakukan Putra terhadapnya tak lebih hanyalah seperti seorang kakak memperlakukan adiknya. Putra tak ingin mencari masalah dengan Satria, teman yang kini menjadi kakak iparnya itu begitu memanjakan Embun. Putra tak ingin istri kecilnya itu mengalami kekurangan biarpun hanya secuil saat berada di rumahnya.
"Ikut, Kak," Rengek Embun yang langsung mengapit lengan Putra.
Putra menghela napas, raut mukanya tampak begitu frustasi terlebih saat tak sengaja dada Embun menekan lengannya ketika gadis itu melingkarkan tangan di sana. Siksaan panjang masih Putra rasakan, meski Embun tidur dengan menjaga jarak darinya, tetap saja berada dalam ruangan yang sama dengan gadis yang pernah ia lihat setengah telanjang tapi tak bisa ia sentuh, itu terlalu menyiksa.
Putra menoleh menatap wajah Embun yang kini terlelap. Sudah hampir satu jam dia berguling mencari posisi yang nyaman, tubuhnya juga amat letih, tapi nyatanya matanya malah tak bisa diajak bekerja sama. Gara-gara hasrat sialannya itu.
Dering ponsel hampir saja membuat tubuh lelaki itu terlonjak. Buru-buru Putra meraih benda itu sebelum suaranya mengganggu istirahat Embun.
"Ya, Sayang." Putra menyuara lirih sembari menjauh dari tempat tidur.
"Oke, aku mandi dulu habis ini aku jemput kamu. Lewat pintu keluar samping saja takut ada yang lihat," pesannya. "Iya. Nanti aku langsung ke sana."
Putra bersorak girang, ia menyimpan ponselnya dan gegas memasuki kamar mandi. Penampilannya harus tampan paripurna ketika menemui sang pujaan hati.
***
Senyuman terus terkembang di bibir Putra saat ia melihat kekasihnya itu berlari semakin mendekat ke arah mobilnya. Sama seperti dirinya, Giska pun terlihat begitu bahagia dengan pertemuan pertama mereka setelah hampir sepekan lamanya tak bersua.
"Sayang."
"Kangen banget sama kamu, Put," rengek Giska menubruk sang kekasih dengan sebuah pelukan sesaat setelah dia masuk ke dalam kereta besi itu.
"Aku juga."
Putra meraih tengkuk Giska dan menyambar bibir wanita itu. Giska yang memang sangat merindukan kekasihnya pun menyambut ciuman Putra dengan tak kalah hangatnya. Keduanya saling mencecap dan merasai bibir satu sama lain hingga bunyi bibir yang menyatu begitu memenuhi kabin mobil.
Terasa ada yang berbeda dari ciuman kali ini, Giska merasa Putra menciumnya dengan sangat ganas, lebih menuntut juga panas.
Putra menarik diri dari ciuman panjang yang mengikis habis pasokan oksigen dalam rongga dadanya. Di tengah ciuman panasnya dengan Giska, entah mengapa tiba-tiba dia teringat pada Embun. Bagaimana kakunya Embun saat ia menciumnya, masih begitu jelas Putra rasakan. Hal itu sangat jauh berbeda dengan cara Giska membalas ciumannya. Sensasinya beda jauh.
"Kapan pulang?" Tanya Giska usai berhasil menguasai diri dari terjangan hasrat yang sempat menggebu barusan.
"Tadi sore." Putra menyeka bibirnya terlihat salah tingkah. Ada sebersit rasa yang sulit dia jelaskan saat mendadak ia teringat akan istrinya di rumah.
"Untungnya kamu pulang lebih awal, Put. Aku bisa mati menahan rindu kalau kamu terlalu lama berada di sana." Gadis itu menatap kekasihnya penuh selidik. "Kamu nggak nyentuh Embun, kan?" Tanyanya.
"Jangan ngawur kamu, mana mungkin aku nyentuh dia," tampik Putra, padahal dia tahu betul kalau dia hampir saja melakukan hubungan suami istri dengan Embun seandainya saja siklus bulanan Embun itu tidak datang tiba-tiba.
"Ciuman tadi?"
"Karena aku sangat merindukanmu, memang apa lagi?" Putra mendengus sebal menyadari apa yang sedang ada dalam pikiran Giska saat ini.
"Ya sudah, sebaiknya kita langsung ke apartemenku. Aku mau puas-puasin kangen-kangenannya sama kamu."
Giska melingkarkan tangannya dengan manja di lengan Putra. Mobil pun melaju membelah jalanan. Giska berpamitan pergi mandi tak lama setelah kedua sejoli itu tiba di sebuah unit apartemen mewah yang lokasinya tak begitu jauh dari rumah sakit.
"Ini buat kamu." Putra meletakkan paper bag di meja.
Giska masih mengenakan jubah mandi lengkap dengan handuk kecil yang melilit sebagian rambutnya, duduk saling berhadapan dengan sang kekasih.
"Apa ini?" Menatap Putra penuh tanya.
"Buka saja."
Giska tersenyum manis membayangkan isi bingkisan tersebut. Perlahan ia mengeluarkan satu kotak dalam tas kertas tersebut dan seketika matanya terbelalak.
"Ya ampun, Put. Ini bagus banget. Nggak salah kamu kasih ini buat aku?"
"Suka nggak?" Putra meletakkan kaleng minuman soda di meja, kemudian beringsut untuk duduk di sisi Giska.
"Suka banget. Sumpah ini bagus banget, Put. Harganya pasti mahal." Bola mata indah gadis itu tak henti tertuju pada seuntai kalung putih dengan liontin berlian di tengahnya yang tampak berkilauan.
"Aku bantu pakaikan ya." Putra mengambil alih logam mulia itu dan meminta Giska menghadapnya.
"Pasti mahal," cetus Giska lagi-lagi membahas harga kalung itu.
"Sengaja aku beliin kamu ini sebagai hadiah. Embun aku belikan banyak perhiasan, jadi kamu juga harus mendapatkan yang sama meski hanya satu," balas Putra.
"Kamu baik banget sih, Sayang."
"Jaga baik-baik ya, jangan sampai hilang." Satu kecupan singkat Putra labuhkan di kening kekasihnya.
"Tentu saja. Aku nggak mungkin menghilangkan barang berharga pemberian dari kamu." Membalas kecupan di bibir Putra sebagai ungkapan terima kasihnya.
Putra kembali menarik Giska dalam ciuman yang sebenarnya. Satu tangan lelaki itu membimbing Giska naik ke pangkuannya, sementara satu tangannya terus menekan tengkuk wanita itu untuk semakin memperdalam pagutan bibirnya.
Sekelebat rasa asing itu kembali muncul saat Putra melihat ekspresi wajah Giska yang begitu pasrah akan ciumannya. Pelan tapi pasti, Putra menurunkan tubuh kekasihnya hingga punggung Giska menyentuh sofa dengan tubuhnya berada di atas wanita itu. Putra menghentikan sejenak kegiatan itu, dipandangnya wajah Giska yang menurutnya sangat cantik.
"I love you," bisiknya sebelum kembali menyerang bibir Giska dengan lumatan panas nan mematikan.
Gairah benar-benar menguasai kedua anak manusia itu. Semakin lama Putra semakin tak bisa mengendalikan diri, tangannya mulai menjelajah mencari-cari sesuatu.
Lenguhan pertama Giska lolos, terdengar begitu merdu kala jemari Putra memainkan dadanya dengan lembut. Sialnya, Giska sama sekali tak memakai apa-apa selain hanya selembar jubah mandi itu saja.
Tanpa sadar tangan Putra terus bergerak, ia menarik simpul tali jubah mandi Giska hingga membuatnya melihat kedua dada Giska yang membusung indah. Anehnya, milik Embun terlihat lebih ranum dan besar dibanding kepunyaan wanita itu.
Namun, Putra tak peduli. Ia sungguh telah dikuasai akan gairahnya. Putra terus melancarkan aksinya, membuat Giska merintih dengan jerit tertahan saat ujung dadanya berhasil dalam kendali Putra. Bibir pria itu bermain dengan sangat lincah di sana.