CEO Dingin Itu Penyelamatku
Penulis:Dian Safitri
GenreMiliarder
CEO Dingin Itu Penyelamatku
Putra mengayunkan langkahnya mantap menuju tempat di mana dia bisa menemui pujaan hatinya. Lelah rasanya jika harus berpura-pura di depan Embun, tapi Putra jelas tak memiliki pilihan lain. Tak mengapa jika sekarang dia masih harus menyembunyikan hubungannya dengan Giska dari orang-orang terdekatnya, hanya satu tahun dan setelah itu Putra akan bisa memiliki Giska seutuhnya.
Kedua sudut bibir Putra melekuk indah membentuk senyuman membingkai parasnya yang rupawan. Menjadi dokter bedah di usianya yang masih terbilang muda, karirnya cukup cemerlang ditunjang dengan penampilannya yang menawan. Banyak wanita yang tunduk dan bahkan terang-terangan mengejarnya dan meminta untuk dijadikan kekasihnya. Tak hanya dari kalangan perawat saja, masih banyak wanita yang rela mengantre cintanya termasuk Embun.
Namun, dari sekian banyak wanita yang singgah di kehidupannya, Putra tak bisa berpaling dari satu gadis. Giska Amanda merupakan dokter spesialis kandungan, dan hanya pada wanita itu saja Putra menyerahkan seluruh hati dan cintanya.
"Jangan terlalu banyak minum, bukankah kamu harus ke rumah sakit besok pagi-pagi sekali?"
Putra mengambil alih gelas kristal berkaki yang berisi cairan merah pekat dengan aroma khas itu dari tangan kekasihnya. Giska langsung memeluk Putra dan lelaki itu pun menyambutnya tak kalah hangat.
"Aku pikir kamu nggak jadi datang."
"Tentu saja aku datang," Balas Putra. Tatapannya terlihat dipenuhi cinta kala manik matanya bertemu dengan iris mata sang pujaan hati.
"Bagaimana dengan Embun? Apa dia sudah tidur? Kamu benar-benar memastikannya kalau dia sudah tidur kan?" Gurat kecemasan begitu kentara di wajah Giska.
"Tenanglah. Aku nggak mungkin ada di sini sekarang kalau Embun belum tidur."
"Syukurlah. Aku sangat mencintaimu Put." Giska makin mengeratkan pelukannya.
"Aku juga. Sabar ya, hanya satu tahun dan setelah itu kita bisa menikah dan hidup bahagia selamanya."
Satu kecupan mendarat di kening Giska, setiap perlakuan Putra pada wanita itu sangat luwes karena memang mereka sering menghabiskan waktu berdua tanpa sepengetahuan orang-orang terdekat mereka. Berciuman adalah hal yang wajar mereka lakukan selama ini.
Putra menaruh jari telunjuknya tepat di depan bibir Giska saat wanita itu berusaha menciumnya.
"Kenapa?" Giska bertanya dengan raut wajah sedih.
"Takut ada yang lihat. Ingat, kita sedang di mana sekarang." Putra menyahut.
"Dan aku nggak peduli."
Giska menyambar bibir sang kekasih. Ciuman yang begitu mendalam seakan mereka telah lama tak melakukannya. Putra menyambutnya dengan senang hati, senyuman di wajahnya tak mampu membohongi bahwa pria itu sangat bahagia.
Dari sudut lain, Embun menyaksikan semuanya dengan perasaan sakit yang luar biasa. Tubuhnya bergetar hebat melihat suaminya berciuman mesra dengan perempuan lain sementara dengan dirinya sebagai istri sah saja lelaki itu sampai menolak melakukan wedding kiss.
Semua pembicaraan sepasang kekasih itu terekam jelas dalam benak Embun, tentu saja Embun mendengar semuanya karena dia berada di sana untuk waktu yang lama. Embun langsung membuntuti Putra tak lama setelah pria itu meninggalkan kamar mereka.
'Ternyata benar dugaanku, kamu pergi menemuinya, kak.' Embun mengepalkan tangannya.
Kedua kaki Embun seakan tertanam di bumi hingga Embun tak sanggup berlalu dari tempat terkutuk itu. Dari tempatnya berdiri, Embun dapat leluasa mengawasi gaya berpacaran sepasang muda mudi yang sedang dimabuk cinta itu.
Perlahan tautan dua bibir itu terlepas, Putra menempelkan keningnya pada kening Giska, keduanya berebut menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi pasokan udara dalam rongga dada yang mulai menipis.
Putra mengusap bibir lembab Giska dengan ibu jarinya, mengecup singkat bibir itu lagi sebelum akhirnya pelukan keduanya terlerai.
"Embun itu sangat cantik," Kata Giska usai momen romantis itu berakhir.
"Kenapa? Kamu takut aku tergoda? Ya nggak bakalan lah. Dia itu cuma gadis manja, dia nggak sebanding dengan kamu jadi hilangkan ketakutan yang ada dalam diri kamu. Sebenarnya itu hanya rasa takut yang kamu ciptakan sendiri."
"Aku takut kamu sampai jatuh cinta padanya, Put."
"Mustahil. Sudah sejak lama kita pacaran, dan selama ini aku setia sama kamu."
"Tapi nyatanya kamu menikah dengan Embun," Jawab Giska, sinis.
"Kamu tahu betul kalau aku terpaksa melakukannya. Hanya setahun, dan setelahnya kita bisa menikah dan hidup bersama. Tolong bersabarlah. Aku pasti akan menceraikannya."
"Tetap saja aku takut. Aku takut kamu berbalik menjadi jatuh cinta padanya dan melupakan janjimu untuk menceraikannya."
"Omong kosong! Sampai kapan pun aku nggak akan pernah jatuh cinta pada Embun, harus berapa kali aku bilang kalau dia itu bukan tipeku," Tukas Putra.
"Bagaimana seandainya hal itu terjadi?"
"Nggak mungkin, Sayang. Kamu percaya sama aku." Putra merengkuh tubuh kekasihnya untuk menenangkan wanita itu.
"Aku serius sama kamu, dan aku nggak mungkin ada di sini untuk menemui kamu kalau memang aku nggak beneran cinta sama kamu. Mau minta bukti apa lagi?" Putra menggeram frustasi.
"Iya aku percaya," Cicit Giska, suaranya hampir tenggelam karena wanita itu tengah menyandarkan kepalanya di dada Putra.
"Sekarang sebaiknya kamu masuk kamar! Udara dingin nggak baik untuk kesehatan dan kamu berdiri di sini dengan gaun setipis itu. Kamu bisa masuk angin nanti." Putra melepas jaketnya dan membalutkannya di tubuh Giska.
"Enggak mau. Aku masih ingin di sini sama kamu," Tolak Giska.
"Jangan konyol. Keluarga dan teman dekat kita bahkan menginap di sini, aku nggak mau sampai ada orang yang tahu hubungan kita. Bisa berantakan rencana kita dan aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai Satria mengetahui diam-diam aku selingkuh di belakang adiknya. Kira-kira apa yang akan Satria lakukan sama kita? Karir kita menjadi taruhannya." Putra berusaha memberikan pengertian pada sang kekasih.
"Kita bisa bertemu lagi sepuasmu begitu aku kembali bekerja, oke?" Lelaki itu terus membujuk Giska.
Giska mengangguk. Gadis itu membiarkan Putra mencium keningnya lalu dengan langkah yang berat Giska pun kembali ke kamarnya.
Melihat suaminya sudah selesai melepas rindu dengan kekasihnya, Embun pun berlari menuju kamarnya. Aktingnya tak boleh sampai diketahui orang, dia harus tetap berpura-pura tidak mengetahui skandal cinta terlarang antara suaminya dengan Giska.
Tubuh mungil gadis itu hampir terpelanting saat Embun tersandung karpet di dekat ranjang. Embun menyingkap selimut dan menenggelamkan diri di bawahnya, berpura-pura tidur agar suaminya tak curiga. Debaran jantung Embun menghentak kuat saat mendengar bunyi daun pintu terbuka, lalu tak lama berselang dapat Embun rasakan pergerakan di ranjang dan ruang kosong di sampingnya menjadi terisi.
Putra mengusap wajah Embun yang masih terlihat seperti anak remaja. "Kamu sangat cantik, jujur aku akui itu, tapi sayang kamu bukan seleraku." Pria itu berbisik.
Putra membenahi letak selimutnya dan memaksa matanya untuk terpejam karena tak sabar menunggu hari berubah menjadi pagi.
'Aku akan pastikan kamu menarik kembali ucapanmu kak. Akan aku buat kamu jatuh cinta dan tergila-gila padaku suatu saat nanti dan kamu dapat melupakan Giska untuk selamanya. Aku bersumpah,' batin Embun.
Raut wajah Embun terlihat damai, tapi siapa yang menyangka kalau dalam hati perempuan itu tengah terjadi badai.
Sinar matahari yang menerpa wajah Putra membuat lelaki itu merasa silau dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Putra terperanjat saat menyadari posisinya saat ini, dia sedang memeluk Embun dengan kaki menyilang di atas tubuh perempuan yang sudah resmi menjadi istrinya itu.
Dengan cepat Putra menjauhkan tubuhnya begitu kesadarannya telah terkumpul. Embun yang merasa terusik pun terbangun, matanya terasa berat dengan sisa kantuk yang masih menyergapnya. Embun tak bisa tidur semalaman karena berusaha mencari jalan keluar untuk permasalahan yang sedang dia hadapi saat ini.
"Kakak sudah bangun?"
"Hm." Menjawab dengan deheman singkat dan gegas masuk ke kamar mandi.
'Ini belum apa-apa kak, lihat apa yang bisa aku lakukan pada kalian nanti.' Embun membatin.
Begitu selesai membersihkan diri, sepasang pengantin baru itu pun turun ke lantai dasar untuk sarapan bersama. Di meja panjang itu hampir semua kursi telah terisi penuh. Embun menghentikan langkahnya saat melihat kedua mertuanya tengah berbincang, pun dengan Satria dan kakak iparnya. Beberapa kerabat juga turut hadir dalam acara sarapan bersama itu, tak terkecuali Giska.
Embun melirik suaminya sesaat, dan ternyata benar dugaannya. Suaminya tengah melempar senyumnya pada gadis berbalut dress selutut warna kuning cerah yang sedang duduk menatap balas kekasihnya penuh cinta. Sungguh, melihatnya membuat Embun ingin muntah, tapi gadis itu tak mau menggagalkan rencananya.
"Sayang, ke mari!" Widya melambaikan tangan pada menantu kesayangannya.
Embun tersenyum dan melanjutkan langkahnya kemudian duduk di dekat ibu mertuanya.
"Maaf Ma, kami bangun kesiangan," Cicit Embun malu. Meskipun sama sekali tak terjadi apa-apa antara dirinya dan sang suami, Embun sengaja melebih-lebihkan ucapannya untuk memanas-manasi Giska.
Embun tersenyum miris saat melihat suami dan selingkuhannya saling bertatapan, seolah Putra sedang menghibur kekasihnya dan berkata semuanya tidak seperti yang sedang Giska dibayangkan.
"Iya Sayang. Kami paham, kami juga pernah muda." Ayah mertua Embun menyahut sambil menyenggol bahu istrinya.
Tawa orang-orang pun pecah bersamaan, terkecuali Giska yang sedari tadi terus menekuk wajahnya.
"Kalian benar-benar pasangan yang romantis, Mama senang akhirnya kamu menjadi menantu Mama." Widya mengusap punggung tangan menantunya.
"Terima kasih Ma, Embun juga bahagia karena akhirnya Embun punya ibu."
"Mama berharap kalian cepat dikasih momongan ya biar Mama nggak kesepian lagi."
"Uhuk ... Uhuk."
Semua orang menoleh, menatap ke arah Putra yang tampak panik menyodorkan segelas air untuk Giska.
"Pelan-pelan saja makannya, bisa kan?"
Suara Putra pelan tapi penuh penekanan, menunjukkan betapa dia sangat mencemaskan Giska. Semua orang saling berpandangan.
"Biasa saja Put, yang istri kamu kan Embun tapi kenapa kelihatannya kamu khawatir sekali sama Giska," Seloroh Satria. Kakak Embun itu melihat ada kejanggalan dalam diri Putra dan Giska. Satria memergoki keduanya beberapa kali saling mencuri pandang.
"Sorry. Kebiasaan pas masih lajang terbawa. Kita kan sahabatan dari masih SMA jadi kadang reflek gitu. Kamu kayak nggak kenal aku saja, Sat." Putra menyahut, suaranya terdengar sedikit bergetar karena gugup.
Mendadak lelaki itu diliputi ketakutan. Bagaimana jika orang sampai mengetahui hubungan gelapnya dengan Giska, karirnya bisa hancur dan Satria pasti tidak akan pernah memaafkan kesalahannya.
"Tapi masalahnya status kamu sudah berbeda sekarang, kamu harus bisa menjaga perasaan istri kamu."
Bella mengusap bahu suaminya saat Satria hendak membuka mulut untuk menasehati Putra lagi.
"Iya, maaf ya Mbun."
Embun mengangguk pelan. "Sudah, sebaiknya kita lanjutkan makannya."
Tak mau situasinya memanas, Embun mengalihkan pembicaraan. Wajahnya setenang lautan, akan tetapi dalam hati sebenarnya Embun bersorak menang karena secara tak langsung ia sudah bisa memberikan pelajaran pada suaminya.
"Permisi ke toilet sebentar." Giska bangun dari kursinya.
Semua orang kembali melanjutkan obrolan mereka, lalu selang beberapa menit kemudian Putra pun berpamitan ke kamar kecil.
Satria menatap adiknya menangkap ada yang tak beres, tapi lagi-lagi Embun berusaha menyangkalnya. Embun masih ingin mencoba mendapatkan hati suaminya, dan Embun tak mau kakaknya terlalu jauh ikut campur dalam urusan rumah tangganya.
"Gis. Giska tunggu!" Putra setengah berlari mengejar kekasihnya.
"Giska!"
Tubuh Giska berbalik dan menabrak dada Putra saat lelaki itu berhasil meraih pergelangan tangannya.
"Kamu tuh kenapa sih?"
"Kamu yang kenapa?" Membalas ucapan Putra dengan ketus. "Apa perlunya kamu mencemaskan aku seperti tadi? Dengan kamu bersikap seperti itu yang ada orang justru akan curiga sama kita. Aku nggak mau hubungan kita berakhir, paham nggak sih kamu?"
"Iya, maaf. Hal itu terjadi begitu saja dan aku nggak menyadarinya."
Giska membisu, tatapannya tertuju pada rambut Putra yang masih setengah basah, lalu teringat kalau rambut Embun juga basah seakan membenarkan asumsinya.
"Apa yang kamu pikirkan, hah? Aku dan Embun nggak melakukan apa-apa semalam," Kata Putra, ia tersenyum geli karena tahu Giska pasti telah terpengaruh ucapan ibunya yang mengatakan ingin segera memiliki cucu.
"Jangan marah, nanti cantiknya luntur lho." Putra mencubit gemas pucuk hidung sang kekasih.
Emosi yang sempat Giska rasakan pun lenyap dalam sekejap. Sepasang kekasih itu tertawa lepas.
Sementara itu di meja makan, Satria menunggu dengan gelisah. Putra adalah sahabat karibnya yang sekarang sudah menjadi adik iparnya saat ini, menyadari adik iparnya pergi ke kamar mandi dan tak kunjung kembali membuatnya tergerak untuk menyusul.
"Mau ke mana Kak?" Tegur Embun melihat kakaknya meninggalkan kursi.
"Ke kamar kecil, perut Kakak agak kurang nyaman," Dalih Satria.
Embun yang paham tujuan kakaknya pun segera menyusul Satria. Biar bagaimanapun juga Satria tak boleh menggagalkan rencana yang sudah Embun susun dengan matang. Embun tak mau suaminya sampai terpergok sedang selingkuh.
Embun kesulitan mengejar kakaknya yang sudah semakin dekat dengan kamar kecil.
"Kak, tunggu Kak!" Embun berusaha mencegah kakaknya, mengulur waktu agar apa yang dia takutkan tak sampai terjadi.
"Kakak, tunggu!" Teriak Embun lagi.
Mendengar suara Embun membuat pelukan Putra dan Giska terlepas. Sepasang sejoli itu saling bertatapan, derap langkah kaki yang kian dekat membuat keduanya panik.
"Satria, Put. Ada Satria. Itu suara Embun memanggil kakaknya kan?" Tanya Giska ketakutan. Wajahnya seputih kapas, bibirnya membiru seakan tak teraliri darah sama sekali.
"Kau benar. Cepat kembali ke kamar mandi!" Putra menarik tangan Giska. Mereka berlari ke kamar mandi tapi kemudian tiba-tiba saja terdengar teriakan yang memekakkan telinga.
"Hei!"
Tubuh Putra dan Giska membeku di tempatnya, mereka kenal betul pemilik suara yang baru saja meneriaki mereka. Tautan tangan mereka pun terlepas.
"Apa kita ketahuan sekarang? Apa hubungan kita akan berakhir?" Bisik Giska lirih dan sarat akan keputusasaan. Bahkan untuk sekedar membalikkan badannya saja ia merasa tak sanggup.
Begitu juga dengan Putra. Seluruh saraf di tubuhnya seperti lumpuh, titik peluh dingin merembes di pelipisnya. Tamat sudah hidup dan karirnya karena Putra tahu apa yang akan dilakukan Satria setelah ini.