CEO Dingin Itu Penyelamatku
Penulis:Dian Safitri
GenreMiliarder
CEO Dingin Itu Penyelamatku
"Kakak yakin kita akan pergi bulan madu?" Tanya Embun meneliti air muka suaminya. Saat ini keduanya sedang berada di mobil dalam perjalanan menuju bandara.
Setelah sempat mengobrol sebentar, Putra memutuskan untuk pergi bulan madu di hari yang sama meski jadwal menginap mereka di hotel masih tersisa dua hari lagi. Putra pikir bukan ide yang baik jika mereka pulang, sudah pasti keluarganya akan mempertanyakan hal itu. Terpaksa, Putra mengambil pilihan kedua untuk pergi bulan madu. Semakin cepat ia dan Embun pulang dari bulan madu maka akan semakin cepat pula Putra bisa kembali beraktivitas di rumah sakit, dan itu berarti ia memiliki banyak waktu bersama Giska.
"Tentu saja. Daripada pulang ke rumah, walaupun kita tinggal di rumah yang berbeda dengan orang tuaku atau kakakmu, hal itu akan menimbulkan spekulasi. Bulan madu adalah keputusan terbaik saat ini."
Seperti biasa, sikap lelaki itu amat datar. Embun mengangguk paham sebelum kembali melemparkan tatapannya ke arah jendela dan memilih mengunci rapat mulutnya.
Gadis itu merutuki dirinya yang ternyata terlampau bodoh sampai tak bisa membedakan antara cinta dan hanya sebatas kebaikan. Sikap baik Putra padanya selama ini disalahartikan Embun sebagai bentuk rasa cinta, sementara dalam hatinya perasaan cinta itu tumbuh subur begitu saja. Bagi Embun, hanya Putra seorang satu-satunya pria yang mampu mencuri hatinya. Putra membuat Embun merasakan apa itu cinta pertama, Embun bahkan merasakan getaran itu sejak dirinya masih duduk di bangku awal SMP.
Saat itu, kesedihan akan kepergian kedua orang tuanya teralihkan dengan kehadiran dan perhatian Putra. Lelaki itu menjadi pria kedua yang Embun cintai setelah Satria, sang kakak. Embun menyimpan rapat perasaannya, sampai hari kelulusannya tiba dan ternyata tawaran untuk menikah dengan Putra datang dari kakaknya sendiri. Ternyata diam-diam Satria mengetahui perasaannya yang selama ini hanya dapat dia pendam sendiri. Lalu terjadilah pernikahan ini sekaligus disusul dengan tersingkapnya tabir rahasia tentang Putra. Satu hal yang Embun tak bisa mengerti, kenapa Putra mau menikahinya jika memang di hatinya ada wanita lain?
"Embun."
Kelopak mata dengan dihiasi bulu lentik itu terpisah ketika Embun merasakan bahunya diguncang pelan disusul dengan panggilan yang terdengar mendesak. Embun terkesiap menyadari dirinya masih berada dalam pesawat, orang-orang tampak bersiap untuk turun.
"Embun, bangun. Kita sudah sampai," Kata Putra.
"Hm, iya Kak. Maaf aku ketiduran." Embun gegas merubah posisinya sembari mengumpulkan sisa kesadarannya usai terlempar di pulau mimpi untuk waktu yang lama.
Sepasang netra cantik itu melirik sekilas, Putra sibuk memainkan ponselnya dan Embun tahu betapa suaminya sibuk memikirkan wanita lain saat ini. Keduanya meninggalkan bandara dengan Putra yang tak mengalihkan perhatiannya pada benda canggih di tangannya itu, sedikit pun.
Butuh waktu setengah jam hingga pada akhirnya sepasang pengantin baru itu tiba di villa yang telah dibooking oleh Widya sebagai hadiah pernikahan mereka.
"Kak?"
"Ya?" Putra menjawab dengan mata yang tetap fokus pada gawainya.
"Aku boleh nggak ngomong sesuatu sama kamu."
Embun berdiri sejenak melupakan kegiatannya memindahkan isi koper ke dalam lemari, tatapannya dipenuhi dengan luka melihat suaminya tak mempedulikannya sama sekali. Putra benar-benar berubah, tak lagi perhatian padanya meski Embun tahu perhatian pria itu hanya sebatas perasaan seorang kakak kepada adiknya, tidak lebih. Setidaknya Embun berharap Putra masih bersikap baik seperti dulu meski hanya pura-pura.
"Tinggal ngomong saja," tukas Putra.
"Kakak bisa nggak berhenti main ponselnya?"
Deg.
Putra menumpukan pandangannya tepat di wajah sang istri, ia terkesiap mendapati reaksi Embun.
"Sejak semalam Kakak terus sibuk dengan benda itu, selagi dalam perjalanan juga. Aku memang nggak tahu sesibuk apa profesi seorang dokter itu, tapi yang aku tahu Kakak baru akan sibuk ketika di rumah sakit. Tolong, hargai aku. Apa pernikahan ini sama sekali nggak ada artinya di matamu?" Sekuat hati Embun menahan diri untuk tak menangis. Suaranya bergetar sedikit teredam saat ia menggigit kecil bibirnya.
Putra mengangguk lemah meletakkan benda itu di nakas dan berkata, "Sudah aku simpan. Maaf."
Embun memilih tak melanjutkan pembicaraan yang bisa saja memicu terjadinya pertengkaran. Sejujurnya dia tak ingin menangis atau terlihat lemah di hadapan Putra, tapi entah mengapa tiba-tiba saja suasana hatinya begitu memburuk tadi.
Lelaki itu memangkas jarak, tapi belum sempat kata-kata terucap dari bibirnya, Embun lebih dulu pergi melarikan diri ke kamar mandi.
'Salahku. Kenapa aku begitu bodoh? Embun bisa saja curiga jika aku terus berhubungan dengan Giska. Aku harus lebih berhati-hati lagi.' Putra membatin.
Sembari menunggu Embun selesai dengan ritual mandinya, Putra berinisiatif untuk melihat-lihat suasana di sekitar resort. Tak jauh dari jendela tempatnya berdiri, terdapat hamparan pasir putih dengan dengan bau air laut yang khas. Pemandangan sekeliling begitu memanjakan mata. Ia menoleh saat Embun mengulurkan selembar handuk.
"Bersiaplah, kita cari makan malam di luar saja nanti, sekalian jalan-jalan." Putra berpesan.
"Hm."
Putra termangu melihat istrinya berlalu dari hadapannya dan sibuk menyiapkan pakaian ganti untuknya.
'Sepertinya anak kecil itu marah padaku. Huh, tapi kenapa juga aku jadi kepikiran. Sama sekali tidak penting.'
Udara malam terasa dingin membelai kulit. Malam belum begitu larut, dewi bulan baru saja menapaki jejak singgasananya. Embun mengayunkan kakinya pelan sambil merapatkan sweater yang membalut tubuhnya. Ia dan Putra sama-sama bungkam lantaran tak memiliki topik menarik untuk dibicarakan. Mereka memutuskan pulang selepas menikmati jamuan makan malam di salah salah satu restoran yang berada tepat di dekat pantai.
Jauh di dalam hatinya sebenarnya Putra banyak menyimpan pertanyaan. Jelas sekali Embun sedang menjaga jarak dengannya, tapi Putra tak tahu hal apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Embun. Biasanya gadis itu akan sangat manja dan menempel padanya, tapi semenjak menikah alih-alih semakin menempel, Embun malah terlihat menjauh.
"Embun."
"Heem?" Menoleh sekilas dan langsung membuang pandangannya. Salah satu kelemahan Embun, tak sanggup jika harus berlama-lama bertemu mata dengan pria itu.
"Kamu masih marah?"
"Marah soal apa?" Embun balik bertanya.
"Karena aku terus main ponsel tadi. Maaf ya, aku janji deh cuma pegang benda itu seperlunya saja," Kata Pria itu.
Embun menjawab dengan sebuah anggukan. Sepertinya dia masih harus menyiapkan stok kesabaran sebanyak mungkin karena pasti akan ada banyak hal tak terduga yang menantinya di depan sana. Dengan memilih untuk mempertahankan rumah tangganya dan memperjuangkan Putra, artinya Embun harus bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi, termasuk jika pada akhirnya hati Putra tetap tertambat pada Giska. Setidaknya dia sudah berusaha, dan jika pun dia harus kalah, Embun akan kalah dengan terhormat.
"Aku sudah melupakannya, Kak." Embun menjeda sebentar sebelum dia melanjutkan kembali perkataannya. "Hm, Kak. Boleh aku tanya sesuatu?"
Putra mengangguk. "Katakan saja," Titahnya.
"Jawab jujur. Siapa cinta pertama Kakak? Karena aku tahu yang jelas wanita itu bukan aku."
Putra diam sejenak tampak berpikir. Pertanyaan Embun begitu menjebak dan dia tak mau sampai salah menjawab yang bisa berakibat fatal.
"Tapi janji jangan marah kalau aku berkata jujur," Pinta Putra.
"Janji." Embun mengangguk.
Ada jeda sejenak sebelum Putra membuka mulutnya hingga keluarlah cerita yang Embun ketahui bahwa sebenarnya lelaki itu tengah membicarakan tentang Giska. Meski timbul setitik nyeri di hatinya, tapi Embun hanya ingin tahu, hal apa yang ada dalam diri Giska yang bisa membuat suaminya jatuh cinta sebegitu dalamnya.
"Cinta pertamaku itu perempuan yang mandiri dan dewasa. Dia cantik dan anggun, juga pendiam."
"Apa kalian seumuran?"
"Hm. Kami bersama sejak kelas dua SMA," Balas Putra.
"Apa yang membuatmu jatuh cinta pada perempuan itu, Kak?"
Putra reflek menatap sang istri. "Kenapa kamu menanyakan hal itu?"
"Jawab saja, aku hanya ingin tahu," Dalih Embun.
"Sejujurnya aku menyukai gadis yang susah untuk ditaklukkan dan cenderung tertutup."
"Itu berarti perempuan yang agresif dan terang-terangan mengejarmu tidak menarik bagimu? Dan cinta pertamamu itu adalah sosok pendiam yang sulit dikejar pria, begitu?"
"Tidak juga."
Embun menarik napas, dia mengubah haluan. Sejak tadi suaminya begitu pandai menjawab pertanyaannya.
"Lalu di mana dia sekarang? Apa dia juga sudah menikah?"
Putra menelan ludahnya kelat sembari memutar otak memilih kalimat yang tepat sebagai jawaban.
"Dia ... Dia belum menikah," Jawab Putra terbata.
"Lalu apa yang membuat hubungan kalian putus dan Kakak memilih untuk menikah denganku?"