CEO Dingin Itu Penyelamatku
Penulis:Dian Safitri
GenreMiliarder
CEO Dingin Itu Penyelamatku
Sudut bibir Putra terangkat di sela-sela kecupannya di dada Giska saat suara rintihan wanita itu terdengar semakin merdu mendayu-dayu. Laksana bahan bakar yang semakin mengobarkan gairahnya, Putra dibuat semakin menggila tiap kali tubuh mungil wanita itu menggeliat di bawahnya. Sisa kain yang masih melekat di dada Putra bahkan tak mampu meredam ledakan hasratnya ketika Giska tanpa sadar terus menggesekkan tubuhnya.
Pun dengan Giska yang mulai diselimuti gairah. Ia tanpa sadar terus mendesah manakala Putra terus memberikan kenikmatan di setiap sentuhannya. Bibir Putra ia rasakan semakin menyasar turun mendekati hutan yang menyembunyikan aset terindahnya. Sampai tiba-tiba Giska teringat akan satu hal. Seketika saja kesadarannya kembali sepenuhnya dan reflek Giska mendorong tubuh Putra dari atas tubuhnya.
"Ada apa?" Putra bertanya dengan sorot mata yang kental akan kekecewaan. Setelah mendapatkan penolakan Embun tempo hari, kini ia juga harus mendapatkan perlakuan Giska yang membuatnya tak habis pikir.
"Harusnya aku yang nanya begitu sama kamu, kamu kenapa? Ada apa denganmu?" Giska bangkit seraya membenahi jubah mandinya kemudian pindah duduk di sofa lain, menjaga jarak dengan sang kekasih.
"Kita pacaran sudah hampir lima tahun, Put. Dan kita kenal nggak setahun dua tahun, tapi bertahun-tahun. Kita sudah membuat komitmen untuk tidak melakukan hal yang terlalu jauh sebelum kita resmi menikah, kamu lupa?" Giska berujar dengan bibir gemetar. Ia meraih kaleng minuman soda yang ada di meja untuk sekedar menetralkan perasaan yang hampir membuatnya hilang akal.
"Maafin aku." Putra membuang napas kasar, ia menyugar rambutnya dengan amat frustasi. "Entahlah, mungkin karena aku terlalu merindukan kamu makanya aku sampai hampir lepas kendali," imbuhnya merasa bersalah.
"Lupakan, aku juga turut bersalah dalam hal ini. Aku ganti baju dulu," balas Giska.
"Hm, kalau begitu aku sekalian pamit saja." Ucapan Putra berhasil menahan langkah gadis itu.
"Yaaah, kok gitu. Aku cuma mau ganti baju sebentar, lagian kita belum sempat ngobrol banyak lho, aku masih kangen sama kamu."
"Masalahnya aku takut kebablasan lagi. Enggak apa-apa ya? Besok kita masih bisa ketemu lagi, kok," tolak pria itu dengan halus, tak ingin menyinggung perasaan sang kekasih.
Meski Giska mengangguk dengan senyum yang tersemat di bibir, tapi Putra tahu kalau gadis itu terpaksa membiarkannya pergi.
"Jangan tidur terlalu malam. Aku telepon kalau ada kesempatan nanti." Putra berpesan usai memberikan kecupan singkat di kening Giska.
"Jangan coba-coba melakukan itu dengan Embun," ujar Giska dengan tatapan penuh peringatan. Langkah keduanya berhenti di depan pintu.
"Omong kosong! Nggak mungkin aku melakukan itu sama dia. Sudahlah jangan berpikiran macam-macam. Aku pulang dulu."
Putra melambaikan tangannya dan berlalu dari sana setelah daun pintu kembali tertutup. Ia pun gegas kembali ke rumah sebelum istri kecilnya bangun dan mencarinya.
"Sial! Kenapa semenjak melihat Embun setengah telanjang malah membuatku selalu berpikiran ke arah itu terus. Ya Tuhan, ini sungguh sangat menyiksa." Beberapa kali Putra mengumpat sambil memukuli setir.
Mobil yang ia kemudikan terus melaju dengan kecepatan sedang. Putra berharap Embun masih tidur saat ia tiba di rumah nanti.
***
Embun mengedarkan pandangannya saat tak mendapati sosok sang suami ada di sisinya. Seingat Embun, tadi mereka sama-sama naik kasur dan tidur bersama, tapi ternyata Putra sudah tidak ada di sana lagi saat ia membuka mata.
Suasana gelap di luar jendela menyadarkan Embun jika hari telah malam. Ia pun gegas bangkit untuk membersihkan diri sebelum mencari keberadaan Putra.
Namun, setelah mencari pria itu di beberapa tempat pun, Embun tetap tak menjumpainya.
"Ke mana perginya Kak Putra," gumamnya pelan.
Embun baru saja akan menghubungi suaminya, tapi bersamaan dengan itu dapat Embun dengar derap langkah yang kian dekat. Ia menoleh dan melihat Putra sudah berdiri di belakangnya, tersenyum sambil mengangkat kantong plastik di udara.
"Aku habis beli makanan, takutnya pas kamu bangun terus kelaparan jadi buat jaga-jaga aku beli ini," kata Putra. Ia menuntun Embun dan mengajaknya duduk di meja makan.
"Aku kira Kakak pergi ke mana?"
"Memangnya aku mau pergi ke mana? Kita masih belum boleh keluar dengan leluasa sampai hari minggu."
Putra mengambil peralatan makan dan memindahkan makanan yang baru saja dibelinya itu di piring.
Alih-alih senang dengan perhatian Putra, Embun malah mencurigai suaminya. Sementara Putra sibuk menyiapkan makanan untuknya, Embun terus bertanya-tanya dalam hati apakah suaminya itu benar-benar keluar untuk membeli makanan atau justru pergi menemui kekasihnya dan menjadikan makanan itu sebagai alasan.
"Dimakan, kenapa bengong? Biasanya kamu sangat menyukai bebek goreng, kan?"
"Ah, i-iya Kak. Aku makan." Embun tersenyum kaku.
Suap demi suap masuk ke dalam mulut Embun dengan tatapan yang tak lepas dari pria yang kini duduk di seberang meja. Walau usia pernikahannya baru seumur jagung, tapi nalurinya sebagai seorang istri tak mungkin salah. Embun berusaha untuk menyingkirkan pikiran buruk itu dari benaknya, tapi hatinya seolah berkata agar dia tak terlalu mempercayai suaminya. Waspada, perlu.
Embun mengerti satu hal. Terlintas ide yang tiba-tiba saja membuatnya harus melakukan hal itu demi sebuah antisipasi. Embun yakin, dengan begitu dia bisa mengetahui apa-apa saja yang dilakukan Putra di belakangnya tanpa perlu repot-repot membuntuti pria itu ke mana pun ia pergi.
"Hm, habis beli ini, apa Kakak mampir ke suatu tempat?"
"Maksudnya?" Putra menghentikan kegiatan itu sejenak, mengambil gelas untuk membasahi tenggorokannya.
"Aku kira Kakak keluar karena ada perlu. Tadi Kakak bilang kita bisa pesan makanan lewat layanan antar."
"Enggak kok, aku memang keluar untuk beli makanan kesukaan kamu. Kan sudah aku bilang tadi," dalih Putra.
Embun tahu lelaki itu sedang membohonginya, Embun dapat melihatnya dari pancaran mata Putra. Akan tetapi dia tak mau memperpanjang masalah. Akan Embun cari jalan keluarnya sendiri.
'Jangan-jangan Embun curiga sama aku, tapi rasanya mustahil. Selama ini aku bisa menyembunyikan hubunganku dengan Giska tanpa seorang pun tahu, termasuk Satria dan yang lainnya.'
Putra menelan makanannya dengan terpaksa, ia menjadi salah tingkah terlebih lagi saat Embun terus menatap curiga ke arahnya.
Pagi-pagi sekali sebelum suaminya bangun, Embun bangun lebih dulu untuk melancarkan aksinya. Berbekal informasi yang dia dapatkan dari salah satu temannya, Embun mulai menjalankan misinya. Embun berjalan mengendap meninggalkan kamar membawa ponsel Putra kemudian mulai mengotak-atik benda itu. Untungnya Putra tak memakai sandi, jadilah Embun tak menemui kesulitan untuk membuka layar gawai tersebut.
"Selesai." Embun menggumam pelan.
Embun tahu, apa yang dia lakukan bisa saja membuatnya terluka. Akan tetapi Embun akan jauh lebih terluka lagi jika sepanjang harinya terus ia habiskan dengan perasaan curiga dan was-was tentang apa saja perbuatan yang dilakukan Putra di belakangnya. Embun tahu konsekwensinya saat dia menyadap ponsel suaminya.
Buru-buru Embun mengembalikan ponsel Putra di nakas lalu bersiap mandi dan membangunkan suaminya untuk sarapan.
Putra sedikit terkejut melihat hari pertama mereka tinggal di rumah baru. Embun, meski dia masih terlalu muda menurutnya, tapi gadis itu begitu cekatan dan tahu bagaimana harus bersikap layaknya seorang istri. Tak hanya setumpuk pakaian tersedia saat Putra membuka mata, dalam bak mandi pun telah terisi dengan air hangat lengkap dengan busa sabun aromaterapi yang wanginya begitu menenangkan. Di nakas terhidang secangkir kopi, sementara itu semerbak gurih aroma bawang menguar di udara. Putra yakin istri kecilnya itu tengah sibuk memasak di dapur.
Sikap Embun benar-benar di luar dugaan Putra. Sejauh yang lelaki itu tahu, Embun hanyalah gadis manja yang selama ini tinggal seperti seorang puteri raja. Segala sesuatunya telah tersedia dengan pelayanan dua puluh empat jam. Putra tahu sebesar apa kasih sayang Satria terhadap adiknya. Satria bahkan turun tangan langsung memintanya untuk menikahi Embun setelah mengetahui perasaan cinta yang begitu mendalam dari Embun untuknya. Membuat Putra tahu kalau Satria akan melakukan apa pun demi untuk kebahagiaan adiknya.
Perlahan Putra menarik diri dari pembaringan lalu meraih cangkir yang masih mengepulkan asap tipis.
"Lumayan, ternyata dia bisa bikin kopi. Perpaduan antara bubuk kopi dan gulanya sangat pas. Tidak terlalu manis tapi juga kental." Putra kembali menyesap cairan hitam dalam cangkir keramik itu sebelum dia pergi membersihkan diri.
Embun menuang nasi goreng buatannya ke dalam piring, menghiasnya dengan sebutir telur mata sapi dengan kuning setengah matang di atasnya juga irisan acar dan kerupuk.
"Perlu aku bantu?"
Gadis itu reflek menoleh, dilihatnya Putra terlihat jauh lebih segar dan tampan meski hanya mengenakan pakaian santai biasa. Aroma sabun menyeruak dari tubuhnya dengan titik air yang masih menetes dari ujung rambut.
"Sudah selesai. Kakak duduk saja." Embun menyahut dengan senyum terkembang.
Melihat bibirnya yang ranum sedikit lembab itu membuat Putra kembali teringat betapa indahnya pahatan tubuh istri kecilnya.
Sial!
Putra menggeram lirih mengapit kedua kakinya mencoba meredam sesuatu yang terus meronta di antara lipatan pahanya.
Embun duduk setelah memastikan semua keperluan suaminya telah terpenuhi.
"Kamu bisa masak?" Tanya Putra penuh selidik. Tatapannya berpindah menatap Embun dan sepiring nasi berbalut bumbu di hadapannya itu bergantian.
"Kalau cuma nasi goreng atau masakan lain yang sederhana sih bisa, Kak. Kenapa? Mukanya kayak nggak yakin gitu?" Embun mencebik melihat ekspresi wajah suaminya yang kentara sekali tak mempercayainya.
"Nggak nyangka saja." Meraih sendok bersiap mencicipi masakan pertama Embun.
"Kelihatannya saja Kak Satria memang memanjakan aku, tapi di balik itu semua, dia juga memastikan kalau aku harus bisa melakukan hal yang memang seharusnya dilakukan oleh seorang wanita, utamanya sebagai istri," tukas Embun.
"Percaya." Putra menjawab singkat dengan mulut penuh.
"Gimana? Enak?"
"Banget sih. Ini nasi goreng paling gurih yang pernah aku makan." Putra tak bohong karena dia memang baru pernah makan nasi goreng selezat itu.
Pipi Embun bersemu mendengar pujian dari sang suami. "Kalau begitu, habiskan," ucapnya.
Putra hanya menggumam kemudian sibuk mengisi perutnya karena memang nasi goreng buatan Embun sangat enak. Sementara Embun tersenyum puas melihat suaminya begitu menikmati masakannya.
'Benar kata Kak Bella. Kita bisa mengikat hati suami dengan makanan. Aku harus lebih giat lagi latihan masak supaya masakan yang aku sajikan buat Kak Putra jadi lebih bervariasi lagi, jadi dia nggak bosan nantinya.'
Senyuman terus merekah di wajah Embun, sampai kemudian perlahan senyum itu memudar dan lenyap sepenuhnya usai dia melihat notifikasi pesan masuk pada gawai Putra. Embun yang penasaran lantas ikut membuka ponselnya.
[Terima kasih, Sayang. Kalungnya bagus banget. Harganya pasti mahal, dan sesuai janjiku aku akan jaga kalung ini baik-baik. Love you. Sampai ketemu lagi nanti. Rasanya sudah nggak sabar buat ketemu kamu lagi, yang semalam nggak cukup buat nuntasin kerinduanku.]
Barisan kata yang dikirimkan Giska untuk suami Embun, lengkap dengan foto cantik wanita itu yang tengah berpose dengan gaya menantang dan sedikit menjulurkan lidahnya terlihat menggoda.
Embun sungguh kecewa saat tahu Putra benar-benar membohonginya.